Mohon tunggu...
Ipar Sang Fajar
Ipar Sang Fajar Mohon Tunggu... Buruh - pekicau

pekicau

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Medsos: Antara Wajar dan Bablas

8 Juni 2016   04:22 Diperbarui: 8 Juni 2016   04:28 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang memang sudah ditakdirkan sebagai makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain. Meminjam istilah Zoon Politicon dari Om Aristoteles, atau Homo Homini socius dari Bang Adam Smith (iya, Adam Smith yang invisible hand itu lho), manusia memang dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Jadi kalau ada seorang teman bertanya,”kenapa kamu aktif di jejaring sosial?” jawab saja, “karena saya makhluk sosial.” Beres.

Yang namanya jejaring sosial sekarang banyak sekali. Mulai dari  ̶f̶r̶i̶e̶n̶d̶s̶t̶e̶r̶ , facebook, twitter, instagram, path. Ditambah lagi aplikasi obrolan seperti bbm, whatsapp, dan line. Semua aplikasi tersebut pada dasarnya berfungsi menghubungkan manusia satu dengan manusia lainnya. Ya, membantu manusia menjalani kodratnya sebagai makhluk sosial.

Dalam perjalanannya, beberapa jejaring sosial berkembang begitu pesat. Perkembangan itu juga tentunya dibarengi perilaku baik dan kurang elok dari si pengguna: manusia si makhluk sosial. Kesampingkan dahulu perilaku baik dari pengguna, karena yang baik-baik memang tak perlu dikhawatirkan. yang perlu menjadi perhatian khusus ialah perilaku kurang eloknya. Pencemaran nama baik, penipuan, penculikan, ah biar saja kalau masalah itu para penegak hukum yang urus. Bagi saya itu terlalu ‘serius’.

Saya bahas yang ringan-ringan saja. Perilaku kurang elok yang saya maksud disini adalah kecenderungan kita para pengguna jejaring sosial, seolah tidak ikhlas menjalani hidupnya sebagai pribadi yang juga punya privasi yang tidak perlu dimunculkan di ruang publik. Privasi yang seharusnya hanya kita dan sang pencipta saja yang tahu.

Tidak sedikit mereka yang kebablasan menjalani perannya sebagai makhluk sosial. Andai saya jadikan seorang selebritis menjadi tolak ukur seberapa terbuka seorang pengguna dalam akun media sosialnya, maka saya hanya bisa bilang: “selebritis juga gak gitu-gitu amat!.Ya, selebritis yang notabene- katakanlah- punya simbiosis mutualisme dengan para penggemarnya saja punya ruang privasi tersendiri yang sengaja dikunci dari mata publik.

Iya sih, setiap orang pada dasarnya memang punya sifat lahiriah ingin diperhatikan, dan itu wajar. Bahkan menurut saya, orang yang paling haus perhatian adalah seorang pengajar: guru, dosen dsb. Coba saja kalau sedang di kelas, kalau tidak diperhatikan, mereka pasti akan marah. Bener gak? haa

Kalau masih dalam tahap haus perhatian, itu gak masalah sejauh dalam kadar yang wajar. Yang harus jadi warning bagi kita adalah ketika berada di tahap haus pujian. Ingat, pujian bukan untuk dicari, biarkan ia datang sendiri. Orang bijak bilang pujian adalah teror. Dan kalau menurut saya, pujian adalah ujian yang disamarkan. Disamarkan oleh huruf ‘P’. Begitu tipisnya beda antara ujian dan pujian, maka dari itu kita harus berhati-hati. Berbagi kebaikan itu baik, tapi kalau mengumbar kebaikan dengan tujuan mendapat tanggapan ‘wah’ dari sesama, saya rasa ini yang harus dihindari. Kebaikan disini bukan hanya perkara hubungan vertikal, tapi juga aktivitas sehari-hari dengan sesama dan diri sendiri, yang sekiranya kurang elok untuk dibagi karena akan menimbulkan multi persepsi, atau lebih parahnya lagi kamu dilabeli ‘sok’.

Jujur, saya gak punya masalah dengan teman-teman yang seperti itu, karena bagi saya setiap orang punya hak berselancar di dunia maya dengan gayanya masing-masing. Toh apapun yang mereka tulis gak ada pengaruhnya bagi saya. Tapi sebagai sesama, saya hanya bisa mengingatkan semampu saya. Jangan sampai apa yang kamu tulis membuang apa yang seharusnya kamu dapat. Maksudnya, sesuatu dari yang Maha tahu. Apalagi sekarang memasuki bulan ramadan, semoga apa yang sudah kita raih tak terbuang percuma.

Saya tidak bermaksud menyinggung siapapun dalam tulisan ini, tapi jika ada yang kurang berkenan, saya mohon maaf. Anggaplah tulisan saya ini seperti halnya goyang ngebor Inul Daratista. “bagi yang kurang berkenan melihat saya menulis, jangan marah, maafkanlah!”.

Akhir kata, saya hanya bisa mengajak teman-teman untuk bersama-sama menjadi makhluk sosial yang wajar, makhluk sosial yang gak kebablasan. Ayo!

www.iparfjr.blospot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun