Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Di Mana Posisi Politisi Indonesia dalam Piramida Abraham Maslow?

2 Oktober 2016   13:53 Diperbarui: 6 Oktober 2016   23:54 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber image Maslow 1 http://www.docstoc.com/docs/129551889/Maslow%EF%BF%BDs-Hierarchy-of-Needs

Wujud aktualisasi diri tentu tidak sama dari orang yang satu ke orang yang lain, dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Ada yang ingin sepenuh-penuhnya menjadi seorang ibu yang ideal, atau menjadi seorang atlit dengan kinerja puncak setinggi-tingginya, atau aktualisasi diri muncul dalam karya-karya seni yang hebat atau dalam penemuan-penemuan baru di dunia sains (Maslow, 1943, hlm. 382-383).

Tetapi kalau pemikiran Maslow diteliti dengan lebih cermat, lima peringkat itu belakangan diperluas lagi menjadi tujuh peringkat (seperti tampak pada gambar) lewat penambahan dua kebutuhan lagi pada B-Needs, yakni kebutuhan estetis (“aesthetic needs”) dan kebutuhan kognitif (“cognitive needs”) di bawah kebutuhan “aktualisasi diri”.

Kebutuhan kognitif adalah kebutuhan manusia untuk belajar, mengeksplorasi, menjelajah ke bidang-bidang kehidupan yang makin luas, menemukan sesuatu secara baru, menjadi inventor, makin sadar diri, dan mencipta. Lewat ini semua, manusia mendapatkan suatu pemahaman yang lebih baik dan lebih luas mengenai dunia sekitarnya, dan mendapatkan makna dan nilai untuk kehidupannya sendiri dan tentang kehidupan ini dengan makin dalam dan luas dan mempesona.

Rasa ingin tahu besar dan mereka berjuang untuk memenuhinya lewat observasi, eksplorasi, eksperimen dan kegiatan berpikir yang tidak biasa, “out of the box”. Di saat ini juga, mereka bisa menentukan dan menemukan sendiri makna kehidupan mereka masing-masing, sementara terus maju ke depan dengan mengikuti suara hati yang matang dan prediksi-prediksi mereka sendiri yang dibangun dengan cerdas, sistematik dan berwawasan.

Maslow percaya bahwa setiap manusia membutuhkan hal-hal yang estetis bagi kehidupan mereka. Mereka butuh citra-citra yang indah dan menawan atau sesuatu yang baru dan menyegarkan, bentuk-bentuk yang menggugah cita rasa, hal-hal yang secara estetis menyenangkan dan membahagiakan, yang semuanya dipadukan dan diselaraskan dengan seimbang, untuk selanjutnya masuk ke tahap aktualisasi diri.

Tetapi jenjang aktualisasi diri bukan jenjang terakhir. Pada titik puncak piramida Maslow, ada status atau posisi tertinggi yang dinamakan posisi transendental, posisi menjadi manusia transendental. Posisi apa ini? Terlalu tinggikah?

Pada titik puncak piramida, Maslow menempatkan posisi transendental, yakni orang yang telah kehilangan segala bentuk egotisme dan mengisi hidup mereka dengan berbagai karya kebajikan dan pencerahan untuk membawa orang lain untuk juga tiba di titik puncak yang sama, lewat aktualisasi diri. Mereka membagi ke sebanyak mungkin orang segala hal yang dipunyai mereka supaya orang lain mampu terus bergerak menanjak dari satu jenjang ke jenjang-jenjang berikutnya yang lebih tinggi.

Mereka share dengan ikhlas kekayaan material mereka ke orang-orang lain. Mereka membagi dan menyebarkan ilmu pengetahuan mereka tanpa disembunyikan satu pun. Mereka menularkan kekayaan dan keagungan semua kapasitas dan suasana dan kondisi mental dan ragawi mereka. Bahkan jika mungkin, mereka juga ingin mencerahkan budi dan pekerti rerumputan, unggas, serangga, semut, kunang-kunang, burung, sungai, lembah, sawah, gunung, awan-awan, mega-mega, udara, Matahari, bulan, hingga bintang-bintang di langit kelam.

Mungkin menolong jika saya memakai kata “buddha” sebagai status orang yang sudah tiba di titik tertinggi transendental, atau ungkapan “bodhisattva” atau “insan kamil” atau “mahatma” atau “avatar” atau “kenosis” atau “apotheosis” atau “begawan”. Terserah Anda.

Pertanyaan saya: 99,99 persen politikus di Indonesia masih berada di jenjang yang mana dari tujuh peringkat piramida Maslow dengan titik puncaknya status transendental? Jangan-jangan nyaris semuanya baru berada pada peringkat terbawah ya. Koruptor semua. Ha ha. Gak lah.

Jamppa Myllykangas : ask.fm
Jamppa Myllykangas : ask.fm
Tapi yang pasti: nyaris semua politikus kita bermental massal. Kerumunan doang. Bukan para pembangun dan inovator peradaban yang lazimnya datang dari segelintir orang.

Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, dari zaman ke zaman, dari satu dunia ke dunia lain, pembangun dan inovator peradaban memang umumnya muncul bukan dari kerumunan massal orang banyak, tetapi dari segelintir orang yang cerdas, berani berpikir berbeda, berani melawan arus deras kerumunan massal, berani berwawasan dan bertindak “tidak lazim”, alias “out of the box”, berani bereksperimen dengan terkendali oleh ilmu pengetahuan, dan berani hidup etis dengan segala pertaruhannya. Mereka inilah yang lazim dinamakan “the creative minority”, bukan kerumunan massal yang gagal berpikir mendalam dan tidak biasa, dan gagal bertindak penuh marwah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun