Angin itu bergerak sepoi-sepoi sejuk, dibarengi dengan lebah bersiung diantara bunga indah , dari arah barat daya, hembusannya menya paku, yang duduk menghadap sekutum bunga Mentari, disana ada banyak hal tentang cerita, yang kualami dalam perjalanan hidup.Bunga tak henti-hentinya didatangi kumbang yang mendengung, mencari madu sambal bercumbu rayu.
Bungkul, taman Kota Pahlawan yang mempesona, Dia menjadi saksi banyak peradaban modern, yang terus menyesak budaya manusia. Disana kata bijak berdetang mengiris hati, "Tugas dari pendidikan modern bukanlah mereduksi hutan, tapi untuk mengairi gurun -gurun tandus yang terus memburu
Taman Bungkul itu selalu ramah menerima ku, seulas senyum indah dating dari pedagang kopi keliling, aku membelinya segelas, berdua dengan kekasihku, aku berjalan melirik lalu menatap kearah bintang gemintang di atas langit, disana aku menggapai sebuah kesadaran, bahwa hutan hijau di tengah kota, menjadi penting, dia merupakan pabrik oksigen, tempat mengadu, karena pohon dapat menyerap gas karbondioksida untuk menghasilkan kesejukan, dalam bentuk oksigen dan uap air yang terus berderu.Â
Disitu, engkau berkata lirih, untuk menunjukkan cinta dari sebuah hati yang patah, hati yang terus diamuk kebimbangan, sebab ' ranting dan pohon itu adalah cabang, cinta tak bisa bercabang, lalu "Cinta ibarat  pohon berdiri dan berkembang  di hutan belantara yang luas , tumbuh di bawah rimbunan pohon lain  besar tanpa sinar matahari.Namun dia terus bertahan, karena kehidupan baginya  tanpa cinta tak berdaya. Disitu takan ada benak berkaruÂ
Namun demikian, derajat perkembangannya jauh lebih lengkap nan sempurna  bila mendapat  sinar matahari yang penuh. Matahari dibutuhkan oleh pohon, matahari tetap setia menyinari  pohon itulah sketasa gamabran dari hubungan  cinta yang dalam. Merah dan ungu mawar tumbuh, dibarengi  berhembus angin menyebarkan aromanya , lalu seluruh kumbang menghampirinya  yang menjadi ekosistem beradu harmonis di belantara hutan, akan mempesona langit biru.
Di taman ini, cintaku teruji, dan juga berpisah  dan  pergi dari tempat ini, setelah pergi dari Kembali sendiri,  aku bercengkrama kini sendiri . Aku mencintaimu, bukan hanya karena kamu memiliki identiatas lengkap  dengan segala indicator yang menjadi parameter pendampingku, namun  karena aku sadar benar, setelah denganmu akan menjadi lebih baik Ketika bersamamu.
Aku ucapkan sebait kalimat, "Cinta sejati bukanlah bagaimana kamu memaafkan, tetapi bagaimana kamu melupakan, bukan apa yang kamu lihat tetapi apa yang kamu rasakan, bukan bagaimana kamu mendengarkan tetapi bagaimana kamu mengerti, dan bukan bagaimana kamu melepaskan tetapi bagaimana kamu bertahan dengan hati yang tidak terburu-buru.
Aku menyeruput segelas kopi bersama, saying inilah sakasi kehidupan bahwa diantara ramuan kopi ini , kita Bersatu dalam rasa,  kataku pelan, Tembok yang kerap kita dirikan untuk membatasi diri kita, sejatinya karena masih diliputi ego, sejatinya kita belum bersenyawa, kita masih membawa sifat asli kita, namun belum lebur menjadi senyawa baru. Cintamu membuat aku berubah dan semakin membuat hatiku luluh, karena  aku telah sangat percaya, bahwa engkau mencintai diriku  diriku apa adanya, dan bukan karena hal lain, yang membuat hatiku terharu.Â
Taman Bungkul itu, seolah membisikan kata bijak ke dalam suksma , keindahan cinta lahir dari nurani yang sangat dalam, Esok, matahari mungkin masih bersinar sampai di pucuk daun . Namun aku akan berdoa untukmu, yang lagi bersua entah di sudut mana, moga tak ada nestapa melilitmu, Aku iringi nafas ini untuk melingkupi semesta dengan cinta yang tulus . Hanya berada dalam ruang bahagia untuk mu, I Love you****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H