Kita semua tahu apa yang sedang berlangsung sekarang di NKRI, di DKI Jakarta khususnya, terkait surat Al-Maidah 51 di tengah suasana jelang Pilkada DKI 2017. Dalam sikon ini, sahabat saya MGR, seorang Muslim sekolahan, menulis di akun Twitter-nya (9 Oktober 2016) bahwa “Al-Maidah 51 konteksnya kekalahan di Perang Uhud, bukan kekalahan Pilpres 2014; konteksnya Peperangan, bukan Pilkada.”
Pertanyaannya: Kenapa sampai bisa terjadi teks Al-Maidah 51 seolah menjadikan suasana jelang Pilkada DKI 2017 suasana perang, tentu bukan perang fisik, tetapi perang ideologis yang memasukkan unsur-unsur SARA? Bukankah orang Indonesia dikenal ramah dan berpengalaman hidup rukun dalam segala bidang, dengan berlandaskan keberanian yang luhur, yang tegak di atas kesucian. Sang Saka Merah Putih adalah saksinya.
Hemat saya, salah satu akar terpenting masalahnya adalah ini: Umat tidak pernah dengan memadai dibekali ilmu tafsir historis, yaitu ilmu menyelidiki dan menemukan maksud atau pesan teks-teks suci dalam konteks sejarah dan sosiobudaya para penulis teks-teks itu dulu di dunia yang lain. Setiap teks suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks sosiobudaya zaman lampau, tidak pernah murni melayang turun sendiri dari suatu tempat di luar dunia yang tanpa konteks.
Karena tidak diajarkan dan dilatih ilmu tafsir historis, umat menjadi literalis. Artinya, bagi mereka, apa yang sudah tertulis di kitab suci apa adanya, berlaku abadi apa adanya di seluruh jagat raya, berlaku absolut kapan dan di manapun dan bagi siapapun. Inilah posisi literalis, posisi umum kebanyakan orang yang beragama apapun terkait kitab-kitab suci mereka masing-masing.
Baiklah kita andaikan saja bahwa makna atau pesan murni suatu teks suci pernah ada “dari langit”. OK-lah! Tapi, perlu ditegaskan, arti literal murni teks suci apapun sudah mustahil didapat, pertama karena setiap penerima pesan-pesan dari sorga atau orang-orang lain yang mewakili mereka harus berpikir dan menulis dalam bingkai alam pemikiran dan kebudayaan masyarakat mereka di zaman mereka. Tanpa kebudayaan, tidak ada teks apapun!
Selain itu, karena bahasa apapun, termasuk bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab suci, terus berubah sejalan gerak waktu dan tempat. Karena watak dinamis semua bahasa, tidak ada makna satu kata apapun yang tetap statis, tidak berubah ratusan atau ribuan tahun. Selain itu, ada sangat banyak kata yang lenyap dan juga ada banyak bahasa yang punah, tertinggal hanya sebagai bahasa-bahasa mati warisan zaman purba. Sebaliknya, ada banyak juga kata dan bahasa baru yang muncul sejalan gerak waktu dan perpindahan tempat.
Penerjemahan dari, misalnya, bahasa Arabik abad ke-7 M di tanah Arab ke bahasa Indonesia abad ke-21 di Nusantara juga tidak memungkinkan literalisme berfungsi. Setiap penerjemahan melibatkan penafsiran dan rekonstruksi bahasa, dari bahasa A ke bahasa B, dan sebaliknya, dan dalam prosesnya bahasa ibu si penerjemah juga ikut campur dalam usaha penerjemahan. Akibatnya: makna murni teks tidak bisa ada.
Jika bahasa asli zaman kuno di dunia lain dipelihara dan dipertahankan dalam edisi-edisi kitab-kitab suci di zaman sekarang, saat teks-teks kuno ini dibaca dan mau dipahami di NKRI abad ke-21, si pembaca jelas berpikir dalam bahasa ibu, tidak dalam bahasa asli teks-teks kitab-kitab suci.
Kemurnian pesan sebuah teks kuno juga tidak ada sebab semua orang memiliki otak yang tidak kosong saat sedang membaca dan mau memahami teks tersebut. Berhubung sebelumnya sudah ada ide-ide tertentu dalam otak pembaca yang berasal dari alam sosiobudaya NKRI abad ke-21, makna murni teks tidak ada. Alih-alih memperoleh pesan murni teks, si pembaca malah menyusupkan ide-idenya sendiri ke dalam teks yang lalu diklaimnya sebagai pesan murni teks.
Jadi adalah mitos jika ada orang yang mengklaim bahwa mereka tahu persis sepersis-persisnya makna dan pesan teks yang murni, yang langsung datang dari Allah sepenuh-penuhnya. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang tahu sepersis-persisnya isi pikiran Tuhan yang mahatahu, sebab mereka juga harus menafsir, dan setiap tafsiran tidak pernah murni. Kondisi ini terjadi bukan hanya di masa kini, tetapi juga di masa kelahiran setiap agama yang segera disusul dengan kemunculan banyak aliran dalam satu agama yang dianut komunitas-komunitas paling awal yang ternyata sudah beranekaragam dan kerap berkelahi dan berperang satu sama lain.