Garam itu SDA dengan karakteristik unik ya, ga ada substitusinya. Ga seperti karbohidrat, kalo ga ada beras bisa jagung, sagu atau yang lainnya, bisa repot. Jadi kalau masak sayur ga ada garam ya tinggal pilih mau manis atau hambar. :-)
Di Indonesia, dikenal dua jenis garam, garam industri dan garam konsumsi. Namun, dua jenis ini pada dasarnya saling beririsan atau interchangeable* (*tentunya dengan perlakuan tambahan). Makanya di luar negeri garam ya garam saja, tinggal berapa kadarnya.
Seperti banyak diberitakan, pemerintah melalui KKP yang bermaksud memberdayakan petambak garam, sampai saat ini belum bisa berbicara banyak karena sistem di hulu (integrasi, mekanisasi, dll, sampai ke resi gudang) yang digagas belum sepenuhnya selesai. Karenanya sampai saat ini nilai tawar akan selalu lemah dalam hal kualitas dan kuantitas dan kontinuitas ketika ditanya sektor industri mana garamnya? Berapa kadarnya? bisa kontinyu ga? Karena semua pertanyaan tadi tidak bisa terjawab, makanya boleh dong industri minta impor...
Berdasarkan porsinya, pemerintah dalam hal ini KKP ya cukup bicara sampai garam ada digudang dengan speck yang mumpuni dan homogen saja. Sisanya ya tugas instansi/kementerian lain di bawah koordinasi Kemenko tentunya... untuk mengelola kue ekonomi makro garam Indonesia sesuai porsinya masing-masing... jadi tinggal bilang ada atau ga ada supply-nya sekarang, lalu biarkan instansi lain yang bicara sesuai kewenangannya (tentunya saling mengingatkan dan koordinasi lohya :-))
Untuk porsi yang lain, kita juga perlu ingat bahwa dalam bisnis, informasi selalu asymmetric, pada dasarnya mana mau industri terus terang 100% untuk kebutuhan garamnya karena akan membuka informasi penting bagi pesaing, selain bisa jadi pintu masuk biaya tambahan (biaya xxx bahkan mungkin tambahan pajak, retribusi, dll) yang membuat hambatan bisnis makin kompleks. Tapi dalam bisnis, kepastian supply garam jadi penting untuk kuntinuitas produksi yang saat ini hanya bisa dijawab oleh impor. Jadi dapat dipahami bahwa informasi demand tidak selalu symmetric, tetapi demand tetap kontinyu.
Perlu juga diingat kawan, dalam bisnis, bicara produksi normal tapi bicara komponen dan faktor produksi sedikit 'tabu'. *seperti halnya KFC yang konon menyimpan menunya sangat rahasia biar komposisinya (termasuk berapa banyak garam yg dipakai) ga diketahuin orang, nyambung ga ni alasannya, hmmm *thinking :-) ...karenanya, lagi lagi bila bicara kebutuhan dan spesifikasi garam, akan sulit didapat info real dari sektor industri (sektor hilir).
Hipetensi?
Belakangan, hipertensi ini makin seru karena yang ribut dibahas sekarang adalah policy instrument berupa 'impor', seberapa jauh impor garam bisa mengurangi lack of' supply? Biar kurva supply-demand stabil lagi, industri berjalan normal lagi, bahkan mungkin perekonomian makro bidang garam normal lagi. Sebenarnya itu kan dasar masalahnya, secara umum bisa jadi :-)
Tapi seberapa jauh dampak impor mempengaruhi harga di petambak mungkin juga jadi masalah, walaupun berdasarkan justifikasi stok tidak ada saat ini. Namun secara psikologis petambak dan posisi tawar jadi terpengaruh karena hal ini dapat diatasi dengan solusi praktis tadi.
Lalu kemudian banyak juga yang meributkan isu anomali cuaca. Ingat lagi kawan, dalam industri skala besar, cuaca ya tinggal cuaca, yang di dalam teori faktor produksi yang 'mungkin linier', akan selalu ada faktor X yang 'mengganggu' produksi. Jadi, dalam perhitungan faktor produksi, ga bisa terus menerus menyalahkan cuaca dan/atau alam yang sebenernya sudah dapat diperhitungkan, yang ujung-ujungnya nanti saat kehabisan alasan malah menyalahkan climate change pulak yang sudah kadung jadi kambing hitam di mana-mana... Padahal, dalam industri, supply continuity scheme yang baik harus mampu meminimalisasi risk from nature. Jangan-jangan good supply continuity scheme isinya cuma impor aja nih :-(
But then… ada pula yang bilang masalah garam adalah tata niaganya. Hmmm.. kayanya semua komoditas dan non-pangan selalu terkait dengan masalah tata niaga yang kompleks deh (mulai dari beras maknyus, gula, dll.., dan sekarang garam). di Indonesia, dengan sistem ekonomi 'terbuka', siapa saja boleh bermain garam kan??
Tinggal moralitas yang berperan kemudian. Asal sesuai, regulasipun tidak mengharamkan pendatang baru atau pemain lama saling sikut untuk bermain garam. Ingat kawan ini bukan negara komunis atau sosialis yang semua di kontrol ketat (Seven Eleven aja mati perlahan karena kalah dalam persaingan bisnis). Karenanya, untuk komoditas garam, Secara alami permainan ‘di tengah' (baca: middleman) selalu lebih menggiurkan bagi yang 'berjiwa' petualang bisnis.