Ketika sejumlah politikus atau sekelompok orang yang hidup enak senang dan gembira melihat sebagian keluarga nelayan yang, atas anjuran mereka, memilih tetap bertahan hidup susah dan serba rentan di dalam perahu-perahu kecil mereka ketimbang ikhlas pindah ke rusun-rusun yang disediakan Pemprov DKI di tahun 2016 ini, mereka, para politikus itu dan kelompok pendukung mereka, sebetulnya sedang terkena Schadenfreude sementara mereka sedang menyerang lawan-lawan politik mereka, khususnya pemimpin teratas kota DKI Jakarta.
Dalam bukunya yang berjudul The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature (Oxford University Press, 2013), Richard H. Smith bahkan melihat genosida atas enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi di bawah Hitler adalah suatu bentuk “Schadenfreude” bangsa Jerman terhadap bangsa Yahudi. Karena sangat banyak orang Yahudi yang berhasil dalam banyak kegiatan profesional pada masa itu, bagian terbesar bangsa Jerman menjadi iri hati dan dengki. Lalu genosida atas bangsa Yahudi berlangsung, dan bangsa Jerman tertawa senang melihat penderitaan dan kebinasaan jutaan orang Yahudi yang mereka datangkan sendiri lewat mesin politik dan militer Nazi yang brutal.
Seseorang yang jiwanya sudah matang, tidak akan terkena “Schadenfreude”. Sebaliknya, dia mampu ikut merasakan dukacita dan azab orang lain sedalam-dalamnya, siapapun dan di mana pun orang lain itu berada dan ketika apapun. Lalu dia mengusahakan berbagai pertolongan yang bisa membantu orang lain itu lebih ringan memikul azab mereka dan dapat hidup dengan lebih baik. Dia tidak akan pernah memanfaatkan azab orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri atau untuk kepuasan batinnya sendiri.
Tapi ingatlah, menanggung dosa, azab dan duka tujuh milyar lebih manusia di abad ke-21 ini oleh anda sendirian, tentu saja suatu kemustahilan dari segala kemustahilan. Ini cuma khayalan seorang megalomaniak. Jadilah orang kecil yang berjiwa besar saja.
Cukuplah anda kalahkan kekuatan “Schadenfreude” di saat anda melihat satu orang manusia lain sedang tertimpa kemalangan di hadapan anda, apapun agama dan suku atau etnis atau kebangsaan, asal daerah atau warna kulitnya atau bahasa ibunya. Jika dia lapar, berikan separuh roti yang ada di tangan anda, atau anda berikan seluruhnya. Jika dia haus, berikan sebotol air yang ada pada anda semuanya. Jika dia tidak punya sebuah rumah yang layak dihuni, bangunkan sebuah rumah sederhana namun layak untuk dia tinggali. Jika dia sedang kedinginan di musim dingin yang menyengat dan menggigit, tanggalkan mantel anda dan berikan kepadanya.
Bebaskan diri anda dari Schadenfreude. Jadilah manusia kepada sesama manusia lainnya. Jangan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, atau karena penderitaan orang lain. Para pelawak dan pembanyol memang cakap membuat anda terbahak-bahak. Tetapi orang yang sedang terkena azab dan kemalangan, harus anda tolong dan bebaskan, bukan untuk membuat anda senang dan gembira dan tertawa terpingkal-pingkal. Buang jauh-jauh sisi gelap Schadenfreude dari dalam mental anda. Buatlah lebih bercahaya lagi sisi terang kebajikan diri anda.
Tetapi, masih ada sebuah pertanyaan yang anda musti jawab sendiri: Apakah “Schadenfreude” yang diungkap dan diarahkan masyarakat yang sehat terhadap para koruptor yang sudah dijatuhi hukuman penjara puluhan tahun dan dijadikan miskin total, adalah “Schadenfreude” yang etis dan menimbulkan efek jera dan efek takut kepada para calon koruptor lain?
Pertimbangkanlah! Ingatlah, koruptor kakap terbesar di dunia yang tercatat hingga saat ini berasal dari negeri anda, sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di NKRI.
Salam dalam kesunyian,
Jakarta, 09 Mei 2016
ioanes rakhmat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H