Pada masa tingginya lonjakan kasus akibat pandemi, pembelajaran daring telah berdampak pada proses belajar peserta didik. Kurangnya interaksi antar peserta didik dengan guru atau teman sebayanya serta penerapan metode ceramah menghasilkan pembelajaran pasif sehingga pembelajaran terpusat pada guru atau dosen (teacher centered learning).Â
Hal ini sangat melenceng dari upaya penerapan model pembelajaran berfokus pada peserta didik atau sering disebut dengan student centered learning. Hal-hal seperti ini bukan tidak mungkin akan terus berlanjut selama sistem pembelajaran jarak jauh masih diterapkan. Dalam kenyataannya, bisa saja sistem seperti ini akan berimbas pada kemampuan belajar siswa yang akan berujung kepada learning loss.
Istilah learning loss mengacu pada hilangnya pengetahuan dan keterampilan, baik secara spesifik atau umum yang mengarah kepada kemunduran dalam kemajuan akademik, paling sering karena kesenjangan yang diperpanjang atau diskontinuitas dalam pendidikan siswa (Promethean World, 2021).Â
Dampak learning loss ini tidak hanya akan dirasakan oleh peserta didik yang tinggal di daerah yang memiliki risiko paling tinggi, misalnya daerah pedesaan. Namun hal tersebut juga bisa saja dialami oleh peserta didik yang tinggal di daerah perkotaan yang notabene memiliki sarana prasarana lebih baik dan lebih maju.
Tantangan dalam penerapan sistem Pembelajaran Jarak Jauh yang identik dengan penggunaan media atau teknologi digital tidak hanya dirasakan oleh para peserta didik, melainkan para tenaga pengajar juga.Â
Tetapi, tantangan yang sebenarnya dihadapi oleh para guru atau dosen adalah kesulitan dalam mengobservasi dan mengevaluasi proses belajar para peserta didik. Hasil penelitian Cerelia dkk (2021) mengemukakan bahwa 20,2% guru mengalami kesulitan dalam proses mengobservasi pembelajaran siswa dikarenakan minimnya akses atau ruang gerak antar guru dan peserta didik untuk berinteraksi dalam proses belajar mengajar.
Dengan persentase sebanyak itu, maka keefektifan dari model pembelajaran jarak jauh diragukan karena hal tersebut tentu saja berdampak pada penurunan hasil belajar karena interaksi yang lemah atau singkat menjadikan peserta didik kurang memahami materi yang disajikan yang pada akhirnya capaian kemampuan akhir siswa mengalami penurunan. Jika mengacu kepada teori belajar konstruktivisme dan berbasis interaksi, input para peserta didik diperoleh melalui adanya interaksi sosial dengan teman sebayanya atau pengajarnya yang memiliki kemampuan lebih maju (advance) dalam memecahkan suatu persoalan sehingga siswa lebih aktif dalam menggali materi dan meningkatkan kemampuannya.
Namun jika ruang interaksi mereka terbatas, keberadaan sistem belajar daring justru dianggap membatasi interaksi sosial antar peserta didik karena materi atau proyek yang ditugaskan oleh guru atau dosen cenderung bersifat individu.Â
Hal ini akan mengakibatkan penurunan perkembangan kognitif dan motorik peserta didik terutama siswa dengan kemampuan daya serap rendah sehingga proses transformasi nilai-nilai edukasipun terhambat. Konsep belajar dan mengajar seperti ini justru akan mengakibatkan peserta didik mengalami disorientasi yang berakibat pula pada penurunan kualitas sumber daya manusia.
Lantas, bagaimana solusi untuk mencegah atau mengatasi learning loss?
Konsep learning loss ini tidak hanya berfokus pada keterbatasan unsur teknologi dan informasi, melainkan juga pada model pengajaran yang mampu tidak hanya mengembangkan dan mengoptimalkan potensi peserta didik, namun para guru atau dosen juga sebagai tenaga pengajar. Pengajaran dengan model Pembelajaran Tatap Muka merupakan salah satu solusi yang lebih efektif karena baik guru maupun siswa dapat mengeksplorasi kemampuannya dalam proses belajar mengajar. Tentu saja faktor interaksi sosial di dalam kelas memicu terjadinya peningkatan tersebut.