Belakangan ini, hari -hari berganti kadang sering tak ramah, sebab banyak permasalahan hidup muncul. Pandemi covid-19, membuat banyak orang merana. Pekerja banyak kehilangan job, sektor pariwisata ambruk. Pengangguran pun meningkat. Hotel banyak kelimpungan tak terurus. Ekonomi masih terseok-seok. Kondisi itu kentara di salah satu Desa, penyokong pariwisata, yang saya lewati, ketika pulang kampung.
Setahun sudah... masa sulit seakan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Belum  bangkit, mau bangkit, beredar kabar varian Virus COVID-19 baru muncul, maka masyarakat terus dibayangi 'kecemasan', kapan badai pasti berlalu? Dibingkai itu, seakan ada pesan, yakni "ada tantangan yang harus dihadapi. Ada perjuangan yang harus dimenangkan. Itulah hidup."
Dalam pandemi ini, elemen berbangsa, yang telah mendapat jaminan negara (PNS, TNI Polri, DPRD, DPR, dan pegawai BUMN), merasa aman, karena negara masih bisa menggajinya, walaupun dari pinjaman luar negeri, sehingga utang kian menumpuk.Â
Itu sebabnya, mind set orang berubah, menjadi PNS (ASN),cita-cita yang tak kendor, masih menduduki skala prioritas utama, walau dengan berbagai cara. Harapannya bahwa seleksi masuk menjadi ASN dan Pegawai BUMN, itu murni (memang karena kompetensi dan pintar), bukan karena kasak-kusuk. Apakah harapan itu, menggantang asap mengukir langit. Entahlah?
Lalu, insentif pemerintah dalam bentuk BLT, seakan menjadi oase di gurun pasir gersang nan panas, namun kerap kehadirannya membuat wajah tersenyum (bagi yang mendapatkan) dan meringis bagi yang tak dapat. Walaupun ada kriteria, seperti 14 kriteria BLT DD, sebagai patokan namun masih ada saja terlupakan, Â karena pandemi, kerap serba tragis, tragis kaya, tragis menjadi miskin, tragis sehat, lalu mendadak sakit, dan mati.
Di lapangan, menurut survey (ketika saya menjadi tim survey salah satu kandidat di Bali) banyak yang semestinya mendapat BLT, namun tidak terima atau salah sasaran). Bupati Klungkung pernah mengecek, dan ternyata salah sasaran, sehingga Bupati I Nyoman Suwirta membatalkannya BLT di wilayahnya yang ketika dicek ke lapangan ternyata dari keluarga mampu. Sehingga Bupati mewanti-wanti berpesan  kepada aparat desa lebih teliti dan hati hati dalam menentukan penerima BLT (Bali post, 14 -8-2020).Â
Tentu dari aspek ini BLT masih menyisakan sisi gelap, yang dekat dengan para elit di tingkat desa, lebih mudah, mulus, apa lagi ada hubungan keluarga, pasti makyus. Tudingan semacam itu, biasanya kerap dilontarkan pada aparatur di tingkat Desa, kades, kadus, RT dan RW.
Memang, aparatur desa itu, kerap menjadi terdakwa, 'sudah capek ngurusin, dapat omelan, persis seperti "pepatah Bali " Â negen bebek muani (memikul itik jantan) " ribut melulu, tanpa menghasilkan telor.
Ada WA kesasar ke saya. Saya tertawa membaca, tulisan kesasar itu, yang berbunyi, mereka yang baik-baik sama "kadus pasti dapat' dan yang bertentangan (oposisi) 'siap-siap tidak dientrikan datanya' artinya ketika mendengar ada pembagian BLT, maka mereka akan berkata " Bantuan lewat Terus, artinya dilewati terus , alias siap bengong melihat lembar-lembar merah di terima orang lain. Pantas bengong , Wong datanya tidak dimasukkan?
Bagi kebagian BLT memuji pemerintah, dan bagi yang ga dapat banyak muntahan keluar yang ujungnya menyalahkan aparat lah, atau negara lah, sampai presiden Jokowi ikut dibawa-bawa.
BLT tetap menjadi sebuah kebijakan yang perlu dievaluasi, perlu kerja sama semua pihak, agar bisa besaran nya ditingkatkan dan bisa diberikan tiap bulan (wah... usul yang mantap banget, dan banyak yang kayaknya setuju. Imbuhannya adalah dari pada di korupsi oleh pejabat). Namun, perlu diawasi penggunaan untuk apa saja, yang ada untuk usaha dan lain-lain. Atau tidak berakhir di meja judi, miras atau di cafe remang-remang?