Bertanam anggur memang perlu ketekunan, dari sana kita akan mendapatkan ilmu tentang karakteristik tanaman itu, dan kalau sudah berhasil bisa memperoleh ilmu bisa ditularkan kepada orang lain.
Tentu perlakuannya menggunakan teknik penelitian walaupun tidak saklek menggunakan langkah ilmiah, dasar-dasar metode ilmiah diperlukan agar bisa dihasilkan fakta /data yang konsisten dan kalau diulang hasilnya sama.
Saya melakukannya sama istri untuk belajar bertanam anggur, atau istilahnya menjadi komunitas "pengangguran".
Dulu awal kuliah di Singaraja, saya pernah menanam anggur lokal, saat itu berhasil. Kebun 200 m2 milik tuan rumah kost saya ditanamami dengan 25 pohon anggur hitam memang menghasilkan lumayan.
Namun selanjutnya, kebun itu saya tinggal studi lanjut ke Bandung, kebun itu tak dipelihara, setelah itu diubah menjadi bangunan tempat tinggal bapak kost saya.Â
Ingatan untuk menanam anggur kembali menggebu,bermula saat musim covid 19. Banyak waktu luang di rumah, mengajar lewat zoom, dan disela-sela kosong saya bersama istri mencoba mengisi waktu luang, dengan bertanam anggur, banyak memang menawarkan varian anggur import.
Dari beberapa bibit yang saya coba yang menarik dan genjah adalah anggur Jupiter. Buahnya ranum dan manis dan tanpa biji. Dalam kesempatan ini saya ingin menuliskannya pengalaman saya menanam anggur jenis impor.
Di kebun belakang rumah, paling tidak ada 9 pohon tanaman anggur dari varietas Yupiter. Jenis ini sering berbuah dan sangat mudah memeliharanya, genjah, namun tentu tidak steril dari hama, hama yang paling sering muncul adal kerak buah, yang disebabkan kutu kebul. Kalau sudah coklat susah dihilangkan, dipastikan akan gagal panen.
Saya sebelumnya pernah gagal panen, harus dipotong saat masih muda agar tidak menyebar pada yang lain, dengan mencoba berbagai tipe fungisida dan insektisida memang disesuaikan dengan kondisi tempat dimana lingkungan itu berada.