Ketika kini heboh tentang kaum millennial, yang salah jalan, mengambil pilihan hidup menjadi teroris. Saya jadi rindu kepada guru-guru saya masa kecil.
Mereka sepenuh hati menuntun, membentuk kami, dalam ketiadaan teknologi. Mengajar di depan kelas memakai kapur tulis, , kadang beliau menutup hidung dan mulutnya karena debu kapur tulis berhamburan, sambil bersin. Ibu alergi debu, katanya pelan, apakah mereka surut mengajar, Oh.... Tidak mereka tetap mengajar.
Saya ingat kalau ada waktu, Â kami diajak ke pantai , menyaksikan keindahan pantai, sebagai tempat belajar dan kegiatan pramuka, menarik memang.
 Saya pun berusaha menemui mereka, tentu mereka sudah pada renta, dan sebagian besar sudah almarhum, Di bali mereka yang  meninggal  disebut "sudah  menjadi Hyangdewa (dewahyang)  atau  pitara'.Artinya sebagian guru-guru saya kini sudah berstana di alam lain, dan bisa hadir ke keluarga , simpang di kemulan atau rong dua di pemerjan sebagai Dewahyang atau pitara  yang dimaksud.Â
Guru saya itu sudah tua, beliau  hanya tidur di pelataran rumahnya, dia tak kuat duduk lama-lama, dia ringkih, usianya sudah di atas 80 tahunan,. Namun dia sendiri, ditinggal lama oleh suaminya. Kini, dia di rawat oleh seorang menantunya.Â
Dirawat dengan kasih sayang, dilayani dengan penuh perhatian. Pemandangan yang luar biasa, ketika saya datang dia menyapa, dia masih ingat wajah dan rambut saya yang lurus.Â
"Duduklah di samping ku, anakku, sehari-hari aku begini, telentang, kalau mau bangun  Ibu harus dibantu, dia menujuk ke arah  menantunya.
Dia setia mengurus ku, dia anak baik tak pernah mengeluh, walau ibu, sering rewel, karena sakit tua ini. Dalam kondisi seperti itu.Â
Ada yang mendengarkan ceritanya saja dia sangat bahagia, sama seperti orang tua yang lain, yang dibutuhkan adalah perhatian kita, walau hanya sekedar sebagai pendengar.Â
Sebab banyak orang tua tidak membutuhkan banyak hal, namun mereka  kadang disia-siakan, karena sering dianggap cerewet.
Anakku, katanya lagi, namun dia melakukannya dengan ikhlas, aku bersyukur punya dia, ini mungkin karma baik ku, katanya , aku menganggap semuanya seperti anak-anakku, aku tidak pilih kasih, sama seperti melihat kamu, katanya menunjuk ke arah saya.Â
Aku mendidik anak-anak tak membedakannya, kalau salah ya aku keras. Kamu tahu khan? Â tanya dia menatap saya.
Ya... ibu, saya  pernah engkau pukul dengan lidi dari  bambu, dan terasa sakit sekali dan aku masih ingat sampai sekarang, ya kamu salah waktu itu, engkau membikin onar ribut, ketika aku menjelaskan di depan. Saya  tersenyum , untung ibu keras kepadaku sehingga aku jadi disiplin, ibu.
saya diajarkan dari kelas I Â SD, sampai kelas 6, Â dan penuh dengan semangat pengabdian, dia masih bisa berbicara walaupun sudah sangat renta, dia memperhatikan anak-anak didiknya satu persatu.
Sebab kami beberapa orang sekelas pernah diajarkannya ke tika SD, dia masih ingat benar, bahwa saya waktu itu masih kurus dan paling pendek diantara teman-teman saya.
Dia tersenyum, Ibu guru,  kata saya  memberi salam, saya  datang, kami baru pulang dari perjalanan jauh. Kami datang untuk menjenguk mu , kami rindu pada nasihatmu, kini kami sudah besar dan sudah menerapkan ilmu-ilmu yang engkau berikan, kata saya  di hadapannya.Â
Dia bangun, dan memegang tanganku erat-erat. Oh... kamu, sambil mengangguk, terima kasih engkau datang juga. Ibu rindu sama kalian, mengunjungi ku berarti memberikan aku kebahagiaan, katanya pelan.
Ibu, kami rindu saat ini, akan nasihat nasihat ibu, walaupun engkau didik kami dengan kesederhanaan ruangan dan sumber belajar, namun kami sangat bersemangat, kami menatap masa depan dengan bangga. Guru,
Namun kini, betapa sulit kami mengubah para anak didik kami, mereka hanya takut ketika saya dilihatnya, sesungguhnya hati anak didik kami demikian kering, saya tidak tahu , zaman mengubah mereka,  tempat dimana-mana  nampak sama, teknologi  informasi membuat zaman berubah.
Guruku menarik napas pelan dan dalam, dia berusaha berkata, dan dia berucap " anakku, dunia semakin maju, anak-anak tidak hanya guru di sekolah yang membelajarkan mereka namun banyak anakku, dia bisa mengambil dari berbagai sumber.
Itulah yang tak ada pada zamanmu dahulu, kalian hanya melihat aku, kalian hanya percaya aku, tak ada yang lain, kini itu tidak terjadi,  dunia luar begitu banyak bisa diketahui, beragam pesona, murid kini bisa mencari guru yang dia suka  tanpa batas wilayah.
Ketahui lah anakku, walaupun zaman telah berkembang jauh, namun intinya hanya satu, bahwa, Murid-murid adalah  Perwujudan kasih sayang. ! Guru dan pelaku pendidikan!Â
Saat ini, orang-orang belum memahami Ketuhanan, mereka belum memahami makna Tuhan dan menyia-nyiakan tubuh, waktu, dan semua hal berharga dalam hidup mereka.Â
Oh.... Bayangan benakku melayang pada kejadian belakangan ini kaum millennial lebih suka  mengikuti jalan sesat, satu diantaranya adalah mau menjadi pelaku bom bunuh diri.
Anakku, Nilai-nilai kemanusiaan tidak bergantung pada pendidikan saja. Mereka lebih bergantung pada budaya. Apa yang kalian  maksud dengan budaya? Tanyanya , pertanyaan yang tak perlu kami jawab.
Namun dia berucap lirih, Â Budaya berarti melepaskan perilaku buruk, perilaku buruk dan perbuatan buruk, dan menumbuhkan pemikiran yang baik dan menumbuhkan sentimen baik yang mengarah pada tindakan baik. Hanya itu anakku. Kami diam betapa dalam nasihatnya.
Ketahuilah, Keadaan seluruh dunia bergantung pada aktivitas manusia. Ketika tindakan rakyatnya mulia, negaranya sama-sama mulia.Â
Perilaku dan perilaku masyarakat bergantung pada pemikiran mereka. Pikiran bergantung pada pikiran. Pikiran yang baik adalah dasar dari nilai-nilai kemanusiaan.
Perlu engkau sadari Karena nilai-nilai kemanusiaan tidak dipraktekan, dunia berantakan. Kepala dan jantung adalah dua organ penting dalam setiap manusia. Pikiran yang muncul di kepala bersifat duniawi dan berubah-ubah.Â
Mereka dipengaruhi oleh aktivitas eksternal. Membaca, menulis, makan dan menghasilkan semua adalah kegiatan lahiriah. Mereka adalah produk dari kepala. Oh... guru saya  masih sangat lancar bercerita tentang nilai-nilai kebenaran.
Sambil mengatur napas, dia berucap lagi, Anakku, Semua perasaan sakral muncul dari hati. Kualitas sakral seperti kasih sayang, cinta, simpati, kesabaran dan kebenaran memancar dari hati. Mereka semua disebut kualitas batiniah.
Dunia tidak lain adalah kombinasi dari kecenderungan eksternal dan internal. Sama seperti anak pohon tumbuh menjadi pohon besar yang memberi Anda bunga dan buah-buahan, demikian pula, pikiran yang sakral menuntun pada tindakan yang menghasilkan buah dari semua kebaikan.
Anakku, ketahuilah Manusia adalah kombinasi dari tiga entitas: tubuh, pikiran dan atma (roh). Yang pertama adalah tubuh. Itu adalah instrumen tindakan. Pikiran berpikir.Â
Hati nurani adalah Atma, atau Roh yang ada sebagai kesadaran. Jadi kehidupan manusia adalah kombinasi dari ketiga aspek ini: tindakan, pemikiran, dan kesadaran.
Udara siang itu mendesir, membawa kesejukan, lalu guru saya berkata lagi, " Anakku, Jika tubuh berfungsi secara mandiri tanpa berkonsultasi dengan pikiran dan Jiwa, aktivitasnya akan menjadi aktivitas hewan.
Jika pikiran bertindak sendiri-sendiri tanpa berkoordinasi dengan tubuh dan Roh, aktivitas tersebut kemungkinan besar adalah setan. Jika Roh bertindak sendiri-sendiri, tindakannya akan melampaui tubuh dan pikiran.
Kami bahagia , kami semua  mencium tangannya yang mulai tremor karena sudah tua, beliau tampak bersemangat, karena kedatangan kami, dan masih mau mendengarkan kisahnya.Â
Saya memberikan salam lalu  memeluknya dengan hangat,  tampak air matanya menetes bahagia. Semoga ada  lagi waktu  untuk kami bertemu dengannya*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H