Tidak bisa disangkal bahwa saat ini Indonesia sedang berupaya keras dalam memajukan industri teknologi. Hal ini banyak dipengaruhi dari industri teknologi yang tumbuh sangat pesat di Silicon Valley. Kemudian berimbas ke Indonesia hampir bersamaan dengan meluasnya internet.
Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa startup pertama di Indonesia yang diakui di dunia internasional adalah Koprol. Semacam jejaring sosial buatan anak bangsa yang kemudian diakuisisi oleh raksasa internet Yahoo!.
Sayangnya, ketika Indonesia sedang berbangga karena karya anak bangsa yang diakui di dunia, Koprol terpaksa harus gulung tikar di Agustus 2012. Yahoo! resmi menutup layanan Koprol.
Tetapi masyarakat Indonesia tidak langsung berkecil hati, karena startup lainnya sukses menjadi pusat perhatian dunia.
Adalah Kaskus, situs berbasis komunitas yang diciptakan oleh trio Andrew Darwis, Ronald Stephanus, dan Budi Darmawan ketika masih menimba ilmu di Seattle, Amerika Serikat. Kaskus sukses mencatatkan diri sebagai situs nasional terbesar di Indonesia versi majalah PC Magazine Indonesia di tahun 2005, bahkan film biopiknya sudah dibuat dan sedang tayang di bioskop tanah air.
Apabila Koprol terkenal karena akuisisi Yahoo!, lain halnya dengan Kaskus, yang membesarkan diri sendiri hingga sebesar sekarang.
Virus kesuksesan dan ketenaran startup seperti Koprol dan Kaskus secara tidak langsung menjalar ke masyarakat Indonesia, yang mulai berbondong-bondong membangun startupnya sendiri.
Indonesia merupakan pasar yang masih sangat baru dan memiliki potensi yang luar biasa besar. Tingkat adopsi masyarakatnya bisa dikatakan sangat tinggi apabila menyangkut teknologi. Tidak heran apabila raksasa dunia teknologi dari luar banyak mengincar Indonesia sebagai salah satu konsumen utama mereka.
Tetapi dibalik situasi tersebut, nyatanya tidak sedikit pelaku startup teknologi di Indonesia yang menelurkan hasil karyanya dan sukses di negara sendiri. Contohnya Tokobagus dan Berniaga.com yang saat ini sudah berubah menjadi OLX, Disdus yang diakuisisi oleh Groupon, Bukalapak, Tokopedia, dan masih banyak lagi.
Startup ini bisa dibilang sukses membentuk ekosistem e-commerce di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, giliran industri jasa yang ‘dipermak’ oleh para pelaku startup di bidang layanan on demand. Seperti Gojek, Grab, dan Uber.
Para analis industri memprediksikan bahwa di kedepannya, Indonesia akan menjadi lahan baru bagi pelaku bisnis financial technology atau yang biasa disingkat fintech.
Tetapi apa sebenarnya yang menjadi faktor mengapa fintech bisa tumbuh subur di Indonesia?
Dari segi geografis, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang. Sayangnya, hanya 36% masyarakat yang bankable atau tersentuh oleh layanan bank. Padahal produk finansial ini sangat dibutuhkan bagi individu maupun para pelaku usaha kecil menengah atau yang biasa disingkat UKM.
Analis menyebutkan Indonesia terancam jurang finansial di kalangan masyarakat yang unbankable. Jurang ini berisi sekitar 57 juta bisnis mikro dengan nilai uang hingga USD 54 milyar sampai dengan tahun 2020.
Disinilah teknologi memainkan peranan vital dalam menjangkau populasi yang tidak tersentuh. Penyebaran internet serta harga perangkat mobile yang semakin murah turut memuluskan rencana ini.
Apa saja inovasi dari perusahaan fintech dalam merombak sektor perekonomian yang selama ini kita kenal?
Sama halnya seperti industri teknologi yang lain, fintech diciptakan untuk mengganggu kemapanan industri tradisional. Di tahun 1998, cikal bakal perusahaan PayPal didirikan. Berawal dari payment gateway untuk situs e-commerce, saat ini, PayPal telah menjelma menjadi perusahaan online payment ternama. PayPal berfungsi untuk memproses setiap transaksi dari dan ke perusahaan atau individu di seluruh penjuru dunia, selain juga mampu melakukan transfer uang meski berbeda bank. Artinya PayPal memungkinkan siapapun dari belahan dunia lain untuk bisa bertransaksi secara elektronik.
Kehadiran PayPal otomatis mengubah cara manusia melakukan pembayaran. Seluruh transaksi yang berbeda Negara sekalipun bisa dilakukan. Situs jual beli semakin merajalela karena dimudahkan oleh PayPal.
Di tahun 2008, mata uang elektronik bernama Bitcoin diperkenalkan. Bitcoin bersifat open source serta memungkinkan transaksi peer-to-peer atau tanpa perantara antar satu dengan lainnya.
Diawal kemunculannya, Bitcoin banyak digunakan sebagai mata uang dunia maya dan banyak beredar di situs-situs underground dan black market. Dikarenakan mata uang ini menawarkan anonimitas, tetapi juga memiliki tingkat inflasi yang sangat tinggi.
Saat ini, sudah banyak situs terkemuka menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran elektronik yang sah. Bahkan di Negara seperti Amerika Serikat dan Kanada, Bitcoinsudah bisa digunakan untuk membayar di toko-toko offline.
Inovasi fintech seakan memompa perekonomian dunia. Memberikan akses finansial tanpa batas kepada semua orang. Tetapi bagaimana dengan keadaan fintech di Indonesia?
Saat ini pelaku startup fintech Indonesia sudah banyak bermunculan. Nama-nama seperti penyedia Âe-wallet, Doku; situs e-commerce finansial, CekAja; marketplace reksadana, Bareksa; penyedia layanan pembayaran tagihan online, DavestPay; hingga layanan pembiayaan kredit, Kredivo.
Efisiensi fintech memungkinkan untuk bisa memasuki pasar menengah ke bawah dengan mudah. Salah satu keuntungannya adalah maksimalisasi penggunaan Big Data. Disinilah letak kekuatan fintech yaitu manajemen data. Bayangkan, bagi yang sedang mengurus kredit kendaraan, misalnya. Seluruh data pemohon dapat ditampilkan dengan cepat, mulai dari data aset pribadi, history pembayaran kredit, hingga info social media, sehingga mempermudah persetujuan pencairan kredit. Luar biasa bukan?
Manajemen data mampu memangkas sedemikian banyak proses konvensional yang selama ini masih digunakan, seperti survei dan sebagainya. Hal ini berpengaruh terhadap cost dan berujung pada biaya murah yang saat ini sudah banyak ditawarkan startup fintech.
Tetapi iklim startup teknologi di Indonesia secara keseluruhan masih menjadi tantangan bagi para pelaku startup, tidak terkecuali sektor fintech. Perlunya aturan main untuk melindungi konsumen dari industri ini harus secepatnya dirumuskan.
Beruntung, pemerintah Indonesia cepat tanggap dan sedang mengerjakan perundang-undangan yang rencananya akan diumumkan di tahun ini. Sebelumnya, pemerintah sudah memberlakukan UU ITE yang mencantumkan segala ketentuan mengenai kegiatan internet termasuk e-commerce. Yang paling teranyar adalah peraturan pemerintah mengenai layanan transportasi online seperti Uber dan Grab.
Penundaan regulasi di sektor fintech memang dapat dimaklumi. Dikarenakan lingkup otoritas yang masih belum jelas. Sebagai informasi, seluruh layanan keuangan saat ini berada dibawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sementara aktivitas online seluruhnya diatur oleh Kemenkoinfo.
Kemudian yang terakhir yang perlu dilakukan bagi para pelaku startup fintech Indonesia adalah perlunya kolaborasi dengan badan penyedia layanan keuangan seperti bank, koperasi, dan lain sebagainya. Ini diperlukan agar penetrasi yang dilakukan oleh startup fintech menjadi lebih luas dan lebih berorientasi kepada pelayanan maksimal bagi masyarakat. Kembali lagi, tujuan utama dari fintech adalah untuk menjangkau kaum unbanked.
Akhir kata, semoga regulasi pemerintah bisa cepat disosialisasikan agar kedepannya nanti tidak menghambat pertumbuhan industri fintech di Indonesia. Para pelaku di industri ini harus saling bekerjasama membangun ekosistem finansial yang sehat dan menjamin perlindungan konsumen disamping meminimalisasi resiko.
Tulisan ini adalah tulisan orisinil dari Pangerang Andrian. Pertama dipublikasikan sebelumnya pada blog ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H