Pandangan negatif Rasul Paulus terhadap arsenokoitēs (yang diutarakannya dalam surat 1 Korintus pada tahun 55 M, sebagaimana telah dibahas di atas) tetap dipertahankan dalam surat 1 Timotius sebagai salah satu surat pastoral yang ditulis oleh para penjaga dan penafsir warisan teologis Paulus (dua lainnya adalah 2 Timotius dan Titus) antara tahun 100–150 M, yakni paling jauh delapan puluh lima tahun setelah Paulus dieksekusi. Bagi penulis surat 1 Timotius, perilaku arsenokoitēs bertentangan dengan “ajaran yang sehat” yang disusun berdasarkan “injil Allah” (ayat 10,11)./37/
Yudas 1:7
“… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.”
Sama seperti Kejadian 19 tidak menyatakan dengan spesifik apa dosa kota Sodom (lihat ulasannya di atas), Yudas 1:7 juga tidak dengan spesifik menyatakan apa yang disebut penulisnya sebagai “kepuasan-kepuasaan yang tak wajar”, yang tidak harus ditafsirkan, seperti tafsiran Kristen literalis, sebagai hubungan homoseksual.
Frasa Yunani dari frasa “kepuasan-kepuasan yang tak wajar” dalam teks ini adalah sarkos heteras, yang secara harfiah, karena direndengkan dengan “percabulan” atau pornea dalam bahasa Yunani/38/, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “nafsu daging yang lain” atau “hasrat seksual yang tidak wajar” atau “hasrat seksual yang menyimpang” atau “syahwat yang tidak alamiah”./39/
Penulis Surat Yudas menempatkan perilaku seksual yang menyimpang ini dalam konteks peristiwa pemusnahan kota Sodom dan Gomora seperti dikisahkan dalam Kejadian 19. Dengan demikian, sarkos heteras ini dapat ditafsirkan sebagai keinginan penduduk laki-laki kota Sodom untuk memperkosa dua malaikat yang mengunjungi kota mereka. Keinginan ini sesungguhnya adalah suatu penyimpangan, karena mereka ingin menggagahi konon dua malaikat ilahi secara seksual, padahal mereka adalah manusia biasa sementara malaikat adalah makhluk bukan-manusia. Perlu diketahui ada sebuah legenda Yahudi kuno yang mengisahkan bahwa perempuan-perempuan Sodom juga terlibat hubungan seksual dengan para malaikat./40/
Jadi, yang dikecam dan dikutuk oleh penulis Surat Yudas bukanlah homoseksualitas, tetapi keinginan penduduk Sodom untuk bersetubuh dengan makhluk bukan manusia. Dalam hukum Taurat terdapat larangan keras manusia bersetubuh dengan binatang sebagai makhluk bukan manusia (Imamat 18:23).
Kesimpulan kajian teks
Tidak satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan perilaku homoseksual sejauh homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi seksual seseorang dan sejauh perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen untuk membangun suatu persekutuan hidup yang intim dan langgeng.
Jadi, teks-teks yang telah dikupas di atas tidak tepat atau tidak relevan jika dipakai untuk mengutuk homoseksualitas atas nama sebuah doktrin agama atau atas nama suatu Allah atau, lebih parah lagi, untuk mengkriminalisasi para homoseksual di zaman modern ini.
Tentu saja, kesimpulan saya di atas sangat tidak biasa di telinga para literalis skripturalis, sebab mereka sudah diindoktrinasi secara ideologis sejak dini oleh banyak pihak untuk mengecam, menolak, membenci dan melecehkan LGBT. Bahkan ada gereja-gereja tertentu di Amerika (misalnya Gereja Baptis Westboro) dengan sangat merendahkan memberi label “FAGs” (“Freaky Alien Genotypes”, maksudnya: organisme yang memiliki gen individual alien yang aneh) kepada LGBT sebagai sebuah julukan dalam ujaran kebencian (“hate speech”) mereka terhadap LGBT. Saya berimajinasi, seandainya Yesus hidup di zaman sekarang dan tahu temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang LGBT, Yesus pasti menerima, menyayangi dan mengayomi para LGBT serta membela mereka yang minoritas ini.