Nah, dengan adanya korteks NM ini, Homo sapiens mampu menjadi insan politik, maksudnya: insan yang dengan bergotongroyong membangun pranata-pranata sosial yang ditata dengan aturan-aturan hukum yang disusun dan (jika sudah ketinggalan zaman) diamandemen dengan pertimbangan yang rasional, bernalar dan kontekstual. Maka, terbangunlah masyarakat, kota, bangsa, negara, PBB, lembaga Hadiah Nobel, ormas NGO, organisasi kesenian dan kebudayaan, sekolah, perusahaan, dll, sebagai pranata-pranata sosial, politik, keagamaan, kesenian, kebudayaan, ekonomi, sainstek, dan peradaban.
Masih ada sekian produk korteks NM dalam kehidupan manusia yang terus bertambah dan berkembang. Ini bisa terjadi karena korteks NM (selain dua bagian lain otak manusia hasil evolusi yang jauh lebih tua, yakni otak tertua yang dinamakan Otak Reptil atau Otak R, dan yang muncul sesudahnya sebagai otak lapis kedua yang dinamakan Otak Paleomamalia atau Otak PM) terdiri atas banyak struktur atau kompartemen neural yang berukuran besar dan berukuran lebih kecil. Minimal ada dua bagian dalam otak NM yang membuat kita paling mampu berpikir rasional dan paling mampu menyayangi, yakni lobus frontalis dan struktur anterior cingulate. Gambar terlampir di bawah ini memperlihatkan tiga lapis otak Homo sapiens sebagaimana diteorikan pertama kali tahun 1968 oleh neurosaintis Amerika, Paul D. MacLean (1913-2007).
Nah otak binatang unta tidak demikian. Otak unta, sekali lagi, tidak punya lapis terbaru, termuda, terluar dan terdepan yang ada pada otak manusia, yakni Otak NM. Jadi, unta tidak bisa menganut agama apapun, tidak bisa berpolitik, tidak bisa berisik dan tidak suka ribut via medsos, dan tidak akan pernah bangun ormas-ormas apapun. Unta juga tidak bisa dan tidak pernah tahu bangsa atau etnis atau ras atau suku manusia atau bahasa mana yang mereka harus benci atau lebih cintai atau satu-satunya yang mereka harus dukung dan bela mati-matian. Kalaupun hewan unta punya bahasa, ya hanya bahasa dunia peruntaan, yang sekarang sayangnya belum bisa kita tangkap dan pahami. Teknologinya belum ada. Nanti akan ada.
Akhirulkalam, jangan lagi deh hewan unta dicaci, difitnah, dibenci, distigma; dan stoplah menjadikan unta objek kampanye hitam politik.
Oh ya, hewan kera, simpanse, babi, panda, sapi, dan anjing juga sudah datang ke saya satu abad lalu dengan membawa harapan yang sama yang sudah diutarakan kepada saya. Belum lama, juga lima ekor burung garuda dari Nusantara Indonesia dan lima ekor sapi suci dari India melakukan hal yang sama. Semua saya sambut dan peluk dengan hangat. Mereka semua saudara saya. Kita sesungguhnya mendiami satu planet hewan. Animal planet.
Ok, sayangi unta dan semua hewan lain, termasuk babi, marmut, tikus, kelinci, keledai, dan anjing dan panda, sapi dan ikan mas. Jangan jadikan unta kambing hitam. Viva unta dkk. Viva garuda. Viva bhinneka-tunggal-ika di planet Bumi kita. Bermacam-macam hewan, tapi satu adanya, dan saling memerlukan, interdependen.
Di musim dingin,
ujung Desember 2016
ioanes rakhmat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H