Mohon tunggu...
Ipah Rosipah
Ipah Rosipah Mohon Tunggu... -

Pengurus Panti asuhan Al-Qomariyah - Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB Jalur Afirmasi Tidak Inklusif, Anak Panti Asuhan Sulit Mendaftar!

14 Agustus 2014   01:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“ Syarat administratif jalur tidak mampu pada penerimaan siswa baru (PPDB) tidak bisa digeneralisir untuk semua anak hingga miskin toleransi, apalagi pada kasus panti asuhan, tidak semua hal bisa dipenuhi. Seharusnya, seluruh pihak pemerintah tidak hanya asal membuat kebijakan yang membabi buta dan membatasi hak anak. Syarat ini, harus ditinjau ulang, agar semua anak dapat menikmati hak pendidikan tanpa terkecuali,".

Surat keterangan tidak mampu (SKTM) kota Bandung menjadi salah satu syarat mutlak bagi siswa yang ingin mendaftarkan dirinya ke sekolah idaman melalui jalur afirmasi. Surat tersebut ternyata menyulitkan pihak yayasan untuk mendaftarkan anak asuhnya. Pasalnya, banyak dari mereka yang berasal dari luar daerah, namun sudah lama tinggal di panti yang berdomisili di kota Bandung.

Hal ini dirasa menghambat upaya pengurus saat mendaftarkan anak asuhnya, apalagi beberapa hal administratif lain yang tidak lebih mudah pun harus kami penuhi. Pemerintah menetapkan bahwa untuk PPDB jalur afirmasi/tidak mampu tanggal 30 Juni- 5 juli kemarin, pendaftar wajib memiliki SKTM Bandung, Fotokopy KTP orang tua dan Kartu keluarga (KK) legalisir serta akte kelahiran.

Bukan hal yang mudah bagi pihak yayasan untuk melengkapi prasarat tersebut. Misal saja untuk kartu keluarga, yayasan harus membuat satu persatu surat pindah dari daerah asal anak ke panti sebagai prasarat. Padahal, berdasarkan peraturan dari kementrian sosial mengenai Standar Nasional Pengasuhan anak bahwa panti bukan tempat permanen dan tidak boleh lebih dari 18 tahun. Setiap saat anak bisa saja kembali pada orang tua jika memungkinkan atau mendapatkan keluarga asuh.



Benang kusut syarat administratif jalur afirmasi

Panti asuhan memiliki latar belakang anak yang beraneka ragam, mulai dari yatim piatu/Dhuafa hingga belum jelas asal usulnya. Butuh waktu  yang tak sebentar untuk pihak yayasan mencari asal usul anak. Sedangkan, mereka masih punya hak yang tidak bisa ditunda. Ya, salah satunya adalah sekolah. Tak sampai hati yayasan harus mencantumkan mereka anak hilang dalam surat pernyataan. Tak heran, setiap tahun data kami fluktuatif, ada yang menemukan keluarga baru, kembali pada keluarganya atau bahkan masih di panti. hal yang mustahil dan cukup kejam bagi kami membuat satu persatu surat pindah.

Dalam pernyataan sebelumnya bahwa syarat utuk alur afirmasi, yayasan wajib memiliki SKTM bandung, Fotokopy kartu keluarga dan KTP legalisir, serta akte kelahiran anak.

Permasalahan muncul ketika akan membuat SKTM bandung. Dalam prasarat, yayasan wajib memiliki kartu keluarga, sedangkan anak dalam yayasan tidak secara permanen dalam panti, suatu saat bisa saja pindah. Tapi, kelurahan mewajibkan agar setiap anak memiliki satu persatu surat pindah ke bandung untuk memiliki kartu keluarga. Jelas tidak mungkin, selain jumlah anak yang tidak satu dan tetap, mereka takkan selamanya di panti. Jika begitu, dalam setahun, yayasan bisa saja membuat 3 kali bahkan lebih perubahan kartu keluarga dan surat pindah, dan jelas hal ini sangat tidak memungkinkan.

Ketika yayasan tidak bisa menghadirkan surat pindah, tak bisa pula kami membuat kartu keluarga. Sedangkan, untuk membuat SKTM bandung, wajib memiliki kartu keluarga. Dalam artian, jangankan legalisir, membuat saja sudah mustahil. Alhasil, terimakasih pemerintah sudah membuat yayasan harus bekerja ekstra keras dan memutar otak untuk mengantarkan anak asuhnya ke gerbang pendidikan yang lebih tinggi.

Tidak berhenti dengan sekelumit masalah kartu keluarga dan SKTM. Akte kelahiran pun menjadi bahan pertimbangan. Kami pun tidak menampik bahwa masih ada anak yang tidak jelas identitasnya, dan lagi lagi syarat untuk membuat akte kelahiran menurut Dinas kependudukan diharuskan adanya surat keterangan lahir dari bidan, buku nikah hingga KTP orang tua, bila tak ada, maka anak akan dicantumkan sebagai anak hilang dalam akte kelahiran. Tak sampai hati kami harus membuatkan akte kelahiran dengan status anak hilang dari kepolisian, padahal kemungkinan untuk menemukan orang tua masih ada.

Masih perlukah yayasan membuat SKTM?

Hal yang paling membuat yayasan mengkerinyetkan kening dan mengelus dada adalah mengenai tidak berpengaruhnya legitimasi sebagai yayasan yang telah dikeluarkan oleh Dinas Sosial. Bukan hanya itu, yayasan pun sudah mengeluarkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa anak didiknya memang betul betul berasal dari panti asuhan dan wajib untuk dibantu. Namun, birokrasi tetaplah birokrasi, sekolah menolak ketika tidak adanya SKTM dengan landasan menaati aturan yang ditetapkan.

Lagi lagi, ini bukan masalah permintaan belas kasihan untuk digratiskan, namun lebih kepada penyadaran tanggung jawab pemeritah dalam membantu warganya untuk mendapatkan hak pendidikan. Pasal 34 serta konvensi hak anak sudah jelas mengatur mengenai tidak adanya pengecualian bagi siapapun untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, tidak digeneralisir, harus disesuaikan dengan keadaan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.

Landasan lain yang memperkuat ketika melihat potensi dari anak didik yang berbeda-beda. Yayasan jelas berupaya memaksimalkan anak untuk mendapatkan tempat sesuai dengan kategorisasi keahlian. Tak sampai hati pula kami mengkolektifkan anak untuk masuk ke satu sekolah yang sama dan jelas tak sesuai dengan passion mereka.

Hal ini dirasa sebagai kebijakan yang tidak inklusif, tak bisa diaplikasikan untuk semua kalangan. Kebijakan yang buta akan aspek sosial, tidak komprehensif memandang seluruh masyarat yang akan melanjutkan pendidikan. Belum lagi masalah sosial yang lain, ini masih panti asuhan yang legalitas lembaganya bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana dengan anak jalanan, anak dalam perlindungan serta korban perang? Masih menjadi PR besar dalam merumuskan sebuah kebijakan.

Seharusnya, aturan SKTM dalam PPDB jalur afirmasi ini dibuat ketat untuk mereka yang tinggal di dalam lingkungan masyarakat untuk menghindari kecurangan. Bagi yayasan, surat pernyataan dari panti itu sendiri, legitimasi dinas sosial serta kementrian sosial, keterangan domisili dari kelurahan setempat seharusnya bisa menggantikan kedudukan SKTM yang hanya berasal dari kelurahan.

Memang, hal ini bukan kesalahan dari sekolah tujuan, mereka hanya melaksanakan tugas sesuai dengan surat edaran akan kebijakan baru. Beberapa panitia PPDB pun mengaku hanya menaati prosedur sebagai kewajiban dalam melaksanakan tugas.

Sistem PPDB yang menekankan pada rayonisasi (wilayah) kami dukung untuk menekan biaya transportasi yang harus dikeluarkan yayasan, tapi lagi lagi hal ini juga harus dipikirkan secara merata dan komprehensif, cocok apa tidak, sehingga tidak miskin toleransi.

Yayasan pun berharap agar pemerintah dalam membuat kebijakan harus secara menyeluruh, komprehensif, tidak mengeneralisir, agar bisa diaplikasikan untuk semua pihak termasuk anak dalam pengasuhan yayasan. Bukan niat untuk meminta dikasihani, hanya membuka akses pendidikn, selebihnya biarkan yayasan yang berusaha sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun