Preside Jokowi dihujani kritik,  kini semakin sering ketika, dana pembangunan  kereta api cepat Bandung Jakarta,  dapat di alokasikan dari APBN, yang dahulunya, diingkari oleh Presiden. Itu juga sebuah strategi dengan banyak analisis kebijakan.
Di sini Presiden seakan menerapkan satu kriteria, yakni  Kaldor Hicks Criterion', apa itu?  Suatu kriteria keadilan yang  menyatakan bahwa  suatu kondisi sosial lebih baik  dari pada  yang lain jika ada efisiensi bersih (total manfaat dikurangi total biaya)  dan jika  mereka yang memperoleh keuntungan dapat memberi kompensasi bagi pihak yang kehilangan. Atas dasar itu mungkin, kritik kita haruslah berjarak karena sektor dari kereta api itu tak mampu memberikan keuntungan secara langsung , namun efek jalur itu meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar yang padat, maka ekonomi hidup  dan tentu pajak akan  bisa meningkat.
Lalu di sana kita bisa mengurai bahwa yang dibutuhkan Jokowi adalah  sebuah respon kognitif yang dapat memberikan efek  membangun multi literasi masyarakat. Meminjam tesis tentang respon kognitif maka psikologi kognitif modern, yakni  salah satu komponen memterjadikan  sikap yang dikonseptuliasasikan sebagai pengetahuan faktual seseorang terhadap  sebuah situasi, objek, atau orang lain.
Sampai di terminal ini, berlaku adagium, tentang terapi  kognitif, yakni sebuah strategi  untuk meringankan tekanan psikologis dengan memperbaiki konsepsi yang salah dan sinyal diri. Apalagi di saat pasca di landa pandemi Covid-19, proses koreksi  itu, bukan pekerjaan mudah,  sebab bila kita abai maka kita dapat meningkatkan  reaksi berlebihan atau sebaliknya.
Pengalihan itu karena  pandemi, meruntuhkan sektor usaha swasta. Barang kalai dari pada mangkrak, lebih baik dicari solusi.  Pada diskursus ini, mungkin Jokowi ingin menunjukkan bahwa kebutuhan rakyat bisa hadir dengan sebuah teori bahwa, Apa yang rasional itu aktual, dan apa yang aktual itu rasional.
Unsur-unsur pembangun  sikap ini, hilirisasinya adalah terbentuknya  "cognitive schemata" yang berfungsi mengontrol dan memandu aneka proses  informasi yang berhubungan  dengan perhatian, interpretasi, dan pembentukan kembali stimulus. Kinerja presiden Jokowi , membentuk pola cognitive schemata pada sang rakyat, untuk melahirkan respons, dan melahirkan neurologi perilaku sosial, kini semakin menguat, yang pada akhirnya semua menyadari apapun yang dilakukan presiden demi untuk rakyat banyak.
Respon kognitif itu perlahan tapi pasti, yang meliputi berbagai macam pemikiran yang mendukung pesan (support arguments) maupun pemikiran yang menolak pesan (counterarguments). Keduanya kini semakin jelas. Presiden melakukan strategi persuasi  lewat kerja nyata  dan tulus. Persuasi dikatakan terjadi manakala pengirim pesan sang presiden  mendorong penerima pesan untuk menghasilkan respons kognitif yang baik terhadap pengirim pesan.
Sebagian besar rakyat bangga memiliki Presiden Jokowi.  Sosoknya  yang pintar, hebat, tegas, jenius, anti korupsi, merakyat berani mengambil risiko dalam bertindak selalu diperhitungkan secara matang. Namun tak banyak orang bisa menyelami sedalam itu, karena budaya berpikir yang berbeda. Dalil pentingnya adalah kepemimpinan adalah karakter. Orang dengan karakter yang hebat, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertambahan waktu, secara alami, tak bisa disangkal menjadi para pemimpin.
Hal itu dibuktikan dengan karakter Jokowi yang kuat,  kalau punya kehendak A maka A itu harus terlaksana dan selalu terwujud, dalam mengambil suatu kebijakan selalu dijalankan, dengan keteguhan  prinsip. Kerjanya yang selama 7 tahun ini, menunjukkan dalil bahwa, Kesabaran, keteguhan hati, dan keringat menghasilkan senyawa baru yang  tak terkalahkan bagi kesuksesannya.
Sekali lagi pencapaian ini tertangkap jelas pada  mereka yang memiliki multiliterasi. Sisi literasi inilah agaknya  perlu rangkai  proses yang tidak tunggal untuk  dibangun.
Namun ibarat mendirikan  sebuah negara bahwa, kembali saya kutipkan sebuah pesan  untuk memaknai pemikiran Hegel, sesudah  negara didirikan dan bangkit, tidak akan ada lagi pahlawan. Mereka datang ke tempat kejadian hanya dalam kondisi yang tidak beradab. Itu pun masih dimaafkan karena proses kesantunan politik yang dianut. Namun Hegel  menyatakan sesuatu seakan menjawab pesan itu, pesan yang menggurat bahwa  Manusia memiliki banyak dimensi.  Setinggi pikiran berdiri di atas alam, demikian pula keadaan berdiri di atas kehidupan fisik. Karena itu manusia harus memuliakan negara sebagai dewa sekular. Pawai Tuhan di dunia, itulah Negara. Salam rahayu******