Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek dan Dinamika Politik yang Melingkupinya

10 Februari 2024   16:35 Diperbarui: 10 Februari 2024   23:02 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang perayaan Imlek tahun ini,  Dhira adalah salah satu cucu saya ikut berpakaian merah dengan khas imlek nya,  dia  berangkat ke sekolah, dia bersalaman dengan nenek dan saya, bahwa untuk menyambut imlek sekolah TK internasional itu merayakan dengan memakai seragam Imlek dan menghiasi sekolahnya dengan asesoris imlek seperti Lampion Merah, Pohon Angpao Bunga Meihua Tenglong Chun Imlek, Tatakan Gelas Imlek productnation dan lain-lain.

Dokpri
Dokpri

Salah satu bentuk toleransi diajarka di TK Aura Sukma Insani, TK bilingual  di kota Singaraja Bali itu,   dengan kurukulum  Bahasa Inggris, anak-anak sangat senang dan bahgaia, bahwa perayaan yang banyak di medsos itu pun mereka rasakan dengan memakai pakaian yang serba merah itu.  Tidak hanya Imlek perayaan hari hari besar yang lain juga ikut di meriahkan.

Sekolah ini memang ikut memberikan apresiasi terhadap perayaan agama besar dunia, sehingga anak-anak lebih awal diperkenalkan beragam budaya. Harapannya satu bahwa keanekaragaman membuat hidup ini indah, dan toleransi membuat  mereka damai selalu.

Beberapa teman dan Keluarga yang kebetulan saling kenal karena hubungan kekerabatan 'kawin mawin diantara enis Thiongoa ini melahirkan budaya Imleks menjadi budaya yang saling mendukung bagi beberapa keluarga di BALI.

Di Keluarga saya, memang pencampuran tradisi memang selalu terjadi sejak dahulu kala, terbukti adanya pemujaan untuk ratu Subandar di komplek Pura Besakih , Pura yang paling besar di Bali itu.  Biasanya para pedagang dan warga keturunan Tionghoa ramai berdatangan untuk menggelar persembahyangan.   Pernah ada pamangku keturunan Tionghoa, Jro Padma Rajesvari, ngayah di pura itu.

Salah satu Pura Ratu Subandar di Kompleks Pura Besakih-Dok-Nusa Bali
Salah satu Pura Ratu Subandar di Kompleks Pura Besakih-Dok-Nusa Bali

Biasanya para pedagang dan warga keturunan Tionghoa ramai melakukan persembahyangan di Pura Ida Ratu Subandar dan Ida Ratu Ulangalu. Kedua palinggih di Mandala V Pura Penataran Agung Besakih ini berdampingan dengan 7 palinggih lainnya yakni: meru tumpang solas (tingkat 11) sebagai linggih Ida Ratu Sunaring Jagat, palinggih Surya Candra, palinggih Hyang Widyadara-Widyadari, palinggih Ida Bhatara Dancawara, palinggih Hyang Gendarwa, dan bale papelik.

Dokpri
Dokpri

Pelinggih Ida Ratu Subandar dan palinggih Ida Ratu Ulangalu merupakan tempat pemujaan para pedagang dan keturunan Tionghoa.

Beberap tetua di bali mengatakan bahwa "Ida Ratu Subandar tempat memohon berkah dan perlindungan bagi kaum saudagar. Ida Ratu Ulangalu diyakini sebagai tempat memohon restu dan perlindungan bagi para pedagang kaki lima.

Anak saya, juga setia mengunjungi temannya yang merayakan Imleks di Kintamani  Bangli, tepat di desa lampu. Keberadaan memang ada kaitannya dengan sejarah Bali.  Pada abad VI., Ketika itu Raja Sri Jaya Kesunu memiliki seorang istri dan anak bernama Mayadenawa. Raja Jaya Kesunu murung dan akibatnya, kerajaan tidak terurus. Maka Mayadenawa dinobatkan sebagai Raja Bali menggantikan ayahnya Jaya Kesunu, untuk menghilangkan kesedihan Jaya Kesunu, penasihat kerajaan berinisiatif menjodohkan dengan salah seorang putri dari saudagar Cina bernama Kang Cing We sebagai istri kedua dari Jaya Kesunu.

dokpri
dokpri

Kecantikan Kang Cing We membuat Jaya Kesunu pun menerima perjodohan itu. Sejak itu Raja Jaya Kesunu pun kembali terlihat gembira. Namun  sayang, harapan  dari Raja Jaya Kesunu untuk memperoleh  keturunan dari Kang Cing We tak terwujud , karena sang permaisuri  di duga mandul. Walaupen demikidan, rasa cinta Jaya Kesunu dengan Kang Cing We tidak pernah memudar. Saking cintanya pada putri Kang Cing We, Raja Jaya Kesunu memerintahkan salah satu penasehat kerajaan yaitu  Empu Liem untuk nmembuat satu tarian yang melambangkan dirinya dengan putri Kang Cing We.

Tak perlu waktu lama, Mpu Lien kemudian membuat dua patung besar menyerupai manusia yang bisa ditarikan, kini dikenal sebagai Barong landung. Patung laki-laki  berwarna hitam , dengan karakter wajah lokal sebagai perlambang   Raja  Jaya Kesunu.  Dan, patung perempuan berwarna putih dengan muka cemberut tetapi memancarkan sinar keibuan sebagai perlambang putri Kang.

Barong Landung-Dok: Alit Mahardika 
Barong Landung-Dok: Alit Mahardika 

Tetua di Bali, kerap mengutif ajaran-ajarannya dari China, seperti (1) Ren -- ajaran Cinta Kasih , yaitu merupakan  karakter mulia dari kepribadian  seseorang terhadap moralitas, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tahu-diri, halus budi pekerti, tenggang rasa, perikemanusiaan. (2) Yi -- menyangkut  aspek kebenaran, Keadilan dan Kewajiban sifat ini membangun  solidaritas teguh membela kebenaran  (3) Li --  sifat Kesusilaan dan  Kepantasan, karakter ini  menunjukkan kepribadian seseorang  yang  bersusila, penuh dengan sopan santun, tahu tata krama, serta  budi pekerti baik,  (4) Zhi --  karakter bijaksana ditunjukkan dengansifat  arif bijaksana dan penuhsaling  pengertian. (5) Xin -- karakter yang Dapat dipercaya ditunjukkan dengan  rasa percaya diri, serta dapat dipercaya oleh orang lain, serta selalu  menepati janji.

IMLEKS DI INDOENESIA

Di seluruh dunia, Tahun Baru Imlek merupakan perayaan budaya. Namun di Indonesia, Imlek sudah banyak diperebutkan. Hal ini antara lain karena umat Konghucu di Indonesia merayakan Imlek sebagai hari suci yang memperingati lahirnya Konghucu, sama seperti umat Kristiani merayakan Natal untuk mengenang kelahiran Yesus Kristus.

Meskipun Konfusianisme secara umum dipahami oleh orang Tionghoa di tempat lain sebagai seperangkat aturan etika atau filsafat moral, di Indonesia agama ini telah menjadi agama yang dilembagakan sejak awal abad ke-20. Di bawah pemerintahan Orde Baru, status Konfusianisme sebagai agama dicabut, dan ekspresi etnis dan budaya Tionghoa dilarang. Namun setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Majelis Agung Agama Konghucu di Indonesia (MATAKIN), yang mengaku mewakili hingga satu juta masyarakat Indonesia, meminta agar pemerintah menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Organisasi Tionghoa lainnya di Jakarta menyambut baik usulan ini dan mendukungnya dengan melobi pemerintah.

Kalangan Konghucu membenarkan penetapan tahun Imlek berdasarkan tahun lahir Konghucu dengan menyamakan peringatan Anno Domini dalam penanggalan Barat sebagai tahun Masehi, dan penanggalan Hijrah umat Islam yang menghitung tahunnya dari tahun Nabi Muhammad SAW. ziarah dari Mekkah ke Madinah. Untuk mempertahankan 'tradisi' tersebut, organisasi Tionghoa dan budayawan Tionghoa-Indonesia harus menciptakan kembali versi sejarah Tiongkok kuno yang menunjukkan bahwa penghitungan tahun Imlek ini dilakukan di Tiongkok kuno. 

Mereka menggunakan versi penanggalan Tiongkok, yang sudah ketinggalan zaman bahkan di Tiongkok, yang menyatakan bahwa tahun Imlek ditandai dengan tahun kelahiran Konfusius pada tahun 551 SM. Inilah salah satu unsur yang dianut oleh umat Konghucu di Indonesia untuk melegitimasi agama Konghucu sebagai agama institusional. Yang lainnya adalah kanonisasi Konfusius sebagai Nabi, yang memperoleh dekrit dari Surga untuk menyebarkan 'Injil' di kalangan orang Tionghoa, serta perlakuan mereka terhadap teks Konfusianisme (Empat Kitab dan Lima Kitab Klasik) sebagai Kitab Suci agama.

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional opsional. Dua bulan kemudian, Menteri Dalam Negeri menghapuskan Instruksi Menteri tentang Konfusianisme tahun 1978 dan mengembalikannya sebagai agama keenam yang diakui secara resmi di Indonesia. Sejak tahun 2000, MATAKIN telah menyelenggarakan perayaan Imlek tahunan formal yang mengundang para pemimpin nasional, seperti Presiden, dan tokoh Tionghoa terkemuka untuk hadir. Perayaan tahunan ini memiliki arti penting bagi masyarakat Tionghoa, karena dianggap sebagai pembaharuan komitmen pemerintah terhadap agama dan budaya Tionghoa di Indonesia. 

Untuk mengingatkan etnis Tionghoa akan 'asal usul' Imlek, organisasi seperti MATAKIN menerbitkan artikel di surat kabar dan majalah beberapa hari sebelum Imlek. Ironisnya, tidak ada satupun artikel MAKATIN yang diterbitkan dalam bahasa Mandarin, dan tidak ada satupun publikasi berbahasa Mandarin di Indonesia yang menyebutkan 'tradisi' tersebut. Kaum 'totok' yang berpendidikan Tionghoa, yang mempertahankan ke-Tiongho-an mereka melalui budaya dan bahasa Tionghoa serta ikatan transnasional dengan Tiongkok dan orang-orang Tionghoa lainnya di luar negeri, tampaknya menganggap 'tradisi' tersebut tidak relevan dan/atau tidak diperlukan.

Masyarakat Tionghoa-Indonesia yang tidak menganut Konfusianisme mempertanyakan kelayakan statusnya sebagai agama dan berpendapat bahwa Imlek adalah murni festival etnis/budaya. Faktanya, etnis Tionghoa Kristen, Katolik, bahkan Muslim merayakan Imlek sebagai hari raya etnis dan budaya. Mereka merasa dikucilkan ketika penganut Konghucu mengklaim Imlek sebagai perayaan keagamaan. Bagi mereka, Imlek hanya menjadi hari raya Konghucu karena adanya kebutuhan strategis agar dapat diakui sebagai hari raya resmi, seperti hari raya keagamaan lainnya; bukan karena secara historis merupakan hari raya keagamaan.

PENCARIAN IDENTITAS 

Politik Imlek tidak berhenti pada perdebatan apakah itu festival keagamaan atau budaya. Ketika Imlek semakin dikomersialkan, beberapa orang berpendapat bahwa simbol-simbol budaya Imlek telah menjadi bagian dari budaya populer, dipelajari dan dilakukan tidak hanya oleh orang Indonesia Tionghoa, tetapi juga orang Indonesia dari latar belakang etnis lain. Etnis Tionghoa lainnya secara strategis telah menggunakan simbol-simbol ini, dan secara agresif mengkomodifikasikannya untuk menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap identitas Tionghoa dan status setara mereka.

Namun, meningkatnya visibilitas produk-produk budaya Tionghoa -- dan konsumsi produk-produk tersebut oleh masyarakat non-Tionghoa di Indonesia -- tidak boleh dianggap naif sebagai tanda penerimaan baru terhadap etnis Tionghoa. Retorika asimilasi Orde Baru masih mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia. Para ideolog Orde Baru mengonstruksi identitas tunggal, yang berarti semakin banyak orang Tionghoa, semakin berkurang ke-Indonesia-annya, dan sebaliknya. 

Kemunculan kembali simbol-simbol ke-Tiongho-an dapat diinterpretasikan sebagai kembalinya gagasan esensialis mengenai ke-Tiongho-an, yang memperkuat mitos populer, 'sekali menjadi orang Tionghoa, tetap menjadi orang Tionghoa'. Secara politis, hal ini mungkin berarti bahwa kesetiaan orang Tionghoa-Indonesia semakin dipertanyakan karena mereka kini menjadi 'lebih banyak orang Tionghoa' dan dengan demikian 'kurang Indonesia'. Sementara itu, persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi oleh Tiongkok sebagian besar masih belum terselesaikan. Selamat Tahun baru Imlek, moga rahayu ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun