Anda pasti pernah bermain petak umpet. Ada saat anda tutup rapat kedua mata anda. Tidak boleh ngintip. Teman-teman lari berhamburan. Mencari tempat persembunyian masing-masing yang paling sulit ditemukan. Mereka diberi waktu berupa hitungan sampai angka tertentu, misalnya sampai bilangan enam puluh.
Sesudah waktunya tiba, anda mencari teman-teman yang bersembunyi. Anda jalan dan lari ke sana sini untuk menemukan mereka. Jika anda menemukan seorang teman anda di tempat dia sembunyi, anda sentuh dia sambil berseru “Tap!” Lalu anda dan teman anda adu cepat berlari menuju sebuah pohon tempat anda tadi bersandar saat memejamkan mata.
Jika anda lebih dulu sampai di pohon itu dan menyentuhnya, anda menang. Jika teman anda berhasil lebih dulu lantaran dia bisa berlari secepat kilat, dia yang menang.
Nah dalam beragama, kita perlu juga bermain petak umpet dengan Tuhan. Play dengan Tuhan membuat dia terasa dekat, seorang teman, dan tidak menakutkan. Rekreasi selalu menyehatkan.
Hidup ini tidak selalu melihat; anda perlu harus memejamkan mata. Tidak terjaga, tapi tidur lelap. Tidak melihat apapun. Gelap. Terlalu banyak dan terlalu sering melihat, bisa membuat anda tidak lagi mampu menemukan keunikan-keunikan dalam kehidupan ini. Semua menjadi klise. Hambar bak bubur tak memiliki rasa. Maka, adalah baik, jika Tuhan lari, menghambur, ngumpet, bersembunyi dari hadapan anda. Entah dia ke mana. Biarkan.
Tuhan yang tersembunyi membuat kita selalu tidak serba tahu di mana dia kini berada. Kita mencari. Mencari dan mencari dan belum tentu cepat menemukannya. Bahkan kerap dia menghilang dan tersembunyi lama. Kita merasa sendirian. Berabad-abad.
Sunyi. Sepi. Lengang. Tapi ramai ditemani rerumputan, ilalang, pepohonan bahkan sungai-sungai dan danau-danau. Dedaunan berjatuhan ditiup bayu. Jangkrik bernyanyi. Kumbang mendengung. Belalang lompat-lompatan. Burung-burung lalu-lalang, mengundang kita terbang. Langit biru menaungi. Awan-awan berarak mengajak kita dansa. Sunyi yang ramai. Ramai yang sepi. Sendirian di tengah ramai. Ramai yang sendiri.
Bersahabat dengan Tuhan memang begitu. Selalu rindu ingin memeluk dan mencium. Terasa dia sudah di depan mata. Ketika kita bergairah ingin merangkulnya, dia ngeles lalu lenyap meliuk pergi bak angin lewat.
Tuhan yang ngumpet, jadi terasa sangat jauh, hilang, misterius dan tersembunyi. Diam, bisu, sepi dan tidak berbicara apapun. Ngumpet. Tak ada firman keluar dari mulutnya. Tidak ada pikirannya yang kita dapat tangkap karena dia sedang semedi, sunyi, tak membuka mulut. Pikirannya diam, hanya dia yang tahu.
Tidak ada uluran tangannya untuk menolong sementara kita bak orang yang sebentar lagi mati tenggelam. Tidak ada pesta yang di dalamnya dia hadir. Tidak ada kesempatan mancing ikan bersama di sebuah telaga. Dia juga tidak ada di Dunia Fantasi. Di lembaran-lembaran buku fisika, dia juga menghilang. Kata “Tuhan” lenyap dari semua kamus segala bahasa. Hidup terasa sunyi. Senyap. Lengang. Sunyi. Tapi sunyi yang asyik. Sebab meski sunyi, juga ramai. Ramai tapi juga senyap.
Dekat tapi jauh. Jauh tapi dekat. Kelihatan tapi ngumpet. Sembunyi tapi ujung jubahnya terlihat melambai. Sendiri tapi berdua. Berangkulan tapi terpisah jarak dua benua. Ketika bertemu, bukan saling merangkul, tetapi malah sama-sama lari ke arah lain. Adu cepat lari.
Hanya anak-anak yang bisa bermain petak umpet dengan Tuhan. Orang yang sudah dewasa, tak bisa main petak umpet dengan Tuhan karena sang Tuhan yang gesit dan ceria sudah ditangkap mereka lalu dikerangkeng dalam berbagai penjara dogma dan organisasi. Berabad-abad hingga kini sel-sel penjara itu belum pernah dibuka.
Kasihan Tuhan. Terpenjara. Badannya kurus kering. Batinnya menderita. Dia ingin sekali main petak umpet. Ajaklah.
Jakarta, 23 Juli 2016
Sang Sunyi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H