Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Burung Maleo & Kearifan Lokal!

23 Oktober 2014   00:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:04 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14139732382071767276
14139732382071767276

Generasi muda Indonesia haruslah banyak berterima-kasih kepada warisan leluhur dalam pelestarian alam dan warisan budaya. Tak mungkin bisa dipungkiri peradaban (civilization) bangsa ini lewat tradisi nenek dan kakek moyang kita mampu pada akhirnya menyadarkan kita betapa berkelas, berbudaya dan beradabnya negeri ini sejak jaman dahulu kala. Bangsa lain seperti Amerika banyak mencari budaya-budaya dari negeri lain untuk melengkapi dan memperkaya khazanah kebudayaan “baru” mereka, secara warga imigran dari Eropa telah menggusur budaya dan tradisi asli Suku Indian , lihat juga Australia dimana pulau yang jadi tempat narapidana dari Inggris dan menjadi koloni Inggris akhirnya juga menggusur suku asli Aborigin disana. Mungkin yang kita harus contoh adalah Jepang yang mampu menjaga tradisi nenek moyang mereka ribuan tahun lalu dengan cara yang arif dan kreatif hingga saat ini.

1413977138308910551
1413977138308910551
1413977605692995793
1413977605692995793

Pesta Adat Tumpe di Kecamatan Batui-Kabupaten Banggai-Sulawesi Tengah mempertontonkan betapa pelestarian telur Burung Maleo (Burung asli/endemik daerah ini) menjadi tradisi turun menurun yang sangat tinggi nilai peradabannya. Upacara Melabot Tumpe ini dilaksanakan antara masyarakat Kota Banggai (Kabupaten Banggai Kepulauan) dan masyarakat Kecamatan Batui (Kabupaten Banggai) yang merupakan sisa adat istiadat Kerajaan Banggai pada masa lalu.

14139835731799945343
14139835731799945343
1413983750919088712
1413983750919088712
1413983946113509135
1413983946113509135

Tumpe adalah upacara pengiriman telur burung Maleo yang bertelor pertama kali yang biasanya pada bulan September setiap tahunnya. Prosesi upacaranya berlangsung dengan pengumpulan telur burung Maleo sebanyak 160 butir oleh perangkat Adat Batui dan kemudian diletakkan di rumah Ketua Adat yang disebut Bosanyo. Prosesi ini berlangsung hikmat dan syahdu diiringi doa oleh masyarakat adat serta disaksikan pejabat tinggi setempat.

Ratusan butiran telor tadi masing-masing dibungkus dengan daun Komunong (sejenis Daun Palma) dan setelah prosesi tersebut, telor siap diantar ke Kepulauan Banggai, Proses pengantaran dari rumah Bosanyo ke sungai sebagai tempat pemberangkatan berlangsung dalam suasana yang hening. Para pengantar yang seluruhnya pria berbaju merah membawa telur-telur tersebut untuk diberikan kepada tiga orang dari Tua-Tua adat dan empat pendayung pada kapal yang telah dipersiapkan. Kapal ini bersandar di sebuah sungai besar yang menuju laut lepas ke arah Kepulauan Banggai.

Telur-telur tersebut kemudian disimpan dua malam di rumah Jogugu (Pemangku Adat di Banggai) baru pada hari ketiga telur-telur tersebut dibagikan kepada masyarakat. Masyarakat Kepulauan Banggai mendapatkan kesempatan pertama mencicipi telur Maleo kiriman dari Batui, sementara masyarakat Batui baru diperkenankan memakannya setelah ada kiriman kembali dari Kepulauan Banggai. Uniknya bila ada yang melanggar ketentuan ini akan berakibat kurang baik bagi mereka. Hal lain ada mitos bila kulit telor burung Maleo jatuh ke sungai dan hanyut ke laut lepas dan menuju Kepulauan Banggai, maka disana akan terjadi hujan deras dan angin kencang.Mungkin hal ini seperti mitos di Jawa seperti anak gadis yang suka duduk di depan pintu rumah maka konon kabarnya pria yang ingin melamarnya akan membatalkan pinangannya. Entah apakah hal ini masih berlaku sampai sekarang, walahualam.

Banyak pelajaran dari adat Tumpe ini seperti halnya juga berlaku di banyak kerajaan di Indonesia, Raja/Ratu dianggap Dewa, lalu rakyat memberikan persembahan kepada mereka agar tetap terlindung dibawah kekuasaannya. Walaupun kebiasaan ini sudah hampir punah dalam khazanah kehidupan masyarakat Indonesia, namun yang terpenting makna yang baik dikandungnya kita perlu lestarikan dan yang tidak baik kita lepaskan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun