[caption id="attachment_393797" align="aligncenter" width="600" caption="Foto:Kompas.com"][/caption]
Judul diatas mungkin bombastis namun itu tidak akan terjadi  bila pesawat terbang yang melayani jalur domestik dan internasional mampu menaikkan standar keamanan mereka jadi tidak ada lagi korban-korban yang tidak wajar (casualities). Dalam program Kompasiana TV yang ditayangkan hari ini, mengangkat tema kecelakaan Air Asia yang sudah memasuki hari ke 32. Pesawat Air Asia yang hilang dari radar pada 28 Desember 2014, menyisakan duka mendalam bagi yang ditinggalkan, namun disisi lain, peran Basarnas (Badan Sar Nasional) dalam pencarian dan penyelamatan jasad penumpang patut diacungi jempol.
Benar saja pada saat on air ternyata dua kompasianer lain ternyata seorang fotografer dan kameraman Kompas TV yang menjadi saksi mata bagaimana keadaan laut di Selat Karimata dimana sempat mereka tidak bisa melihat di dalam laut karena Zero visual. Sungguh pengalaman yang sangat berharga bagi mereka, walaupun dalamnya laut cuma 30an meter tapi kalau nggak bisa melihat ya sudah pasti malapetaka juga.
Ketika mendapatkan giliran bertanya kepada Pak Bambang , langsung saya berondong dengan pertanyaan dengan alasan apa Basarnas tetap melakukan pencarian penumpang padahal melihat kondisi badan pesawat yang paling besar yang sudah rapuh dan ringkih dan beberapa kali terlepas ketika dicoba dinaikkan keatas pakai balon. Pihak Air Asia seperti dikutip media juga mengatakan badan pesawat sudah rapuh karena telah 32 hari terbenam di dssar lautan. Artinya apakah Basarnas masih yakin mampu menemukan jasad penumpang lainnya (telah ditemukan 71 orang dan tersisa 91 orang lagi), metode dan cara apa yang dilakukan selain dengan memperluas area pencarian. Ternyata Kepala Basarnas ini yakin karena ada prinsip untuk tetap mencari korban hingga saatnya tiba dimana mungkin secara perhitungan sudah eksak tidak mungkin ditemukan lagi, baru Basarnas memulai rencana lainnya.Hal ini saya tanyakan karena pastilah tidak sedikit biaya yang yang harus dilakukan, dan alangkah baiknya uang itu untuk membeli peralatan keselamatan lainnya. Dijawab Marsda Bambang, pembelian alat itu diambil dari anggaran lain yang telah tersedia.
Hal lain yang tidak kesampaian ditanyakan adalah asuransi para korban yang katanya baru diberikan Rp.300 juta dari Rp.1.25 milyar yang seharusnya diterima para korban per orang bukan per keluarga. Pertanyaannya kenapa nilai asuransi penumpang LCC (Low Cost Carrier) lebih rendah dari HCC (High Cost Carrier) seperti yang menaiki pesawat yang juga hilang Malaysia Airlines (MH370)? Apakah ada korelasi tiket murah dengan nilai asuransi rendah?
Dan terakhir pertanyaan krusial yang seharusnya dijawab oleh pihak Air Asia ,sesuai dengan informasi yang dikutip dari Menteri Perhubungan, Jonan, bahwa pesawat sempat naik ke  ketinggian 38.000 kaki (11,600 meter) , padahal ATC belum mengijinkan dan akhirnya stall dan jatuh ke laut? Memang kita masih menunggu dari KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) apakah ini human error atau kondisi pesawat yang tidak memungkinan? Logikanya harusnya pilot yakin dengan pesawatnya kan ketika diajak naik?  Belum lagi ada masalah dengan kemudi pesawat yang sebenarnya sudah rusak hingga satu hari menjelang keberangkatan, sementara ketika ditanya ke pihak Air Asia, laporan kerusakan ini termasuk kategori C sehingga penggantiannya memakan waktu 10 hari dari saat laporan. Ternyata ada laporan tentang masalah ini tanggal 19 Desember jadi teorinya akan diganti pada tanggal 29 Desember...faktanya pesawatnya sudah nyebur ke laut sehari sebelumnya.
Bila peraturan di Air Asia pesawat tidak boleh digrounded apapun alasan pemeliharaan (maintenance) , lantas bagaimana dengan perasaan Air Asia kalau saja mereka jadi penumpang Airbus 3200 ni jatuh dari ketinggian 38 ribu feet (11.6 km)...analoginya jarak Blok M (Melawai)-Pasar Baru itu 11,7 km dan bila menggunakan mobil tanpa macet sekitar 20-23 menit...namun para penumpang nahas ini dari jarak sebegitu tinggi jatuh ke air dalam waktu 3 menit? Ini mengingatkan pesawar Air France (Rio de Janeiro-Paris) pada 2009 Â yang jatuh dari ketinggian yang sama ke lautan Atlantik dalam waktu 3 menit? Â Tinggi Monas cuma 123 meter, Tinggi Menara Burj Khalifa di Dubai 828 meter, waduh sungguh kejam sekali! Â Kalau dokter ada mal praktek...kalau penerbangan apa namanya kalau terjadi pembiaran? Apa bisa dibilang "pembunuhan" mengacu pada peristiwa kecelakaan Pondok Indah? Â Ya hanya mereka-reka saja. Semoga para korban diberikan tempat yang layak disisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H