Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bom Bunuh Diri, Gangguan Mental, dan Cuci Otak

27 Mei 2017   21:34 Diperbarui: 29 Juni 2018   02:31 2521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuci otak (charlessledge.com)

Kapolri Jendral Tito menyatakan bahwa para pelaku teror bom bunuh diri Kampung Melayu, Rabu malam, 24 Mei 2017, mengalami problem psikologis. 

Terkuak sudah, dua pelakunya berasal dari jaringan radikalis takfiri Jemaah Ansharut Daulah atau JAD, yang berafiliasi dengan ISIS. Masalah mengapa orang jadi teroris, bukan pendidikan dan pekerjaan (kategori kaya atau miskin, tidak menjadi faktor penentu; begitu juga tingkat pendidikan), tapi psikologi. Tegas Tito, “Psychology is a matter.”

Orang yang jiwanya tidak tegar, lemah, rapuh dan submisif, paling mudah direkrut jadi teroris. Sebaliknya, orang yang cerewet, terus kritis bertanya balik, penuh selidik, tidak mau tunduk pada kemauan si pencuci otak, ditinggalkan oleh si perekrut./1/

Jelas, faktor psikologi individual dan komunal ikut berperan signifikan dalam aksi-aksi bom bunuh diri yang dilakukan para teroris. 

Neurosaintis dari Universitas Oxford, Kathleen Taylor, sekian waktu lampau, telah menyatakan bahwa para ekstrimis religius yang beranekaragam jenis itu “dapat diperlakukan sebagai orang yang sedang mengalami gangguan mental.” 

Kathleen Taylor wanti-wanti mengingatkan bahwa "Seseorang yang, misalnya, telah menjadi radikal dalam menganut ideologi suatu sekte, tidak dapat lagi kita pandang sebagai seseorang yang dari kehendak bebasnya yang murni telah menentukan pilihan pribadinya, tetapi kita dapat mulai memperlakukannya sebagai orang yang sedang mengalami sejenis gangguan mental. Dalam banyak segi, jika ini sikap kita, sikap kita ini dapat menjadi suatu hal yang sangat positif, berhubung, tak diragukan lagi, ada kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat kita yang telah menimbulkan sangat banyak kerusakan. Orang-orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan semacam ini akan dapat diobati."/2/ 

Lewat indoktrinasi intensif dan kegiatan cuci otak atau “brainwashing” yang menggunakan tekanan psikis, penyiksaan ragawi, dan tipu daya, serta janji-janji pembebasan dari penderitaan dan tirani dan kemiskinan, orang-orang yang rentan semacam yang telah digambarkan di atas itu mudah sekali direkrut jadi teroris dalam berbagai gerakan dan aksi.

Indoktrinasi yang masif dan intensif, yang dilakukan dengan segala cara yang tidak membuka peluang apapun untuk orang bertanya, meragukan dan menolak, akan mengubah total isi dan cara kerja otak para korban, selanjutnya juga bermuara pada perubahan drastis watak dan perilaku. Inilah kengerian dari apa yang dinamakan cuci otak atau “brainwashing”.

Para neurosaintis dan psikolog sosial sudah lama mempelajari cuci otak sebagai sebuah kegiatan propaganda yang berbahaya dan keji, yang merampas dan mematikan kebebasan dan hak setiap orang untuk menentukan jalan kehidupan, tindakan dan isi pikiran mereka sendiri.

Kathleen Taylor dikenal khususnya lewat bukunya yang berjudul Brainwashing: The Science of Thought Control (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006). Perhatikan pernyataannya berikut ini tentang “brainwashing” atau cuci otak./3/

“Pada intinya cuci otak adalah suatu ide yang sangat jahat, yang didasarkan pada impian untuk sepenuh-penuhnya mengontrol pikiran manusia, yang mempengaruhi kita semua dengan cara-cara tertentu.

Cuci otak pada dasarnya adalah penyerbuan terhadap privasi, yang berusaha mengendalikan bukan hanya bagaimana orang bertindak, tetapi juga apa yang mereka pikirkan. Cuci otak menimbulkan ketakutan-ketakutan kita yang terdalam karena mengancam akan menghilangkan kebebasan dan bahkan identitas manusia.

Kami menemukan bahwa cuci otak adalah suatu bentuk ekstrim pengaruh sosial yang menggunakan mekanisme-mekanisme yang makin banyak dikaji dan dipahami para psikolog sosial.

Pengaruh sosial tersebut dapat sangat bervariasi dalam intensitasnya. Dan kami mengeksplorasi sejumlah situasi yang melibatkan individu-individu, kelompok-kelompok kecil, dan keseluruhan masyarakat-masyarakat.

Dalam semua segmen ini, tipe-tipe pengaruh yang kami sebut cuci otak dicirikan oleh penggunaan kekuatan pemaksa atau tipu daya atau keduanya sekaligus.”

Taylor lebih jauh menandaskan bahwa 

“kita semua mengubah dan mengganti kepercayaan-kepercayaan kita. Kita semua saling membujuk dan saling meyakinkan bahwa kita harus melakukan itu dan ini. Kita semua setiap hari menyaksikan dan mendengar iklan-iklan. Kita semua dididik dan mengalami berbagai pengalaman keagamaan.

Cuci otak, jika anda tak berkeberatan, adalah tujuan ekstrim dari semua itu. Cuci otak adalah sejenis penyiksaan psikologis yang dijalankan dengan keras dan di bawah tekanan pemaksa. Otak kita bisa digunakan untuk, pada satu pihak, mengangkat dan memajukan harkat dan martabat kemanusiaan kita; tapi pada lain pihak, untuk keperluan yang sewenang-wenang dan berbahaya.” 

Fenomena cuci otak pada mulanya terpantau dalam diri para tawanan perang, “Prisoners of Wars”,  atau POWs, yang dalam jangka waktu cukup lama telah mendekam dalam ruang-ruang penyiksaan pihak negara penawan. Setelah terjadi gencatan senjata atau lewat jalur diplomasi yang melibatkan pihak ketiga, para POWs ini dikembalikan ke negara asal mereka.

Yang sangat mengagetkan adalah ketika ditemukan fakta bahwa POWs ini sudah berubah pikiran dengan drastis dan radikal: mereka didapati malah membela habis-habisan negara-negara yang telah menawan mereka dan ganti memegang mati-matian ideologi dan sistem nilai negara-negara musuh yang semula mereka perangi sebagai pasukan yang ditugaskan ke sana.

POWs yang sudah tercuciotak ini malah menjadi musuh negeri mereka sendiri, yang sekarang mereka sedang diami kembali. Cuci otak selama masa ditawan, mengubah total diri dan isi otak para tawanan perang. Mengerikan, memang! 

Tapi pada kesempatan ini, saya mau tambahkan info tentang suatu temuan mutakhir neurosains yang juga membantu kita dalam memahami para pelaku teror. 

Sebetulnya, kemiskinan parah yang berlarut-larut--yang membuat siapapun mengalami stres dan depresi, juga berubah watak menjadi sangat sensitif dan agresif, dan menanggung beban mental yang sangat berat seperti ketakutan dan kecemasan--membuat bagian pemroses emosi (dan memori jangka panjang) dalam otak yang dinamakan sistem limbik (mencakup amygdala, thalamus, hippokampus, hypothalamus, basal ganglia, dan cingulate gyrus) “overloaded”, kelebihan muatan.

Akibatnya, sistim limbik ini meneruskan beban neural stres dan rasa takut yang berlebihan ini ke bagian otak yang ada di depannya, yakni lobus prafrontalis yang menjadi semacam CPU bagi kecerdasan dan aktivitas bernalar untuk menyelesaikan masalah, merencanakan tujuan dan sasaran serta melaksanakan tugas dan kewajiban.

Penerusan beban stres mental ini dari sistim limbik membuat lobus prafrontalis tidak leluasa, tak penuh dan tidak lentur lagi bekerja dengan efisien. Kondisi neural inilah yang menyebabkan orang yang hidup dalam kemiskinan jangka panjang kurang atau tidak mampu lagi berpikir cerdas, rasional, terfokus dan kritis. 

Mereka tidak semua dilahirkan bodoh, tetapi kemiskinan parah jangka panjang menjadi salah satu faktor utama yang membuat mereka kurang berakal dan tidak mampu berargumentasi rasional dan memenuhi tugas dan tanggungjawab sosial yang sehat./4/

Alhasil, mereka menjadi rentan dan submisif terhadap indoktrinasi, cuci otak, janji-janji kehidupan baka yang terbebas dari penderitaan dan tirani yang dibayang-bayangkan, saat sedang direkrut menjadi para teroris.

Jadi faktor utama yang menciptakan para teroris memang indoktrinasi dan “brainwashing”, yang prosesnya jauh lebih mudah dijalankan dan hasilnya cepat didapat oleh para perekrut jika dijalankan pada orang-orang yang berjiwa rapuh dan submisif pada janji-janji pembebasan sekaligus agresif. 

Nah, kerapuhan dan kerentanan psikologis ini, serta sifat submisif dan agresif, tidak sedikit juga timbul dari kemiskinan jangka panjang yang tidak mau diatasi khususnya oleh mereka sendiri. Ya karena aktivitas lobus prafrontalis dalam otak mereka sudah sangat lemah, seandainya belum padam.

Mereka, sekali lagi saya tekankan, tidak dilahirkan bodoh, tetapi lingkungan kehidupan mereka yang keras dan miskin menjadikan mereka lambat laun tidak mampu berpikir rasional untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah mereka sendiri yang rumit dan multidimensional. 

Dengan demikian, pihak-pihak luar (yang terpelajar dan tidak miskin, tapi menganut suatu belief system yang ekstrim radikal) dengan mudah mengintervensi kehidupan dan isi pikiran mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang membahayakan masyarakat dan dunia. Mereka adalah makanan-makanan empuk bagi para perekrut radikalis ekstrimis.

Tentu saja, perilaku teroris dan ideologi terorisme adalah suatu jejaring fenomena yang kompleks. Ada sejumlah faktor lain yang tidak dibeberkan pada kesempatan ini. 

Selain sikon sosiologis, kondisi kesehatan otak, dan psikologi, ada faktor-faktor lain yang ikut melahirkan para teroris, yakni biologi (khususnya genetika), dan elemen-elemen environmental seperti pendidikan dan pengasuhan, lingkungan pergaulan, kultur keluarga, sistem kepercayaan atau ideologi religiopolitik, dan gaya hidup. 

Pada kesempatan lain, saya akan mengupas segi-segi lain yang tidak tercakup dalam tulisan pendek ini. 

Stay blessed.

Silakan share. Tolong tidak di-copypaste. Thanks.


Jakarta, 27 Mei 2017
ioanes rakhmat

Editing mutakhir 1 Juni 2018

Sumber-sumber

/1/ Ambaranie N.K. Movanita, "Kapolri Sebutkan Ciri-ciri Orang Yang Berpotensi Jadi Teroris", Kompas.com, 27 Mei 2017.

/2/ Meredith Bennet-Smith, "Kathleen Taylor, Neuroscientist, Says Religious Fundamentalism Could Be Treated As A Mental Illness", Huffpost Religion, 31 May 2013, updated 6 Dec 2017.

/3/ Kathleen Taylor, Brainwashing: The Science of Thought Control (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006), hlm. ix-x.

/4/ Tara García Mathewson,
"How Poverty Changes the Brain", The Atlantic, 19 April 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun