Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY, AHY, dan Partai Demokrat yang Terbelah

6 Maret 2021   21:47 Diperbarui: 7 Maret 2021   23:40 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, sekitar tahun 2001,   kakak saya berapi-api menjelaskan bahwa dia bertemu dengan SBY, sebelum jadi presiden dan dia sangat kagum.  Kakak saya ikut dalam deklarasi partai Demokrat di beberapa kabupaten di Bali. Dia selalu aktif dan di manapun  ada deklarasi partai  itu, dia hadir bersama istrinya, dia menutup dagangannya, dan tidak pergi mencari kelapa (karena dia pengusaha kelapa), semangatnya membara untuk Partai Demokrat dan karena ada SBY.

Kakak saya terpesona  dengan cara berbicara SBY, yang menguraikan dengan jelas dan bernas  visi misi partai Demokrat ketika itu. Kakak saya itu memang terobsesi dengan partai demokrat di Amerika serikat, yang progresif maju, dibandingkan dengan partai republik yang bersifat 'konservatif. Kakak saya tentu bosen dengan orde baru di  awal-awal masa reformasi yang belum mapan berdemokrasi.

Namun kakak saya, kemudian surut ketika dia memang tak menjadi kandidat di legislatif di kabupaten, perlahan namun pasti  semangatnya redup, hanya mengikuti  berita saja, apa lagi teman-teman seperjuangannya ketika duduk di legislatif, bertemu kerap  menghindar dan tak bertegur sapa,  ya sudah. Politik memang  kejam, yang utama adalah kepentingan, lebih spesifik  kepentingan untuk kekuasaaan , jabatan, dan terakhir bisa jadi uang.

 Oleh karena berpolitik bukan menyampaikan aspirasi masyarakat, atau memperjuangkan idealisme, namun lebih banyak untuk mencari pekerjaan, alias mencari penghasilan. Politik menjadi tanpa prinsip, meminjam  kata-kata  Mahatma Gandhi. Lengkap sudah cermin politik di negeri ini

Namun kini ketika hiruk pikuk  melanda Partai Demokrat, saya ingat pesan kakak  saya, bahwa partai politik dapat di ibaratkan mahluk  hidup. Artinya  dia lahir, hidup, kemudian kalau tidak dipelihara dengan baik dia juga bisa mati. Atas dasar itu KLB di partai Demokrat beberapa hari ini, adalah sebuah langkah dari sebagian kadernya, sebagai bentuk penyelamatan, karena partai tumbuh dan dirawat sesuai dengan SOP mahluk hidup yang sehat, banyak ranting dan tentu cabang yang tidak terawat sehingga layu, kalau tidak menghasilkan buah manis ditebas bukan dipulihkan.

Sebagai analogi sel, partai Demokrat sedang mengalami pembelahan sel, proses ini  merupakan proses ketika sel membelah diri menjadi dua atau lebih. Partai demokrat menjadi terbelah  menjadi  dua,yakni   Versi AHY dengan keluarga CIKeas SBY-nya, dan Versi  Moeldoko  (Hasil KLB Deli Serdang). Versi AHY juga bisa dibilang mitosis, mirip sama seperti kehendak Ayahnya SBY. Sedang Versi Moeldoko adalah Miosis tidak akan ientik dengan kehendak Demokrat versi Cikeas, sebuah keturunan baru yang lebih progresif terjadi.

Pembelahan  versi Moeldoko bisa jadi  lebih adaptif, karena terbentuk bukan dengan inti lama, namun inti yang benar-benar baru. Moeldoko diharapkan bisa ke arah itu. selain itu,  bila AHY dan SBY tetap pada  ngotot dengan paradigma lama-nya , maka akan bisa tereduksi, karena energinya habis untuk melakukan kendali pada  dirinya dan diri elemen-elemen penyusunnya, terurai menjadi kompoen-komponen yang lebih kecil, lalu terbang menghilang bersama  riuahnya persaingan politik nasional.

Analisis  inti  sel yang diturunkan oleh SBY ke AHY itu, sesungguhnya tak mengalami perubahan dan bia jadi tidak adaptif  terhadap lingkungan, dan bersifat kaku, sel yang tidak adaptif biasanya akan cepat punah, dan resesip. Aura itu sangat kentara ketika SBY mengeluarkan pernyataan mengejutkan, paling tidak bagi diri penulis. 

"SBY  menyatakan tindakan Moeldoko tidak terpuji dan jauh dari sikap ksatria. Sikap tersebut hanya mendatangkan rasa malu bagi perwira yang pernah menjadi prajurit TNI. Bahkan, SBY juga merasa malu pernah memberikan sejumlah jabatan penting saat dirinya masih menjadi presiden"

Oh.... Pernyataan inilah yang membuat kakak  saya tak mengerti kenapa ya?  Pak SBY, Koq seperti ini pernyataannya, lalu pada aspek inilah SBY seakan memasuk zona yang menurut Piaget disebut sebagai zona phenomenistic causality ,  semakin hari dan semakin  kuat dalam kedirian SBY dalam menanggapi guncangan yang terjadi dalam  partai Demokrat.

Zona phenomenistic causality  itu pun nampak ketika   SBY mengabaikan bahwa "sebagai pensiunan Presiden dengan penduduk 270 jutaan ini, sesungguhnya sisa-sisa hidupnya  sangat manis dengan pernah menjadi presiden, kehormatan dan fasilitas kehidupan sudah tak perlu diragukan lagi. Kakak saya memang menyayangkan SBY,   seharusnya lengser keprabon madeg pandito, menjadi prinsip diharapkan ada padanya, sehingga   tak hirau lagi tentang duniawi, yang tinggal sebentar karena sudah tua , tetapi entahlah Pak  SBY... yang paling tahu, dugaan mungkin  dia ingin  mau lebih lama mencengkeram kekuasaan. Oleh karena kekuasaan sejatinya  sangat menggiurkan di dunia ini

 Saya ingat kata-kata Abraham Lincoln" Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan."  Dan kekuasaan SBY itu akhirnya nampak juga seperti apa mencengkeram diri dan keluarganya, dan ini nampaknya menjadi sebuah petaka.

 Petaka itu karena  SBY dengan AHY itu , Phenomenistic causality  yang merupakan teori Piaget, itu semakin menunjukkan bahwa sesorang benar-benar merajut kausalitas antar peristiwa, ditarik hanya atas dasar kedekatan spasial atau temporal. Kedekatan sang Ketua Umum,karena sang anak membuat dirinya lepas kendali dalam proses berpikir, seperti rengekan anak-anak semata, dengan melempar pluru kesana kemari, kelihatan kurang dewasa dalam berpolitik.

 SBY dengan AHY , Nampak lupa dengan pesan  Erich Fromm filsuf berkebangsaan Jerman-  dalam memimpin Partai Demokrat saat ini, "Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka. Dan , masalahnya hanya itu, kemampuan elite partai dimana pun termasuk di demokrat, ketika lupa membuat yang dipimpin menjadi partner, maka  siap-siap ditinggalkan oleh pengikutnya.

Teriakan AHY dan SBY dengan pendukungnya, selalu mengatakan KLB Deli serdang adalah  KLB abal-abal, dan inkonstusional, karena melanggar AD/ART, namun banyak yang melihat bahwa  AD/ART yang diusungnya,  memang telah dikemas dengan kekuasaan sendiri untuk  tidak memberikan peluang yang bersifat demokratis, sehingga mudah mengecap yang berseberangan "salah" Ketika ini terjadi maka Plato, murid Socrates, seakan menjadi inspirasi baru, "yaitu Jika Anda harus melanggar hukum, lakukanlah untuk merampas kekuasaan yang korup; untuk kasus-kasus lain pelajarilah lebih dulu"

Kekuasaan   selalu memberikan kenikmatan, yang sejatinya semu, tidak langgeng, hidup manusia hanya sebentar,  apa lagi ucapan SbY memang perlu direnungkan, " rasa malu, dan rasa bersalah saya, yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya mohon ampun ke hadirat Allah SWT,"  Ada semacam penyesalan, karena tidak membalas budi atas kebaikan yang telah diberikan kepada Jenderal  Moeldoko, sungguh miris kakak saya mendengarkannya.

 Untuk kasus ini, saya jadi teringat kata penyair WS Rendra  tentang politik  dan kekuasaan "Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa. Penyesalan SBY itu nampak akan menguap karena politik memang demikian adanya.

Cahaya masih ada, dalam kemelut ini, karena  banyak ditampilkan hal-hal menarik, sehingga dapat meningkatkan literasi politik  bagi rakyat Indonesia. Seperti ,  kerawanan politik dinasti, yang mengutamakan kekeluargaan, dan bekerja tanpa usaha, berada di puncak gunung, tanpa pernah mengeluarkan keringat  dalam mendaki. Prisip -prinsip itu,  Sesungguhnya di tolak oleh atmosfer pemikiran "publik"

Maka kakak saya berkata lagi , karena dia terinspirasi kata- kata Mahatma  Gandhi, "Kekuatan ada dua macam. Yang satu diperoleh karena takut akan hukuman dan yang lain dengan tindakan cinta. Kekuatan berdasarkan cinta seribu kali lebih efektif dan permanen daripada yang berasal dari rasa takut akan hukuman. Mengampuni berarti tidak melupakan. Keutamaan nya terletak pada mencintai terlepas dari pengetahuan bahwa seseorang yang harus dicintai bukanlah teman. Tidak ada keutamaan mencintai musuh ketika kamu melupakannya dan menganggapnya sebagai teman.

Selama ini memang sangat santer terungkap bahwa ada ketimpangan dalam beberapa hal, yakni

(1) AHY  belum optimal melaksanakan persamaan dan kesamaan, sudahkah melakukan pada aspek sama pada semua kader yang berkeringat, atau paling tidak yang membesarkan partai Demokrat? Artinya, seorang pemimpin  harus menjamin setiap kader  mendapatkan hak yang sama dalam hukum, hak yang sama untuk hidup dan beraktivitas sesuai dengan kewajibannya (swadharmanya,) termasuk juga hak-hak istimewa yang mungkin didapatkan karena kecakapannya. Ketika pak SBY mengangkat AHY, walaupun dibilang aklamasi, namun kepemimpinannya dan SBY hanya ada dikata kader, bukan ada di hati kadernya, kalau dan diawali biasa-biasa, saja, namun semakin ke belakang semakin kabur , kekesalan dan arahnya menjadi elitis, kader yang berkeringat, justru malah dibuang jauh-jauh.

(b) AHY belum sepenuhnya mampu membedakan, sosok  mana kawan dan mana lawan, kawan yang benar-benar sungguh-sungguh bisa membawa partai menjadi lebih baik, bisa jadi  teman saudara bahkan ayah sendiri, belum tentu bisa melakukan yang  baik, karena sudut pemikiran dan pengalaman berbeda. Ego dan karakter berbeda. Saya berharap AHY yang masih muda bisa belajar banyak, dan demokrat, partai ini bisa menjadi partai modern sebagai tempat menempa dan membangun jiwa kepemimpinan generasi muda, sebab selama ini  banyak jalur pimpinan daerah harus  dihadirkan oleh partai, dan partai demokrat  salah satu menjadi banyak harapan generasi muda yang ingin menjadi pimpinan daerah  maupun pusat.

Ditambah lagi  banyak kader partai demokrat  menjadi pemimpin daerah, namun kepemimpinan harus kuat dan bisa membedakan lawan dan kawan ( Bedha), yang sejatinya adalah bermakna bahwa pemimpin partai  harus bisa membedakan kawan dan lawan, teman dan musuh, untuk mengetahui hal-hal yang dapat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara.

(c)  AHY sebagai ketua umum, harus banyak belajar dari para orang tua di partai itu, dan paling sensitif adalah mengenai  dana (uang), banyak  isu  yang diteriakkan dugaan adanya mahar  dalam sistem perekrutan untuk mendapat rekomendasi partai.

Kondisi ini haruslah direduksi, sebab seorang pemimpin  harus mampu mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memberikan penghargaan kepada yang berjasa, memberikan sedekah bagi rakyat miskin, membantu kader-kader yang memiliki loyalitas yang tinggi bagi partai, bila mana perlu pimpinan partai harus rela berkorban agar calon-calon bisa maju, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, maka saya yakin partai ini akan banyak di lirik orang. Sudahkah itu?  tentu tidak. Dana dari mantan presiden bukan sedikit, banyak dan pasti kaya.  

(d) AHY dalam memberikan sanksi memang belum memperhatikan atau belum  menunjukkan  fakta-fakta di lapangan, seperti pemecatan yang dilakukan    kepada para senior Partai Demokrat.  Sejujurnya,  seorang pemimpin adalah penegak hukum yang memiliki ketegasan dalam memberikan hukuman (punishment) kepada orang yang bersalah tanpa kecuali. Untuk menjalankan keempat hal ini tentu seorang pemimpin harus memiliki karakter kuat sehingga mampu melaksanakan tugas tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan emosional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip  kebenaran.

Dalam ketegangan dan keriuhan setelah KLB Partai Demokrat, ada beberapa saran-saran  sebagai solusi saat ini

Pertama, perlu diadakan  fusi  kekuatan  Faksi  KLB  Jenderal  Moeldoko dan AHY, kemudian satukan misi visi, dan saling membuang  ego masing-masing, bahwa Partai Demokrat adalah milik bersama, dia aset bangsa yang perlu diselamatkan. Semua harus siap belajar bahwa menjadi pemimpin tidaklah harus instan, sebab disini hanya perlu saling  memaafkan. AHY  adalah sosok muda, dan punya masa depan cerah , dalam perjalanannya hadirnya  badai seperti saat ini penting,  sebab  tidak ada pemimpin yang kuat  lahir dari  ketenangan, sama seperti mengharapkan nelayan yang ulung, tidak  akan dilahirkan dari samudera yang damai, selalu dari Samudra yang penuh badai.

Kedua, komunikasi menjadi kunci , agar tidak saling h menyalahkan, semua harus saling menahan diri, sebab partai Demokrat adalah wadah untuk generasi muda untuk menimba ilmu politik praktis, dan itu haru disadari baik oleh AHY maupun Pihak Moeldoko, semuanya adalah aset bangsa, yang tidak harus saling meniadakan. Pesan bijak para tetua menarik untuk diketahui, " Jika hidup bukan tentang kemanusiaan dan kehidupan harmoni, saya tidak tahu untuk apa hidup itu. Moga bermanfaat*****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun