Mohon tunggu...
ifan ariansyach
ifan ariansyach Mohon Tunggu... -

-born artsy, live legendary-

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengatasi Masalah Garam Tanpa "Hipertensi"

1 Agustus 2017   22:01 Diperbarui: 2 Agustus 2017   21:51 1527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Garam itu SDA dengan karakteristik unik ya, ga ada substitusinya. Ga seperti karbohidrat, kalo ga ada beras bisa jagung, sagu atau yang lainnya, bisa repot. Jadi kalau masak sayur ga ada garam ya tinggal pilih mau manis atau hambar. :-)

Di Indonesia, dikenal dua jenis garam, garam industri dan garam konsumsi. Namun, dua jenis ini pada dasarnya saling beririsan atau interchangeable* (*tentunya dengan perlakuan tambahan). Makanya di luar negeri garam ya garam saja, tinggal berapa kadarnya.

Seperti banyak diberitakan, pemerintah melalui KKP yang bermaksud memberdayakan petambak garam, sampai saat ini belum bisa berbicara banyak karena sistem di hulu (integrasi, mekanisasi, dll, sampai ke resi gudang) yang digagas belum sepenuhnya selesai. Karenanya sampai saat ini nilai tawar akan selalu lemah dalam hal kualitas dan kuantitas dan kontinuitas ketika ditanya sektor industri mana garamnya? Berapa kadarnya? bisa kontinyu ga? Karena semua pertanyaan tadi tidak bisa terjawab, makanya boleh dong industri minta impor...

Berdasarkan porsinya, pemerintah dalam hal ini KKP ya cukup bicara sampai garam ada digudang dengan speck yang mumpuni dan homogen saja. Sisanya ya tugas instansi/kementerian lain di bawah koordinasi Kemenko tentunya... untuk mengelola kue ekonomi makro garam Indonesia sesuai porsinya masing-masing... jadi tinggal bilang ada atau ga ada supply-nya sekarang, lalu biarkan instansi lain yang bicara sesuai kewenangannya (tentunya saling mengingatkan dan koordinasi lohya :-))

Untuk porsi yang lain, kita juga perlu ingat bahwa dalam bisnis, informasi selalu asymmetric, pada dasarnya mana mau industri terus terang 100% untuk kebutuhan garamnya karena akan membuka informasi penting bagi pesaing, selain bisa jadi pintu masuk biaya tambahan (biaya xxx bahkan mungkin tambahan pajak, retribusi, dll) yang membuat hambatan bisnis makin kompleks. Tapi dalam bisnis, kepastian supply garam jadi penting untuk kuntinuitas produksi yang saat ini hanya bisa dijawab oleh impor. Jadi dapat dipahami bahwa informasi demand tidak selalu symmetric, tetapi demand tetap kontinyu.

Perlu juga diingat kawan, dalam bisnis, bicara produksi normal tapi bicara komponen dan faktor produksi sedikit 'tabu'. *seperti halnya KFC yang konon menyimpan menunya sangat rahasia biar komposisinya (termasuk berapa banyak garam yg dipakai) ga diketahuin orang, nyambung ga ni alasannya, hmmm *thinking :-) ...karenanya, lagi lagi bila bicara kebutuhan dan spesifikasi garam, akan sulit didapat info real dari sektor industri (sektor hilir).

Hipetensi?
Belakangan, hipertensi ini makin seru karena yang ribut dibahas sekarang adalah policy instrument berupa 'impor', seberapa jauh impor garam bisa mengurangi lack of' supply? Biar kurva supply-demand stabil lagi, industri berjalan normal lagi, bahkan mungkin perekonomian makro bidang garam normal lagi. Sebenarnya itu kan dasar masalahnya, secara umum bisa jadi :-)

Tapi seberapa jauh dampak impor mempengaruhi harga di petambak mungkin juga jadi masalah, walaupun berdasarkan justifikasi stok tidak ada saat ini. Namun secara psikologis petambak dan posisi tawar jadi terpengaruh karena hal ini dapat diatasi dengan solusi praktis tadi.

Lalu kemudian banyak juga yang meributkan isu anomali cuaca. Ingat lagi kawan, dalam industri skala besar, cuaca ya tinggal cuaca, yang di dalam teori faktor produksi yang 'mungkin linier', akan selalu ada faktor X yang 'mengganggu' produksi. Jadi, dalam perhitungan faktor produksi, ga bisa terus menerus menyalahkan cuaca dan/atau alam yang sebenernya sudah dapat diperhitungkan, yang ujung-ujungnya nanti saat kehabisan alasan malah menyalahkan climate change pulak yang sudah kadung jadi kambing hitam di mana-mana... Padahal, dalam industri, supply continuity scheme yang baik harus mampu meminimalisasi risk from nature. Jangan-jangan good supply continuity scheme isinya cuma impor aja nih :-(

But then… ada pula yang bilang masalah garam adalah tata niaganya. Hmmm.. kayanya semua komoditas dan non-pangan selalu terkait dengan masalah tata niaga yang kompleks deh (mulai dari beras maknyus, gula, dll.., dan sekarang garam). di Indonesia, dengan sistem ekonomi 'terbuka', siapa saja boleh bermain garam kan??

Tinggal moralitas yang berperan kemudian. Asal sesuai, regulasipun tidak mengharamkan pendatang baru atau pemain lama saling sikut untuk bermain garam. Ingat kawan ini bukan negara komunis atau sosialis yang semua di kontrol ketat (Seven Eleven aja mati perlahan karena kalah dalam persaingan bisnis). Karenanya, untuk komoditas garam, Secara alami permainan ‘di tengah' (baca: middleman) selalu lebih menggiurkan bagi yang 'berjiwa' petualang bisnis.

Dalam jangka panjang, policy instrument melalui implementasi teknologi mungkin jadi pembeda karena bahan baku utama air laut akan selalu tersedia. Tapi investasinya mahal, belum lagi (sosial) cost untuk transformasinya akan berpengaruh juga bagi petambak (lagi-lagi petambak, lagi lagi bikin pemerintah mesti putar otak, lagi-lagi cost-nya siapa yang tanggung dan ambil dari pengurangan subsidi mana lagi???). 

Lalu ada pula pemikiran praktis bahwa transformasi teknologi dapat melibatkan industri seperti metode pendekatan produsen otomotif Jepang di Indonesia yang mendekatkan pabriknya ke sektor hulu (bahan baku) sekaligus guna mendekatkan diri ke pasarnya. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pendekatan ini dalam jangka panjang bisa jadi 'membunuh' petambak garam di tambaknya sendiri.

Hipertensi Garam Skala Makro
Saat ini semua sangat gampang menyalahkan, yang pada saat yang sama semua seolah-olah membela petambak juga. Yes!!! Petambak sangat penting untuk dibela, tapi lebih penting juga diajarin, dibina, diberdayakan dll.. agar tetap konsisten, belajar dari kondisi masa lalu dan krisis saat ini. Buat mereka paham porsinya dan bagaimana persaingan dalam skala makro, serta apa keunggulan absolut dan komparatif mereka dalam dunia makro garam. Dari sini timbul juga pertanyaan "Atau malah sebenarnya sebagian dari mereka, yang biasanya bermain dua peran (petambak dan middleman) sudah teredukasi oleh pasar, sehingga sudah lebih tau masalah ini??" Hmmm.. who knows...

Lebih jauh dalam skala makro, muncul pertanyaan berapa besar sih porsi 'kue' garam indonesia dimiliki petambak? (mungkin ada yang menyamakan ini dengan market share). dapat dipahami bahwa porsi petambak jadi sangat kecil ketika dilihat secara menyeluruh termasuk didalamnya multiplier impact garam hulu-hilir, dan komparasipun akan terjadi. 

Berapa banyak buruh pabrik yang mesti berhenti kerja karena supply garam kurang, berapa banyak IKM macet, berapa banyak dan terus berapa banyak, lebih banyak mana dan akhirnya akan jadi ada benturan policy intrument yang berdasarkan pada UU masing-masing yang semuanya membela level bawah, di mana UU nomor 7 tahun 2016 yang membela petambak versus UU-UU lain yang ditujukan untuk membela buruh kerja dan supply demand serta ekonomi makro dll. Jadi perlu diingat bahwa pada akhirnya asumsi sesaat soal kisruh garam kita jagan sampai membenturkan kebijakan dengan tujuan sejenis namun berbeda objek.

Solusi Praktis Oportunis vs Solusi Sistematis
Lalu bagaimana sebaik-baiknya solusinya? Kalo pake pendekatan KISS (keep it simple stupid) tahun ini impor ya sudah impor saja 'praktis oportunis', akui kesalahan, akui kegagalan mengelola supply. Tinggal selanjutnya bantu bagian hulu (Pemerintah/KKP, petambak dan/atau PT Garam) sesuai porsinya biar produksi jadi homogen dan kontinyu sampai di gudang. Sehingga 'pasar' garam pun dapat dipindahkan ke gudang yang membuat transaksi lebih akuntable dan transparant. Dengan skema ini, permainan 'ditengah' tadi jadi milik petambak melalui gudang tadi (a.k.a: pendekatan Koprasi melalui unit usaha gudangnya). -> lebih jelas lihat video ini.

Untuk yang biasanya berkoar-koar Pemerintah kerja ga becus, singsingkan lengan bajunya, bantu juga mikirin bikin policy instrument yang sistematis biar penerapan TQM atau Six Sigma dalam mengelola faktor produksi pihak industri bisa terhubung dengan gudang tadi (lokal, regional, nasional). Seru nih kalo udah bahas yang ini; contohnya: gimana Toyota City di Jepang berkembang). Simulasikan skema apa yang pas biar production cost dan opportunity cost dari sisi bisnis dan petambak terselesaikan tanpa membuat petambak kehilangan porsinya (biasanya, karena industri ga mau rugi dan petambak ga punya uang, mungkin lagi-lagi cost-nya mesti ditanggung pemerintah loh ya :-)

Perlu juga diingat bahwa masalah isu Kartel garam dengan pemain 7 samurai yang selama ini menguasai tentu kita tidak bisa cuma berkomentar tanpa pembuktian (evaluasi mungkin dari KPPU, Kementerian/Instansi terkait, Bareskrim, bahkan mungkin masyarakat luas) disertai dengan pembuktian terbalik dari mereka juga. Jadi hasil pembuktian ini bisa jadi masukan dalam pembuatan dan simulasi policy instrument sistematis yang sedang dibangun tadi. Tapi, sekali lagi ingat kawan! Bahwa permainan ‘di tengah’ selalu lebih menggiurkan (less power, more profit). Dan selama sesuai aturan dan tidak ada bukti kecurangan, kita tidak bisa begitu saja mengklaim ada kartel garam, because simply they play based on the rules.

Jadi sebagai penutup, jangan melulu bicara masalah impor inilah.. itulah.. (yang sebenarnya sudah terverifikasi/ter-tabayyun) sebagai solusi praktis oportunis saat ini. Mulai saat ini porsi bicara solusi sistematis harus lebih besar (tentu dengan analisis rinci dan menyeluruh), implementasi policy instrument apa yang tepat dan bagaimana caranya serta apa dampaknya (mungkin disertai policy review hulu-hilir) serta pengembangan insentif seperti apa buat sektor industri (hilir) sebagai timbal balik atas keterlibatan mereka menjaga sektor hulu.

Ayo ada yang mau fasilitasi ga proses rumit* yang disebut di atas? Di era seperti sekarang ini, tentunya pemerintah terbuka akan hal ini. Tapi tetap ingat, kalo mau kasi saran dan komen mbok ya yang konstruktif lah, jangn cuma bisa menyalahkan aja. think like scientist but act like engineer mas broo...

*) Perlu diingat bahwa bahkan pembuatan dan implementasi policy instrument aja kita butuh cost yang tinggi, itupun kalau berhasil, kalau tidak malah menimbulkan eksternalitas lagi, dan siapa lagi yang akan menanggungnya ... 

iPang -born artsy, live legendary

*tulisan ringan ala 'Kuli Honor'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun