Baik, kita pahami dulu singkat saja apa arti kata “proxy”. Kata ini berkaitan dengan kata Inggris Pertengahan “procusie” (kata benda; kini: “procuracy”). Kata kerjanya “to procure” (Latin: “procurare”), artinya “mendapatkan sesuatu dengan cara tidak langsung, lewat pihak lain sebagai agen”. Dus, kata benda “proxy” artinya agen, pihak lain, pengganti, pihak yang diberi wewenang, pihak ketiga. Lantas, apa itu “proxy war”?
“Proxy war” adalah suatu strategi dan taktik perang yang diklaim tidak tradisional, karena tidak ada pengerahan pasukan asing di segala lini (darat, laut dan udara) untuk memerangi dan menguasai suatu negara lain, atau dalam perang antardua negara di suatu kawasan. Tapi cukup dengan memakai tangan-tangan pihak ketiga, misalnya orang yang menjadi warganegara dari suatu negara yang ingin direbut dan dijajah atau yang sedang diperebutkan oleh beberapa negara lain.
Perang terbuka antardua negara tidak terjadi, tetapi negara pertama yang menyerang memakai pihak ketiga yang ada di dalam negara kedua yang sedang diserang. Nah, “orang-orang dalam ini” CUKUP diorganisir, dikelompok-kelompokkan, dipersenjatai, lalu diadudomba satu sama lain, dengan muara perang sipil dan kehancuran negara yang ingin dikuasai dan dijajah, atau yang sedang diperebutkan dan diserang. Itulah proxy war.
Proxy war, dus, akan jalan HANYA KALAU ada kelompok-kelompok dari suatu bangsa yang majemuk yang mau jadi “pion-pion” orang luar, baik karena dibayar mahal maupun karena memang mereka punya satu kepentingan yang sama dengan pihak luar sehingga keduanya dapat bekerjasama.
Susahnya, di dalam negara manapun di dunia ini orang dan kelompok jenis ini selalu ada atau selalu bisa diciptakan, sebagai sempalan-sempalan. Bukan saja kepentingan politik, kepentingan agama dan ekonomi pun kerap menjadi pendorong kuat kelahiran kelompok-kelompok sempalan ini, yang rela dipakai sebagai kaki-tangan asing untuk menjadi para pengkhianat bangsa sendiri.
Proxy war, hemat saya, akan gagal kalau nasionalisme yang bermarwah (yang melampau primordialisme SARA), cinta tanah air, bela negara (oleh militer dan sipil) dan cinta terhadap pemerintah yang sah dan amanah, dihayati dan dijalankan oleh segenap rakyat atau mayoritas rakyat.
Kolonial Belanda dulu di kepulauan Nusantara menggabung invasi darat dan laut dengan “proxy war” lewat politik militeristik “devide et impera”. Saat itu, kita, yang masih terceraiberai dan terpisah-pisah oleh primordialisme SARA dan negara-negara sendiri-sendiri, ibarat ayam-ayam jago yang sedang diadu satu sama lain, sementara Belanda cuma menonton saja dari jarak jauh dan jarak dekat.
Jadi, proxy war itu nama modern untuk taktik kuno dalam perang dan penjajahan. Bukan hal baru sama sekali di tahun 2017 ini. Tentu teknik proxy war abad ke-21 jauh lebih maju dan lebih halus dibandingkan politik perang adudomba tradisional di abad-abad lampau.
Orang suka memakai Suriah yang kini sudah hancur secara fisik akibat perang sipil bertahun-tahun sebagai contoh sebuah negara yang telah menjadi korban proxy war yang konon didalangi Barat dan beberapa negara Timteng lain dan antek-antek mereka yang menjadi bagian dari rakyat Suriah sendiri. Tujuan dalang-dalang ini konon ya menguasai sumber-sumber daya alam Suriah.
Tapi coba lihat, apa yang diperoleh dalang-dalang itu sekarang dengan kondisi Suriah yang sudah hancur? Apakah mereka harus sabar menunggu dua sampai empat dasawarsa lagi untuk bisa merebut dan menguasai sumber-sumber daya alam Suriah? Berapa besar anggaran yang sudah dihabiskan dalang-dalang ini hingga saat ini?
Tentu sudah banyak yang tahu: teknologi “drone” kini malah tidak memerlukan proxy war. Teknologi drone di tahun 2017 sekarang ini sudah jauh melampaui teknologi jenis Lethal Miniature Aerial Munition System (LMAMS) yang dibangun tahun 2004 oleh USA. Kini bentuk drone sudah makin kecil, dinamakan “micro drone”.
Kini dikenal apa yang dinamakan “war drone”. Cukup dengan memonitor suatu area asing dengan detail lewat kamera tajam udara yang dikerjakan dengan cermat oleh sebuah “spying drone”. Lalu menyiapkan rudal-rudal dari pangkalan-pangkalan mesin-mesin perang yang ditempatkan jarak jauh di darat, di laut dan di udara, yang diarahkan ke kawasan-kawasan yang sudah dibuat petanya dengan sangat rinci lewat pemindaian dan pemotretan.
Kegiatan pengintaian dan pemetaan ini, yang dilanjutkan dengan penyerangan, melibatkan dan menggunakan drone-drone canggih yang dapat berfungsi juga sebagai “war drones” atau “killer drones” ketika sebuah drone dirancang untuk dapat juga membawa sendiri rudal yang akan diluncurkan dan bergerak otomatis seolah cerdas ke arah target rudal yang posisinya sudah dikunci dengan cermat.
Biaya proxy war lewat politik adudomba rakyat asing yang besar jumlahnya bisa ditekan dengan pengerahan teknologi “killer drone”, drone pembunuh, kalau betul pihak-pihak asing itu mau mengobarkan perang untuk menjajah dan merebut sumber-sumber daya alam tanpa pengerahan pasukan manusia.
Para pakar hukum internasional di dalam PBB misalnya tentu saja sudah paham betul bahwa proxy war dan dalang-dalangnya yang bertindak di bawah selimut SAMA JAHATNYA dengan kolonialisme yang diawali dengan serangan langsung oleh pasukan darat, laut dan udara pihak asing dalam perang fisik terbuka terang-benderang. Keduanya juga dapat SAMA JAHATNYA dengan perang yang mengerahkan “spying and killing drones”. Tentu membuktikan sebuah atau lebih negara sebagai aktor-aktor utama sebuah proxy war lebih sulit dibandingkan membuktikan aktor-aktor perang tradisional atau perang lewat “spying and killing drones”. Tetapi bukan tidak bisa dibuktikan dan dibongkar.
Terkait negeri kita NKRI, sekarang ini ada pihak-pihak, yang mungkin karena memiliki penciuman dan indra kesebelas yang sangat tajam, yang sedang berteriak-teriak bahwa negeri Nusantara ini sedang menjadi ajang proxy war.
Mereka menunjuk segala macam indikasi, kejadian, dan tanda dan simbol yang dengan subjektif bahkan dicari-cari dipersepsi mereka sebagai bukti Indonesia sedang dalam proxy war. Tapi faktanya mereka ini juga yang terus memperkeruh air kehidupan kebangsaan dan kenegaraan NKRI yang sebenarnya jernih dan sedang mengaliri dan menyuburkan lahan-lahan sawah dan ladang kehidupan dan pertumbuhan NKRI di banyak bidang.
Jadi, hemat saya, tidak ada faedahnya menudingkan telunjuk kita ke negara-negara lain yang dicurigai sedang menggelar proxy war, sementara bangsa kita sendiri tidak mempunyai empat hal yang sudah disebut di atas: nasionalisme, cinta tanah air, bela negara, cinta pemerintah yang sah dan mengabdi untuk rakyat alias pemerintah yang amanah.
Lebih perlu, semua pihak yang sedang berkoar-koar itu memeriksa diri, berintrospeksi, bahwa mungkin saja mereka sendirilah pihak-pihak ketiga itu yang sedang mengobarkan proxy war di NKRI.
Akhirulkalam, perkuatlah empat hal yang saya sudah tulis lebih dari satu kali di atas jika kita tidak menginginkan NKRI menjadi ajang proxy war apapun dan oleh siapapun. Jadilah bangsa yang bermarwah dan solid demi masa depan negeri sendiri dan dunia yang lebih luas.
Jakarta, 20 Januari 2017
Salam,
ioanes rakhmat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H