Manusia berperang untuk meningkatkan keyakinannya bahwa solusi untuk hidup damai adalah perang. Perang membutuhkan senjata. pabrik senjata membutuhkan konflik dan perang pun meletus. Ekonomi dibangkitkan dengan perang. Perang dan pemimpin yang memiliki visi ekonomi perang ada dalam benak para provokator perang.
Disini peran pemimpin menjadi penting. Walaupun demikian, Pemimpin tidak menciptakan pengikut; pemimpin itu menciptakan lebih banyak pemimpin, begitulah dalil standarnya.
Tak sedikit perang memang dikobarkan oleh sang pemimpin. Pemimpin sejatinya adalah medan perang, perlawanan antara kebajikan dan kejahatan dalam dirinya. Tugas pemimpin bukan untuk membuat pengikutnya mengerti, tapi untuk membuat pengikutnya percaya , Â namun tak sedikit pemimpin menindas kompetitornya agar kekuasaannya bisa langgeng.
Dalam debut asrat pembinasaan  kompetitor inilah, Perang memang menyisakan kesedihan. Kesedihan pun berlalu, sebab bumi tak berhenti bergerak, matahari terbit di timur, selalu melahirkan siang dan malam. kalah dan menag tak berpengaruh pada konstalasi pergerakan bumi, lalu untuk apa sesungguhnya perang itu? Tak mudah menjawabnya. Benar kata kata orang bijak, Perang tidak menentukan siapa yang benar, hanya siapa yang tersisa - Bertrand Russell. Lalu mengapa kita perlu berperang, maka bangkitlah sebuah keindahan imaginasi mengalahkan lawan itu sangat menggiurkan, meliahat musuh takluk adalah  aktualisasi diri, bagi para pecinta peruang maka mereka akan  terus berjuang.
 Karya sastra, esai dan film pun mengungkit bahwa dilemma perang ada pada prajurit di lapangan. Artikel yang ditulis Dodd, J. (2018). War and Sacrifice The Troubled Legacy of the First World War. Studies in Phenomenology and Philosophy, 99, 126. Menjadi menarik kita telaah.
Salah satu penggambaran awal Perang Dunia Pertama di bioskop adalah karya Abel Gance J'accuse!, sebuah film yang diproduksi pada tahun 1918 selama bulan-bulan terakhir perang dan dirilis pada bulan April 1919, tidak lama setelah gencatan senjata.
Salah satu hal yang paling berkesan tentang film ini adalah fakta bahwa Gance menggunakan ribuan tentara yang sedang cuti sebagai figuran untuk adegan pertempurannya-semuanya akan kembali ke medan perang, dan banyak di antaranya tidak akan kembali ke rumah. Ini adalah gambaran yang sangat sedih.
Fakta ini menjadi semakin pedih ketika terjadi mempertimbangkan adegan terkenal di mana orang-orang yang jatuh bangkit dari medan perang yang hancur, membentuk prosesi spektral panjang di belakang penyair-protagonis, Jean Diaz, dan berbaris pulang. Sesampainya di sebuah desa, mereka menghadapi penduduk yang mereka temukan terperosok dalam kesia-siaan, dosa, dan seolah-olah melupakan besarnya pengorbanan mereka. Di dalam serangkaian tuduhan marah atas nama orang mati, penyair, dirinya sendiri seorang veteran bagian depan dan korban kejutan, mempermalukan orang yang masih hidup agar berkomitmen kembali pada kehidupan itu akan menghormati dan bukannya menodai ingatan orang-orang yang telah terjatuh.
Setelah itu, memang bahan renungan bagi pemimpin dan diplomasi damai, dalam kehidupan manusia bernegara, memulai perang perlu sebuah renungan Panjang. Bahwa perang menyisakan penderitaan kemanusiaan. Persi seperti yang dialami oleh Yudistira Ketika perang Mahabharata usai berlangsung.
****