Atribut itu artinya lebih dari satu. Bisa ciri khas, watak khas, pembawaan khas, atau unsur atau elemen struktural atau elemen pelengkap, atau hal-hal tambahan yang boleh ada atau boleh tidak ada, hal-hal komplemen.
Watak khas si S misalnya murah senyum. Si C suka cemberut saat mengerjakan apapun. Si oma N suka nangis dan ngomel barengan. Si dosen T telaten sekali kalau sedang membimbing setiap mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas akhir universitas. Si pemuda H suka ganti-ganti pacar, tanpa pernah bisa merasakan kehancuran hati mantan-mantan pacarnya. Dll. Ini atribut. Tidak esensial. Selalu relatif dan tentatif, dapat dan kerap berubah sejalan dengan gerak waktu, perpindahan tempat serta akumulasi pengalaman dan pengetahuan baru. Meskipun tidak esensial dan serba tentatif, ada atribut-atribut yang bagus, karena itu perlu dipertahankan, atau diperkaya dan diperindah.
Atribut sebagai elemen-elemen pelengkap selalu ada dalam semua agama, mulai dari doktrin, kredo/syahadat, ritual, simbol-simbol, hingga aturan hukum dan kaidah moral. Nah, sebagai elemen-elemen pelengkap tentu saja atribut tidak esensial, tentatif, bersifat sementara, kerap bisa tidak relevan lagi.
Terkait musim Natal global, misalnya, ada sekian atribut Natal yang boleh ada atau boleh tidak ada.
Misalnya, Natal tidak harus diramaikan oleh Sinterklas (dan Piet Hitam) dengan semua unsur pelengkap lainnya, misalnya sebuah kereta kencana yang ditarik beberapa ekor kijang (Innova), sejumlah parsel yang dimuat dalam karung Sinterklas, topi merah bergaris putih kuncung dari bahan beludru atau bahan kain lain yang ujungnya lunglai nukik ke bawah. Atau dengan pohon Natal hijau yang dipandang sebagai simbol keabadian dalam sangat banyak kebudayaan, dan kawasan bersalju. Juga madah Silent Night tidak mutlak dinyanyikan, apalagi diberhalakan, meskipun mungkin nyaris mustahil umat Kristen sedunia tidak lagi melantunkan madah agung ini, dan sekian madah Natal indah lainnya, di musim Natal, khususnya di setiap tanggal 24 Desember malam.
Jika atribut-atribut keagamaan banyak yang tidak esensial, berfungsi sebagai elemen-elemen pelengkap atau komplemen saja, ya kita sesunguhnya sedang membuang energi dan waktu dengan sia-sia jika meributkan atribut-atribut ini karena dinilai dengan keliru sebagai unsur-unsur esensial yang akan merusak keimanan orang-orang yang beragama lain. Tentu banyak orang mengernyitkan dahi lalu berkomentar dalam hati, “Kok iman bisa rusak hanya karena seseorang yang beragama lain ikhlas ikut meramaikan acara kegembiraan Natal dengan ikut memakai sejumlah atribut Natal di berbagai aktivitas bisnis pesta kultural Natal?” Sangat banyak orang terpaksa bingung dengan pertanyaan ini. Bingung, yaaa yaaa yaaaaa betul bingung!
Lalu, sebuah pertanyaan penting lainnya juga perlu dijawab: Apakah antar-agama-agama tidak boleh terjadi kegiatan pinjam-meminjam atribut keagamaan sebagai unsur pelengkap? Saya mau jawab pertanyaan ini dengan menampilkan foto di bawah ini sebagai sebuah ilustrasi tambahan.
Tugas anda selanjutnya ini: Coba telusuri lebih luas, adakah tradisi memakai kerudung kepala untuk perempuan dalam agama Yahudi dulu dan kini. Juga di antara gereja-gereja di negara-negara Timur Tengah, atau di antara Gereja-gereja Ortodoks Timur, dulu dan kini. Gereja Roma Katolik sudah sangat lama mengenal tradisi kerudung putih para suster sejak pranata kebiarawatian atau kesusteran ditetapkan dan dijalankan gereja ini.
Sekali lagi perlu ditegaskan, atribut atau elemen ritual agama apapun bukan esensi, tapi berfungsi sebagai elemen pelengkap, melanjutkan tradisi tua pinjam-meminjam unsur-unsur ritual antar-agama-agama, sejak zaman kuno, bahkan sejak sebelum agama Yahudi formal dilahirkan. Istilah kerennya, kontekstualisasi selalu terjadi, cepat atau lambat, terencana atau otomatis, ketika suatu agama hadir di tempat lain dan di zaman lain dan bertemu dengan agama-agama lain dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Ini FAKTA sosiokultural religius global lintas zaman dan tempat, entah mau diakui atau pun mau disangkal. Orang yang hidup sehat adalah orang yang membuka diri pada fakta, tidak hidup “in denial of reality”.
Jika atribut tidak esensial, sehingga bisa diabaikan atau diganti, atau tetap ditampilkan demi kesukaan dan kegembiraan, atau malah diperkaya dan dikawinsilangkan, lalu apa hal yang esensial, atau hal yang paling esensial, dalam kehidupan keagamaan kita?