Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adipati Karna: Perang Atas Nama Tanah

14 Oktober 2023   11:28 Diperbarui: 14 Oktober 2023   23:15 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hujung timur itu, matahari siang tampak indah bercengkrama dengan laut biru,buah -buahan  yang manis dengan seonggok harapan menyatu dan menggema dalam kedamaian, perjalanan yang memukau dalam narasi kehidupan, bagai cerita yang tak pernah pudar dan selalu hadir menghiasi hikayat cinta sejati, dengan ribuan dedaunan untuk menggapai sejumlah senyuman dengan rumah idaman. Sang lubuk hati.

Itulah gambaran awal kisah -kisah cinta  kehidupan, yang memukau bila diceritakan  untuk memberikan makna, yang mungkin bisa diteladani oleh mereka yang mendambakan cinta.  Sang Adipati karna adalah contoh penganut cinta sejati pada persahabatan, dia setia akan sosok yang pernah mengangkatnya dari kubangan lumpur nista diangkat menjadi Raja di negeri Awangga. ,Di hari keenam belas perang mahabarata telah berkobar, dia ditunjukk oleh Duryodana  menjadi Senapati yang akan bertarung dengan Pandawa lima. Khususnya Arjuna, besok adalah hari terakhir, Arjuna yang mati atau aku, katanya dalam hati, perang telah berkobar untuk menggapai ambisi, perebutan kekuasaan atas tanah' teritorial kerajaan, ambisi  saling memusnahkan tak pernah padam, saling menyulut terjadi perang.

Karna tersenyum, kini saatnya membalas kebaikan yang diberikan Duryodana selama ini, Hidup atau mati menjadi tidak penting, yang penting dia sudah melunasi hutangnya atas kebaikan Duryodana sang raja padanya. Lalu dia memandang keanehan dirinya, dan manusia lain.  Hidup diliputi kebencian untuk saling membunuh, Keluarga berperang, tak mengindahkan saudar, sahabat, kerabat, paman. Perang saudara.  Hanya berhambisi memperebutkan ha katas tanah, yang sejatinya tidak bisa dibawa mati. Dia tersenyum ada dibalik perang itu,  Aku tersandra atas mahkota yang diahdiahkan oleh Duryodana. Aku bahagia  selama ini, bisa menginiasia agar kebenaran tetap tegak, serta keburukan dan kebencian cepat berakhir, sehingga kemenangan ada di pihak yang benar. Aku percaya sekarang katanya, bahwa Perang adalah kekalahan bagi kemanusiaan.  Hanya orang mati yang telah melihat akhir dari perang.

 Karna terus memebangun imajinasi kreatif , menerawang ke wilayah lain, kegelisahannya terus membumbung keangkasa raya, ingin dia bertemu dengan ayahnya, Dewa surya, yang rela menitipkan benih pada Ibu dewi Kunti, namun apa daya, perkawinan dewa dengan sosok manusia, tak pernah bisa diamini oleh manusia nyata. Jadilah benih itu terlunta-lunta, karena protes atas semua ini. Karena yang menderita adalah anak dari hasil cinta yang mungkin gelap, sehingga  kini hidup nya tak banyak yang bisa menerima dirinya, banyak celaan dan hinaan diantara para ksatria

Karna, dalam benaknya bergulir pikiran, " Kalau aku mati, artinya, aku  menganggapnya telah tenggelam  dulu Ketika aku bayi, dibuang oleh Ibu Kunti ke aliran sungai  Gangga  itu, kehadiranku memang tak diharapkan demi sebuah kehormatan. Aku menghormati keputusan itu, namun aku heran kenapa aku masih bisa selamat, Apakah ada tugas lain?  Karna menerawang memandang angkasa  yang semakin gelap dengan kehadiran bintang gemintang di langit.

Karna, lalu membayangkan dirinya tenggelam dalam air, lalu jiwanya Bersatu melayang, ke angkasa menuju alam keabadian ing, lalu, di tersadarkan, bahwa dia masih memiliki badan, yang masih tersisa, jiwanya masih terkurung dengan badan jasmani, besok badan ini akan lepas atau mampu masih tetap bertahan hingga waktu lebih lama, entahlah.

Lalu matanya diarahkan pada medan kurukshetra, ladang tandus sebagai sakasi bahwa perang menyisakan sebuah pemandangan yang mengerikan akan kematian, Puing-puing senjata dan api yang besar terus menyala, bekas dibombardir oleh dua pasukan yang siang tadi berperang. Perang hanya menghasilkan kesedihan, dan air mata duka istri dan anak-anak yang kini menjadi janda, yatim piatu dan menjanda. Oh... manusia, menjadi  buas terhadap sesamanya, dia menjadi sosok yang dikatakan  homo homililupus. Benar-benar nyata.

Saat itu Istri Karna, Dewi Surtikanti,  mendekat, dia bersamanya di tenda, dia berucap lembut, " Kanda Karna, suamiku yang gagah, engkau adalah Raja Angga,   Engkau sebagai putra dewa matahari,  Surya, tak ada yang bisa mengalahkanmu, sayang, percayalah, engkau akan menang esok hari

Engkau memiliki sahabat yang hebat, aku sangat mencintaimu, sebab Cinta, itu memiliki kisah dan mungkin hikayat yang menjadi warna tersendiri tentang cinta kita.  Pun, mencintai tanpa lebih dulu mencintai diri sendiri, tidak pernah berakhir indah. Maka, kali lain aku jatuh cinta, aku akan lebih dulu menyadarkan diri sendiri.  Hatiku harus lebih hati-hati untuk memotivasimu disaat genting seperti ini.

Istriku, Surtikanti engkau, selalu hadir dalam lamunanku, engkau adalah sosok yang selalu setia menemaniku, sayang, puji Karna pada sang istri.

Dia melanjutkan, Senyumanmu yang menawan, dengan lentik bulu matamu, terasa hadir bagaikan suasana yang menggiatkan jiwa ini. Seputih tulang dengan bingkisan sebentuk hati Ketika wal-awal aku dating ke rumahmu, bingkisan buah ranum dengan  rendra yang tipis tampak merah muda yang tertimbun bagaikan mutiara berkilau tiada tara, raihan dan sambutan yang hangat dan engkau tersenyum bagaikan sambutan suksma bidadari yang selalu padu,bibirmu menawan, labirin senyuman bagaikan rumah yang berkilau dengan cahaya redup matamu, selalu memberikan sensasi keindahan yang harmonis dengan senyuman manis,tanpa kenal arah dan mengiyakan semua berpadu dalam hangatnya sinar mentari dalam samudera luas cahaya.

Aku titipan kata-kata indah ini untukmu, jika beseok hari,  aku tak bernyawa lagi, ingatlah ini pesan ku yang terakhir aku sangat menyangimu, semoga di tempat lain kitab isa bertemu lagi.

Surtikanti membalas pujian suaminya, "Merindukanmu di pagi hari,   Efek sakit hati Tak terlelap, tetap terjaga Merenung tentang hal lama Tak pernah aku sangka jika dampaknya sebesar ini, padamu, Raja Angga, Engkau adalah tiang penyangga hidupku.

 Engkau hadir dan memberikan pelukan yang paling indah dan melayangkan sukmaku menyatu dengan angkasa biru, semoga engkau bahagia hari ini, aku menunggu kasihmu tiada henti, untuk bersatu menyambut hari bahagia ini, kerinduanku seakan menembus ilalang dan yang tumbuh subur di antara semak yang damai, sedamai tatapanmu yang memukau hatiku, Tambah Surtikanti Kembali.

Suasana hening di tenda itu, suara jengkrik malam mulai sayup-sayup terdengar, lalu Surtikanti  berkata  lagi, untuk mengungkapkan kegamuman dan kerinduannya selama ini " Kanda sang pahlawan gagah perkasa, tak ada yang bisa memandangi dirimu, Setiap malam suara jangkrik selalu menyapa diriku, diri yang selalu membayangkan wajahmu dalam benak, engkau tersenyum tipis seperti rembulan ditutupi awan putih tipis di balik bukit.

Karna menjawab dengan pujian, Semburat  sinar bulan itu tergambar indah dalam beningnya air danau, ritual-demi ritual yang aku lakukan, selalu memberisitkan titipan doa untukmu yang terkasih moga engkau bahagia, moga selalu bisa menjalani hidup dengan damai, semoga kesuksesan selalu menjadi hadiah Tuhan untukmu, karena pengabdianmu adalah bukti hatimu suci dan rela berkorban untuk 'kebaikan keluarga"

Disinilah engkau menjadi semacam pahlawan, tak ada diantara wanita demikian hebat berkorban untuk ayah, ibu dan saudara, selain dirimu, engkau hadir sebagai penyelamat keluarga, penyelamat banyak musibah, namun  nanti Ketika aku kalah dan matoi di medan perang,  engkau sendiri, menyendiri dalam liuknya kehidupan, semoga kenangan dengan.  diriku bisa sebagai penawar rasa kegalauan hidup, walau tak seutuhnya, sebab dunia memang belum berpihak padamu, pada ikatan ini, tetapi cinta kita abadi, sayang.

Karna menambahkan, Pun demikian, wajahmu tetap tampak meriah, dibalut pandangan mata yang sejuk, sesejuk kabut yang mulai menjadi titik-titik air diatas rerumputan di danau itu, tempat yang kerap aku impikan bersamamu, tempat yang kerap menjadi saksi, bahwa aku pernah bergandengan bersamamu , menyusuri jalan di pinggirannya bersama untuk memadu kasih,lalu tempat yang indah itu, juga seakan hadir dengan ribuan makna bahwa makan bersama, berduaan pulang dari satu tempat idaman di akhir tahun, adalah suasana dan kenangan yang sulit dilupakan, dan malah sering hadir mengusik lamunan kali ini.


Sayang, senyummu selalu menggoda, dengan bulu mata yang lentik tetap mempesona, walaupun kini aku jarang bisa bersamamu, namun pikiran dan bayanganmu selalu hadir di bagian pelupuk mataku yang terdalam, sayang engkau telah mencuri hatiku yang terdalam, aku bahagia bersamamu, dalam semua suasana, moga engkau selalu bahagia..

Tak terasa, Adipati Karna dan istrinya, tertidur pulas, mereka bertemu melanjutkan obrolannya dalam mimpi. Tak disangka hari telah pagi, mereka bergegas untuk untuk mempersiapkan perang, hari ke 16  perang   mahabarata, Adipati Karna dilantik menjadi senopati perang pun terompet perang ditiup, tanda perang dimulai, perang tanding pun tak terelakkan karna berhadap dengan Arjuna, pekik suara para pasukan pendukung terus berkobar,

Surtikanti mendengarkan dari balik tenda, suara semakin bergemuruh, mendekati  matahari condong ke barat dan mendekati sore hari, seorang prajurit datang membawa pesan, bahwa  karena telah gugur dimedan laga, .... Mayatnya ada di balik kreta itu, kata prajurit itu. Surtikanti menangis dan lemas , pingsan mendengar suami tercinta tewas ... kesedihan tidak hanya dirasakan oleh Surtikanti.. Duryodana juga kaget mendengarnya, dia sedih seklai, dia kehilangan teman yang baik, Duryodana berteriak , Aku ingin segera bertemu dia di Sorga, katanya, Menang perang tidak penting lagi, tanpa Karna di sampingku.

Surtikanti memandang matahari, yang kian ditutupi awan awan gelap, hujan rintik-rintik menyertai arwah karna menuju ke angkasab ingin Bersatu dengan ayah tercinta Dewa surya...... ******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun