Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stres dan Trauma Pasca Pemilu, Mungkinkah?

17 Februari 2024   06:31 Diperbarui: 17 Februari 2024   06:41 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah pemilu, kita melihat euforia kemenangan, bagi caleg yang berhasil meraup suara rakyat, sebagai pemenang kebahagian mengekspresikan dirinya , terlihat jelas. Berbagai kegiatan menyambut kemenangan dihadirkan bahwa mereka berhasil.

Pasangan Prabowo -Gibran di depan tim pendukungnya, terlihat banyak senyum, begitu juga mereka yang merasa memilih pasangan itu sangat bergembira, terus menerus mengikutinya lewat media sosial dengan sebentar melihat gadget, berbagai aplikasi di Hp mereka. Pendukung yang setia, di rumah saya anak-anak dan saudara terus membicarakan pasangan Prabowo Gibran para youtuber dan komentar-komentar terus diikuti sehingga muncul berbagai angle romantisme antara Prabowo dengan Mbak Titik mantan istrinya menjadi berita hangat di medsos, banyak netizen mengharapkan mereka rujuk untuk Kembali menjadi pasangan Presiden dan Ibu Negara. Usaha netizen demikian besar agar masa romantisme dulu dirajut kembali.

Banyak yang berharap agar kisah perpisahan yang tetap single setelah berpisah 26 tahun sebagai sisi kesetiaan , kata bijak cinta sejati pun berhamburan untuk Sosok Prabowo dan Mbak Titiek Soeharto. "Jika Anda mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu. Begitulah pesan netizen yang mengutip kata bijak Kahlil Gibran.

Di samping kebahagian, ada juga rasa sedih, dan stres bagi caleg yang gagal. Biaya yang telah dikeluarkan demikian tinggi, dan sangat mahal. Ada  di desa saya menjual mobil sampai 6 dan tanah warisan untuk membiayai pesta rakyat ini, agar bisa nyaleg dan berharap menang, dengan berbagai cara merayu pemilih, entah memberikan sumbangan bangunan di desa, atau dalam bentuk biaya -biaya lain selama kampanye, "sima krama" atau dalam serangan fajar yang senyap dengan berbagai trik agar tak kelihatan. Semua itu bercampur aduk, antara harapan dan kenyataan setelah pemilu yang tidak sesuai dengan harapan. Para caleg yang kalah, kini bengong, pusing tujuh keliling, karena muncul berbagai tekanan, sehingga memicu munculnya "election stress disorder" atau gangguan stres pemilu. Meskipun gangguan ini bukan merupakan diagnosis kejiwaan resmi, namun gangguan mental ini nyata adanya.

Di bangkai itu, kekalahan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental. Mulai dari stres, cemas, depresi, hingga gangguan psikosis.Oleh karena itu, masalah-masalah mental yang dipicu kekalahan saat Pemilu ketika diagnosisnya ditegakkan maka ini termasuk dalam gangguan mental. Gangguannya bisa berkepanjangan dan tergolong disabilitas mental.

Lantas, kalau stress itu tidak dikelola dengan baik dan tepat, itu bisa berkepanjangan. Cemas itu bisa panjang, depresi bisa panjang, psikosis bisa panjang sekali. Maka sebaiknya cepat dikenali dan cepat diatasi agar bisa diberi tatalaksana yang tepat sehingga bisa membatasi lamanya gangguan itu, bisa berujung pada disabilitas mental seperti kondisi yang biasa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Situasi pemilu, tidak hanya di Indonesia, dimanapun di dunia bisa dianggap cukup menegangkan bagi orang-orang yang terlibat secara langsung. Baik itu sebagai paslon presiden dan wakil, calon legislatif, tim sukses, dan bahkan yang hanya ikut-ikutan mendukung saja. Politik mengubah segalanya; yang dulu kawan sekarang saling serang. Bahkan, dalam suatu berita disebutkan bahwa di suatu daerah ada anak yang menganiaya orang tua setelah selesai menonton debat calon presiden karena berbeda pilihan. Memang dibutuhkan kebesaran hati dan literasi emosi untuk mengendalikan 'kejiwaan dalam situasi pemilu itu.

Jangankan di Indonesia, di AS, yang sudah maju itu juga telah terjadi berbagai stress dan trauma, setelah pemilu presiden berlangsung. Pemilihan presiden AS tahun 2020 misalnya telah meningkatnya ketegangan politik di kalangan pemilih biasa dan elit politik, dengan kekhawatiran akan kekerasan pemilu yang berpuncak pada kerusuhan 6 Januari 2021. Insiden itu terjadi setelah Presiden ke 45 AS Donald Trump itu mengadakan apel besar bagi para pendukungnya dan menuduh tanpa dasar atas adanya kecurangan dalam pemilihan 2020., setelah itu gerombolan pendukung Donald Trump menyerbu gedung parlemen Gedung Capitol,salah satu simbol demokrasi "Negeri Paman Sam" Serangan itu mengakibatkan lima kematian dan dakwaan terhadap lebih dari 700 orang.

Timothy Fraser dkk, dalam artikel yang berjudul Election-Related Post-Traumatic Stress: Evidence from the 2020 U.S. Presidential Election Published online by Cambridge University Press: 15 May 2023, mereka , berhipotesis bahwa pemilu tahun 2020 menimbulkan trauma bagi sebagian pemilih, sehingga menimbulkan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD= producing measurable symptoms of post-traumatic stress disorder) yang dapat diukur.

Lalu dia juga berhipotesis bahwa sentimen negatif terhadap pihak lawan berkorelasi dengan PTSD. Mereka mengukur PTSD menggunakan versi PCL-5 yang dimodifikasi, alat penyaring PTSD yang tervalidasi, untuk 573 orang dari sampel YouGov yang mewakili secara nasional.

Mereka memodelkan hubungan antara polarisasi afektif dan PTSD, yang mengendalikan sifat-sifat politik, demografi, dan psikologis. Kami memperkirakan bahwa 12,5% orang dewasa Amerika (95% CI: 9,2% hingga 15,9%) mengalami PTSD terkait pemilu, jauh lebih tinggi daripada prevalensi PTSD tahunan sebesar 3,5%. Selain itu, sikap negatif terhadap pendukung partai lawan berkorelasi dengan gejala PTSD. Temuan-temuan ini menyoroti potensi kebutuhan untuk mendukung warga Amerika yang terkena dampak trauma terkait pemilu.

Kondisi demikian bisa jadi juga terjadi di Indonesia, dan memang perlu dilakukan penelitian mendalam, agar dampak kejiwaan bisa ditangani dengan serius.

Berangkat kajian literatur diketahui bahwa, PTSD adalah suatu kondisi kesehatan mental di mana individu mengalami kesulitan untuk pulih setelah mengalami peristiwa traumatis. PTSD ditandai dengan beberapa gejala umum, termasuk tidak terbatas pada ingatan dan mimpi buruk yang mengganggu dan tidak diinginkan; penghindaran; reaksi yang meningkat; kecemasan; dan perubahan suasana hati.

Contoh trauma yang memicu PTSD mencakup krisis (misalnya, pemboman World Trade Center, atau bom Bali) dan perang, namun mungkin juga juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari, setelah kecelakaan mobil, atau kekerasan dan pelecehan masalah kesehatan yang serius atau trauma di tempat kerja.

Meskipun sebagian besar orang (51% wanita dan 60% pria) mengalami peristiwa traumatis dalam hidup mereka hanya sedikit yang mengalami PTSD. Replikasi Survei Komorbiditas Nasional (NCS-R), yang dilakukan antara tahun 2001 dan 2003, memperkirakan bahwa orang dewasa Amerika memiliki prevalensi PTSD seumur hidup sebesar 6,8% (SE = 0,4) dibandingkan dengan prevalensi tahunan sebesar 3,5% (SE = 0,3) (kemungkinan menderita PTSD dalam 12 bulan terakhir).

Sejak itu, penelitian memperkirakan bahwa tingkat prevalensi PTSD seumur hidup biasanya berkisar antara 5% dan 10% untuk populasi umum. Perkiraan yang dibuat oleh Kessler dan rekannya tetap dihargai hingga saat ini karena ukuran sampelnya besar (n = 5.692),. Meskipun dokter layanan primer biasanya merupakan praktisi kesehatan pertama yang ditemui penderita PTSD setelah trauma (Kessler, Berglund dkk., Referensi Kessler, Berglund, Demler, Jin, Merikangas and Walters 2005; Lecrubier, Referensi Lecrubier 2004), mereka sering gagal mendeteksi PTSD; oleh karena itu, rincian laporan individu terhadap trauma dan gejala sering kali tidak dilaporkan atau tidak dilaporkan, sehingga banyak penderita PTSD tidak diobati 

PENENTU PSIKOLOGIS PTSD

Faktor psikologis dan kepribadian membuat beberapa orang lebih rentan terkena PTSD dibandingkan yang lain (Calegaro et al., Referensi Calegaro, Canova Mosele, Lorenzi Negretto, Zati dan Machado Freitas 2019). Hal ini tampaknya sebagian disebabkan oleh peran sentral hubungan sosial dalam PTSD: trauma yang disebabkan oleh tindakan manusia (misalnya kekerasan) lebih sering mengakibatkan PTSD dibandingkan sumber trauma yang tidak disengaja. Mengalami trauma bukan satu-satunya penyebab PTSD; menyaksikan peristiwa traumatis dapat menimbulkan konsekuensi yang sama . Seiring waktu, paparan trauma dikaitkan dengan berbagai penyakit penyerta kesehatan mental dan fisik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri psikologis dan kepribadian tertentu dapat bertindak sebagai penyangga terhadap PTSD. Ketahanan---kapasitas individu untuk bangkit kembali setelah guncangan---telah dikaitkan dengan rendahnya peluang terjadinya PTSD. Prevalensi PTSD yang lebih tinggi juga menyertai kecenderungan untuk menghindari bahaya (misalnya, kehati-hatian, kewaspadaan, dan aspek emosi negatif seperti kecemburuan), serta transendensi diri (misalnya, altruisme, keterbukaan, kurangnya dogmatisme, dibandingkan dengan individualistis, materialistis, dan tidak mementingkan diri sendiri). kecenderungan yang lebih dogmatis)

PENENTU SOSIAL PTSD

Penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa demografi mengalami PTSD lebih sering dibandingkan yang lain. Komunitas yang rentan cenderung menghadapi dampak kesehatan mental dan fisik yang lebih buruk dibandingkan dengan populasi umum, sebuah fenomena yang disebut "penentu sosial kesehatan" Angka yang lebih tinggi ini bukan disebabkan oleh kecenderungan biologis tetapi karena faktor stres tambahan, kerentanan, risiko, diskriminasi, dan paparan terhadap trauma yang dihadapi orang-orang di komunitas ini setiap hari Peningkatan kerentanan terhadap dampak kesehatan negatif telah didokumentasikan terjadi pada perempuan (; orang dengan kondisi kesehatan atau disabilitas penduduk di lingkungan berpendapatan rendah mereka yang hidup dalam kemiskinan dan mereka yang berpendidikan rendah atau tidak memiliki asuransi.

Tinjauan penelitian PTSD, telah diketahui bahwa tingkat diagnosis PTSD yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria orang muda versus orang tua mereka yang tidak memiliki pendidikan perguruan tinggi dan para pengangguran Angka yang lebih tinggi juga terdeteksi di kalangan mereka yang belum menikah berpisah, atau bercerai dan penduduk kulit hitam secara khusus

POLARISASI AFEKTIF.

Penelitian terbaru menciptakan istilah polarisasi afektif untuk menggambarkan individu yang menganggap pandangan partisan negatif tidak hanya berasal dari partai, kebijakan, atau nilai-nilai tetapi juga berasal dari anggota biasa dari partai lawan, sehingga menyebabkan mereka menjadi terputus secara sosial dari partisan lawan di komunitas mereka yang lebih luas. (Polarisasi afektif berbeda dari isolasi sosial pada umumnya; individu-individu yang partisan negatif tersebut masih dapat memiliki hubungan sosial yang erat dengan anggota kelompok sosialnya atau lintas kelompok yang tidak terkait dengan politik.) Individu yang mengalami polarisasi afektif yang lebih besar cenderung memandang pemilu dengan pertaruhan yang tinggi.. Hal ini mungkin terjadi karena masyarakat memandang keterikatan partisan sebagai bagian dari identitas sosialnya; akibatnya, kekalahan dalam pemilu---atau serangan terhadap partai atau kandidat pilihan mereka---dianggap sebagai penghinaan langsung terhadap diri mereka sendiri dan kelompoknya

PEMILU YANG TRAUMATIS?

Dugaan awal, Pemilihan Umum pada tahun 2024 diperkirakan masih akan menghadirkan isu-isu politik identitas seperti pemilu pada tahun 2019 silam. Lebih lanjut bahwa Isu-isu politik identitas dapat lahir dari berbagai macam faktor seperti agama, suku, gender, dan lain sebagainya. Besar kemungkinan para makelar-makelar politik kembali memanfaatkan isu tersebut untuk memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini, partai politik dengan kader-kader yang mereka andalkan akan menonjolkan identitas-identitas tertentu dalam menarik dukungan dari berbagai macam kelompok yang memiliki identitas yang sama.

Di AS banyak yang mengira bahwa menjelang dan sesudah pemilu presiden AS tahun 2020 mungkin akan menimbulkan trauma bagi para pemilih tersebut. Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan peningkatan stres selama pemungutan suara secara langsung dengan mengukur tingkat kortisol dalam eksperimen lapangan selama pemilu AS tahun 2012 dan pemilu nasional Israel tahun 2009 . Pemilu baru-baru ini mungkin telah memicu respons stres yang lebih besar: beberapa orang menjuluki pemilu tahun 2016 sebagai "cedera moral kolektif" (Brenner, Referensi Brenner 2017), dan pemilu tahun 2020 tampaknya juga menimbulkan dampak serupa. Beberapa warga tidak lagi yakin bahwa mereka dapat mengandalkan rekan-rekan Amerika mereka untuk menjunjung tinggi norma-norma dasar pemilu, seperti menerima hasil pemilu tidak peduli partai mana yang menang atau tidak mengakui kekerasan politik dan intimidasi pemilih

Misalnya, di kalangan elit politik dan organisator politik, para pemimpin dan aktivis Partai Demokrat berbicara secara terbuka tentang bagaimana merespons jika kandidat dari Partai Republik menolak untuk menyerah, dan hal itu memang dilakukannya. Survei YouGov yang dilakukan pada bulan Desember 2020 memperkirakan bahwa meskipun 74% masyarakat Amerika menerima hasil pemilu presiden tahun 2020, masyarakat Amerika yang menerima dan tidak menerima hasil tersebut cenderung percaya bahwa sebagian besar masyarakat Amerika merasakan hal yang sama dengan mereka; tren ini menyoroti pandangan-pandangan mengakar yang mungkin semakin mengisolasi sebagian pemilih (Weinschenk dkk., Referensi Weinschenk, Panagopoulos dan van der Linden 2021). Berminggu-minggu mempertanyakan legitimasi hasil pemilu mencapai puncaknya pada kerusuhan tanggal 6 Januari dan penyerbuan gedung Capitol AS, yang mengakibatkan tujuh orang tewas (Cameron, Referensi Cameron 2022). Perasaan mendesak ini juga meluas ke masing-masing pemilih. Misalnya, jajak pendapat YouGov yang dilakukan antara tanggal 18 dan 24 September 2020, melaporkan bahwa 55,84% masyarakat Amerika memperkirakan akan adanya peningkatan kekerasan akibat pemilu, sementara 50% memperkirakan bahwa masyarakat Amerika tidak akan sepakat mengenai siapa yang secara sah memenangkan pemilu ( Malaikat Pemberani, Malaikat Referensi 2020). Para wartawan mendokumentasikan kisah-kisah anekdotal dari beberapa pendukung Partai Republik dan Demokrat yang menimbun persediaan darurat, membuat rencana keselamatan di lingkungan sekitar, dan beberapa bisnis yang tutup menjelang pemilu

Pengalaman yang mengejutkan ini membuat beberapa pendukung kuat Partai Demokrat dan Republik merasa diasingkan dan kecewa oleh teman, rekan kerja, dan anggota keluarga yang percaya pada hasil pemilu yang berbeda, beberapa di antaranya mulai mempromosikan ide-ide yang mengkhawatirkan tentang cara mengubah hasil pemilu tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan definisi trauma moral, yaitu tekanan yang dirasakan individu ketika mereka "melakukan, gagal mencegah, atau menyaksikan peristiwa yang bertentangan dengan keyakinan dan harapan moral yang dipegang teguh" (Norman & Maguen, Referensi Norman dan Maguen 2021). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa trauma moral sering terjadi bersamaan dengan PTSD dan merupakan prediktor kuat PTSD dan komponen diagnostiknya. Di bingkai itu, bahwa trauma moral lebih jarang diterapkan pada politik dibandingkan bidang kehidupan lainnya, namun hal ini mewakili jalur yang memungkinkan seseorang mengalami PTSD setelah pemilu.

TEORI CEDERA MORAL

Untuk memperjelas, teori cedera moral tidak menganggap bahwa paparan terhadap ide atau pendirian politik yang berbeda dapat menyebabkan PTSD. Sebaliknya, trauma moral akibat pemilu juga dapat berdampak langsung pada rasa aman masyarakat: warga mungkin merasa cemas dan rentan terhadap ancaman baru yang tidak terduga terhadap keamanan sosial, ekonomi, atau fisik mereka ketika berhadapan dengan orang lain yang partisan, baik ketika dicemooh oleh demonstran jalanan. , saat ditanya oleh rekan kerja atau majikan, atau saat tetangga berubah menjadi agresif. Kami menduga bahwa paparan langsung terhadap permusuhan dan ancaman dari pihak lawan dalam kehidupan sehari-hari dapat mengakibatkan peningkatan gejala PTSD. Ini adalah mekanisme sebab akibat yang lebih jelas, yang sejalan dengan pandangan standar bahwa paparan terhadap ancaman biasanya diperlukan untuk PTSD.

Kita harus bercermin pada diri sendiri sebagai homo educandum, Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik, tentu ke arah yang lebih baik , yang dapat diimplementasikan pada kegiatan pendidikan . dalam menggapai kekuasaan itu tentu dengan menggunakan akal sehat dan waras, namun kita perlu ingat kata Abraham Lincoln, Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan.

Dengan kekuasaan manusia mampu menggerakkan dan mengendalikan apapun yang diinginkan. Manusia adalah makhluk berakal, tak heran jika ia mampu melakukan cara-cara yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhannya.

Kekuasaan bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari. Sebab, dengan kekuasaan manusia bisa menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan. Dengan kekuasaan seorang manusia mampu menciptakan hidup yang lebih bermakna, nyaman, dan minim stres. Salah satunya dengan cara memodifikasi lingkungan dengan menyusun kebijakan yang selaras.

Jika manusia tumbuh dalam lingkungan dengan pendidikan yang baik, keamanan yang terjamin, sumber makanan yang terjaga, dan ada kebebasan mengutarakan perasaan, maka hal ini bisa mengurangi dampak kecemasan pada kelompok publik dan akan menciptakan kesehatan mental. Meminjam kembali teori psikoanalisis Sigmund Freud mengenai struktur kepribadian, seorang manusia yang utuh adalah yang mampu menjaga keseimbangan antara Id, Ego dan Superego. Moga bermanfaat *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun