Malam itu  udara dingin menyelimuti  pelataran padang tandus  Kuruksetra Duryadana terlentang, menahan sakit akibat pukulan  gada Bima, Diapun tampak  merenung sedih tanpa ada yang membantu, disitu, dalam kerumukan pahanya , dalam kesedihan yang panjang itu, dia menahan lapar dan aus sendiri, diantara derik jangkrik dan suara belalang malam darah dari paha yang remuk itu, menetes  membasahi pertiwi, pelan-pelan egonya menurun, Duryodana berkata lirih, Oh... kehidupan, kemewahan dan kasih kedua orang tuaku yang berlebihan padauk, membuat aku tumbuh menjadi sosok berhati batu, semua nasihat tak mempan meluluh latakkan pikiranku yang egois.  Aku menyesali semuanya, Tuhan telah memberikan tubuh padaku, namun aku telah sia-siakan.Â
Duryodana memasuki rasa penyesalan yang dalam, "Jangan pernah berduka  dari apa yang terjadi hari ini. Sebab  manusia memiliki keterbatasan dan tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian  hari."Â
Pesan bijaknya adalah , bila anda  jatuh, berdiri lagi. Bila  kalah,bangkit dan  mencoba lagi. Jika gagal,  bangun lagi . Begitulah perjuangan hidup sampai Tuhan berkehendak  sudah saatnya untuk dipanggil pulang. Seseorang yang mampu bangun dan bangkit sehabis jatuh merupakan  orang yang lebih kuat daripada seseorang yang tidak pernah merasakan jatuh sama sekali."
Duryodana tak mungkin lagibisa bergerak menggapai ambisinya, sebab badan  yang digunakan untuk menujang kehidupan telh hancur, kesia-siannya menjadi hari-hari menunggu ajal. Tiba, dewa maut pun menunggu sampai seluruh tubuhnya berhenti menghirup udara, sehingga tak lagi mampu menggerakkan mesin kehidupan dalam dirinya, perang itu telah usai, matahari akan terbit  menuaikan tugasnya menyinari alam semesta hari itu. Duryodana pun gugur hari itu . Kehidupan yang sia-sia menjadikannya tak bermakna bagi kemanusiaan. Moga bermanfaat******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H