Kekhawatiran  pemegang ideologi partai, Megawati, semakin menjadi menguat, sebab tesis William R. Thompson tentang "perluasan sistem politik global, dan lembaga-lembaganya, di mana transaksi antar-regional  perlu  dikelola dengan baik" Atas dasar tesis itu, Megawati terlihat kaku, dan terus berupaya menjadi King maker dalam Pilpres 2024 ini.
Keluar masuk kader  itu akan berate banyak kalau keteguhan memegang 'konstelasi pemilih terus dijaga, yang  menjadi mimpi buruk adalah, bila, tujuannya satu, " agar dipilih"  dan membuat sosok kandidat partai hanya menjadi pengemis politik  dan  mencari suara rakyat dengan segala cara, tanpa membangun literasi politik rakyat. Jika terjadi demikian, maka  dalilnya adalah  rakyat memang menjadi "raja" pada masa kampanye ini, setelah pemilihan, siap-siap untuk menjadi rakyat miskin kembali, diacuhkan  dan suara membela rakyat tak terdengar lagi, karena tertelan oleh keserakahan.
Inhibisi terhadap keserakahan, harus kita lirik dalil yang dikemukakan oleh  Hunter S. Thompson dalam artikelnya yang berjudul " Politics is the art of controlling your environment'(Politik adalah seni mengendalikan lingkungan). Kontrol terhadap lingkungan agar lingkungan dapat melihat , tiga hal pada calon pemimpin atau wakil rakyat, yang menjadi pilihannya, yaitu" pengetahuannya, sikap, dan perilaku/tindakannya.
Orang mudah dikontrol dan meniru pemimpinnya, bila  sang pemimpin memiliki pengetahuan, Pertanyaan kita adalah, apakah pemimpin kita memiliki kecakapan, pengetahuan yang luas, dan harus menjadi model dalam banyak hal. Karena pemimpin, "Pemimpin dibuat, mereka tidak dilahirkan. Mereka dibuat dengan usaha keras, yang merupakan harga yang harus kita semua bayar untuk mencapai tujuan apa pun yang berharga."
Setelah  Maruarar Pamit dari PDIP, orang lalu banyak mengatakan bahwa dia dibuang, dia sudah tidak dipakai lagi, nampaknya bisa jadi ia, tentang Ara ini, ulasan artikel , Ishak Pardosi di kompasiana, https://www.kompasiana.com/pardosi/5ce03c2395760e3734655a95/maruarar-sirait-gagal-ke-senayan-lalu-melenggang-ke-istana,  lima tahun silam sudah jelas, apa kekeliruan Ara, dalam konstelasi PDIP-ketika  hiruk pikuk pencalonan capres  ketika itu, Ara ini adalah yang getol menerabas, untuk menggolkan  Jokowi. Dan berhasil, namun dia dipandang melawan arus, Ketua Umum, ketika itu.Â
Atas kejadian ini tergambar jelas pakem atau kreativitas para kader. Nampak perlu diberi ruang untuk memajukan partai. Saya ingat pesan Presiden AS, Joe Biden, yaitu Jika Anda berpolitik dengan cara yang benar, saya yakin, Anda benar-benar bisa membuat hidup orang lebih baik.
Pada posisi inilah , Sekolah Politik yang dimiliki PDIP menjadi sangat berarti, memiliki kader berkompeten dan kompetitif  dalam perpolitikkan di Indonesia, sehingga  banyak dilirik oleh partai lain, seharusnya,  Gibran atau Budiman dan yang lain tidak perlu dipecat, atau Maruarar Sirait tidak disisihkan di internal PDIP, namun seyogya  terus diajak berkomunikasi, dan kita harus bangga lulusan sekolah itu mampu menyebarkan ideologi politik PDIP.  Demokrasi pun tumbuh baik, seperti juga harapan  dari  Charles W. Pickering, Politikus Partai demokrat AS,  "A healthy democracy requires a decent society; it requires that we are honorable, generous, tolerant and respectful-Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang layak; itu menuntut kita untuk terhormat, murah hati, toleran, dan penuh hormat. Moga bermanfaat ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H