Harap disadari, meski berpijak atas hierarki ketidakpastian/kepastian, ilmu pengetahuan dan teknologi kita sekarang sudah dapat mengirim astronot-astronot ke bulan kita dan wantariksa-wantariksa tanpa awak ke kawasan-kawasan yang jauh dalam sistem Matahari kita dan beberapa bahkan sudah lepas dari kawasan sistem Matahari kita, melesat ke dalam dunia antarbintang.
Telah disebut di atas adanya prinsip verifikasionisme yang dijalankan lewat pencarian dan pengajuan bukti-bukti. Nah, karena selalu diuji berlapis lewat pengajuan bukti-bukti, setiap posisi keilmuan selalu dengan sendirinya terbuka pada "koreksi diri" atau "self-correction". Tentu saja koreksi diri ini dilakukan lewat tangan para ilmuwan yang terus mengobservasi dan menganalisis, dan melakukan dialektika tesis vs. antitesis yang ketika keduanya dipertemukan dengan dinamis melahirkan sintesis sebagai sebuah tesis baru.
Lalu, bagaimana halnya dengan fiksi sains? Sama juga. Fiksi sains juga bahasa modus indikatif, menunggu waktu untuk tiba pada pembuktian sebagai "sains itu sendiri" atau "science proper", atau "bonafide science", berhubung setiap fiksi sains dibangun dengan fondasi "sains dasariah" atau "basic science". Di atas fondasi kokoh "basic science" ini dibangunlah fiksi-fiksi imajinatif yang merupakan kelanjutan yang menjulang dari fondasinya.
Jadi, ilmu pengetahuan juga bergerak maju dan berkembang terus-menerus di tangan para ilmuwan lewat banyak imajinasi yang berdisiplin dan kreatif (bukan yang "ngaco gak keruan") yang tak pernah habis. Perhatikan tiga ucapan ilmuwan termashyur Albert Einstein berikut ini yang memberi tempat penting bagi imajinasi.
"Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, tapi imajinasi."
"Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Imajinasi menyelimuti dunia."
"Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Imajinasi adalah bahasa mental. Perhatikan imajinasi anda, maka anda akan menemukan bahwa semua yang anda butuhkan akan terpenuhi."
Keterlibatan imajinasi dalam merancangbangun ilmu pengetahuan menyebabkan ilmu pengetahuan juga memiliki dimensi-dimensi artistik bahkan puitik.
Dalam rangka itulah, kerap para saintis memakai bantuan metafora-metafora dalam menggambarkan dengan imajinatif posisi-posisi ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu pengetahuan tentang kawasan "dunia" partikel hingga ilmu pengetahuan tentang "multiverse" atau jagat raya majemuk mahabesar.
Di atas sudah saya pakai metafora "sebuah balon yang sedang ditiup hingga terus mengembang" untuk menggambarkan fakta ilmiah bahwa jagat raya kita terus memuai atau mengembang ("ever-expanding").
Untuk mendeskripsikan ihwal bagaimana jagat raya majemuk terbentuk, dipakailah metafora gelembung-gelembung atau bola-bola busa sabun yang terbentuk sambung-menyambung makin banyak dan menyebarluas dari larutan air sabun yang diaduk dan dihembus. Boleh saja kita iseng bertanya, dari mana adonan atau larutan air sabun itu pada awalnya.