Sebuah  cermin utuh  dari sebuah nilai  pendidikan seorang anak dapat diwedarkan dalam kisah  bayi mungil, Tetuko, yang setelah besar  disebut Gatot Kaca. Layaknya sebuah kaca, tokoh ini ingin mengajarkan kepada manusia dan dunia tentang nilai seorang pelajar ternyata  sangat tergantung pada pendidikan apa yang diberikan kepadanya begitu jualah yang akan diperlihatkan kepada orang lain, masyarakat dan negara.
Kisah kehidupan  Gatot Kaca ini sarat muatan pendidikan karakter, jalur kehidupan yang dilaluinya  menyelipkan  sebuah pesan moral,  bahwa nilai seorang pelajar  tidaklah terletak  pada kekuatan dan daya tarik jasmaninya, kekayaan, reputasinnya, kedudukan  dan kesarjanaannya.Â
Walaupun Gatot Kaca  memiliki semua itu termasuk ketampanan, dan keperkasaan sebagai seorang  pria, tetapi  nilai seorang pelajar seperti halnya Gatot Kaca itu  tergantung pada karakternya, pada kebajikan yang diserap dan diamalkannya, karena di hati Gatot Kaca itu,  karakter adalah kesucian yang sejati.Â
Dia sadar tanpa mengubah karakter, sekedar memadati otak dengan berbagai keterangan belaka hanya mengakibatkan kerusakan pada otak itu sendiri. Dan itu nyaris sempurna ditunjukkan oleh seoarang pribadi yang benama Gatot Kaca.
Dalam tradisi pendidikan  putra-putra  dari ksatria Pandawa  lebih banyak didasari oleh kewajiban  untuk selalu mengingat Tuhan dalam bentuk penghormatan pada Sri Krishna, yang diyakini sebagai wujud Awatara Duapara Yuga, yang berfungsi  sebagai  guru spiritual sampai saat ini dan nanti.Â
Dan tentu pendidikan yang ditempakan  pada mereka tidaklah sebagai proses mengisi kantong kosong, kemudian menuangkan  isinya keluar  dan mengosongkan kantong itu lagi, namun yang terpenting adalah hatilah yang harus dibersihkan, dikembangkan dan diterangi. Dalam kaitan itu  pendidikan adalah untuk hidup. Bukan untuk mata pencaharian.Â
Bila manusia tidak meresapkan pendidikan yang baik ke dalam hatinya, dan bila pendidikannya tidak dilatar belakangi dengan kebudayaan, ia akan lebih buruk dari pada orang yang tidak terpelajar. Kisah sejak lahir hingga gugurnya Gatot Kaca  sarat dengan nilai karakter yang perlu disimak dalam renungan ini.
***
Saat fajar menyingsing diufuk Timur, jagat semesta menampakkan  rona keindahan,  suara induk ayam terdengar mencarikan makanan anaknya, menandai kesibukan manusia akan dimulai. Â
Suasana ceria kala itu  seolah menjadi buram  di lingkungan  keluarga Pandawa, pasalnya  Bimasena masih diselimuti kekawatiran sejak tadi malam, istrinya belum juga melahirkan, penderitaan demi penderitan saat-saat melahirkan terus menerus dia saksikan tanpa bisa berbuat apa-apa untuk meringankannya.
Detakan jantungnya kian keras didadanya, rasa gelisah tampak jelas ketika Bimasena beranjak dari tempat duduknya dan  mondar mandir  di luar ruang persalinan dengan  pakaian kebesarannya yang mirip hanya pakaian "underwaer" kain hitam putih  ("bulet jengking"), terkesan sengaja menampakkan dadanya yang bidang dan berbulu. Â
Sang istri, Dewi Arimbi, seorang mantan raksasi yang sudah  tobat, dan jatuh cinta atas keperkasaan Bima dan  kembali kejalan kebenaran, menunggu detik-detik yang paling menentukan dalam melahirkan anaknya. Diah Dimbi, begitu dia sering dipanggil kini sedang bergulat dengan maut untuk melahirkan bayi hasil perkawinannya dengan Bimasena.
Saat yang ditunggu tibalah, hentakan desakan nafas Diah Dimbi, membuat prosesi kelahiran anaknya cepat, dan....seorang jabang bayi mungil keluar dan terbungkus dengan darah dan ari-ari, tangis sang bayipun meledak memenuhi ruangan persalinan.
Diah Dimbi tersenyum dan menititkkan air mata bahagia, karena fase-fase yang paling berat dalam hidupnya dapat  dilalui dengan aman. Selain itu hatinya juga sangat berbunga-bunga sekarang dia memiliki bayi manis dan  laki-laki yang mungil, kemudian proses semuanya berjalan dengan cepat. Bimasena berteriak gembira, sambil menari kesana kemari,  "Si Aku punya anak,  Aku akan beri nama " Tetuko" begitu dia berteriak sambil melangkah ke ruang persalinan.
Keceriaan  Bimasena  seolah tertelan badai, ketika tali pusar  si Jabang Tetuko tidak mampu  diputuskan, ketika itu kesedihan mulai menyeliputi keluarga Bimasena tokoh andal kesatria  Pandawa itu , kesedihan pun menyebar pada keluarga Panca Pandawa yang lain. Justru kekuatan tali pusar ini  yang kemudian mendatangkan  duka  bagi Si Jabang Tetuko itu kelak. Konon tidak satu pun senjata yang ada di dunia  yang mampu memutuskan tali 'placenta"nya. Akibatnya bayi ini untuk sekian lamanya harus selalu bergandengan dengan ari-arinya. Suatu keadaan yang memang tidak lazim dalam kelahiran manusia. Apa boleh buat itulah sebuah realitas yang memerlukan pemecahan.
 Khabar yang  menyedihkan itu terbetik juga pada Sri Krishna, dengan kemahatahuan Beliau, Sri Krishna mengatakan bahwa senjata apa pun di dunia ini tidak akan mampu memutuskan tali pusar ini, karena alat pemutusnya adalah  ada ditempat lain, yakni di Surga, alat  itu adalah  senjata Konta Wijaya danu yang dimiliki Dewa Indra. Senjata itu tidak bisa dibawa ke dunia tanpa seizin yang memiliki. Untuk mempercepat proses pemotongan tali pusar itu maka Si Jabang Tetuko pun harus dibawa ke Kahyangan. Dan untuk tugas ini Arjuna yang diminta untuk membawanya ke Surga.
 Sayang senjata sakti yang diharapkan  itu telah  dahulu dihadiahkan kepada Adipati Karna, yang telah lama mengimpikan senjata pemusnah itu, kerena tapa brata dan nazar suci yang dilakukan demikian hebat. Sekarang yang  tertinggal hanyalah sarungnya  saja, sebuah kondisi yang sangat dilematis.  Menghadapi situasi ini Arjuna dan  Para Dewa di Kahyangan cukup kelimpungan dibuatnya.
 Tindakan alternatif pun dilakukan, masih dalam kerangka try and error, maka  pemotongan tali pusar terpaksa hanya menggunakan  sarungnya saja, konon  senjata sakti itu tidak hanya pusakanya saja yang ampuh, tetapi juga sarungnya, untuk itu dicobakan  menggunakan sarungnya.  Walaupun hanya dengan sarungnya  saja  tali penghubung antara diri Tetuko dengan ari-arinya dapat diputuskan. Keajaiban  lain pun terjadi yaitu  sarung senjata Konta Wijaya danu itu masuk menyatu dengan perut si Jabang Bayi.  Dewa Indra yang memiliki senjata itu dan menyaksikan kejadian itu mengatakan kepada Arjuna  bahwa kondisi ini sangat berbahaya, nanti jika senjata itu dilepas dia akan mengejar sarungnya. Kejadian inilah yang menyebabkan kelak  Tetuko dewasa  yang bergelar pangeran Gatot Koca akan mati oleh senjata aslinya saat perang Bharatayuda digelar.  Dalam perang  besar itu bila senjata  konta wijaya danu  dilepas, dia akan terus memburu  sarungnya kemanapun sarung itu dibawa, sehingga tiada tempat bagi Gatot Kaca untuk bersembunyi dan menghindar dari bahaya.
 Menyadari kondisi seperti ini  Arjuna amat sedih dia pun sesampainya di dunia mayapada ini menyampaikan perihal itu dengan cara lain agar bayi Tetuko  ini dapat dibesarkan menjadi anak yang baik. Disinilah pesan agar pendidikan karakter diuncarkan baik oleh Krishna maupun Arjuna kepada Diah Dimbi, ibu Gatot Kaca itu.  Sejak dari awal cerita yang menyedihkan itu  telah diketahui oleh  Sri Krishna maupun Arjuna, karena peran ibu  yang merupakan  peran alamiah  dan tidak  dapat dihindari, tidak boleh diabaikan. Tentu amat disadari bahwa  selama berabad-abad kaum wanita telah menjadi kubu pertahanan  bagi kebudayaan bangsa dan penjaga  kekayaan  spiritual  negerinnya, dan jangan sampai terjadi kaum wanita cepat menyerah mengikuti budaya pesolek sebagaimana tampak dalam  cara hidup dan tingkah laku sosial  banyak wanita yang terpelajar. Atas saran dan nasehat Krisha itu,  Gatot Kaca tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berwibawa dan selalu hormat pada orang tua, memiliki kekuatan menghilang karena tekunnya belajar olah kanuragan.
Sampai pada suatu saat di Medan Kuruksetra, perang besar berkecamuk, Adipati Karna ditunjuk sebagai Senapati Kurawa, kondisi inilah yang menyebabkan Krishna memanggil Gatot Kaca untuk menjadi komandan perang menghadapi Adipati Karna. Sri Krishna  memanggil " Oh... anakku Gatot Kaca, kini  aku sebagai orang tua meminta bantuanmu untuk maju ke medan perang sebagai komandan menghadapi Raja Awangga, Adipati Karna, bersediahkah anakku?  Semua yang hadir dalam pertemuan itu kaget bercampur sedih, mengingat Gatot Kaca masih muda, namun harus mengemban tugas dan kewajiban yang sangat berat.
Gatot Kaca menjawab dengan tenangnya, " Oh ... Sri Krishna yang hamba anggap sebagai Guru, dan orang tua kami. Hamba sangat senang dan bersyukur bahwa paduka telah menugaskan hamba untuk menjadi benteng paduka dan orang tuang kami, hamba akan melaksanakan dengan sebaik-baiknnya, walaupun harus dengan pengorbanan jiwa raga. Â Semua yang hadir terkejut mendengar jawaban Gatot Kaca. Sri Krishna tersenyum manis, " Oh... anakku , Kami orang tuamu sangat senang mendengar keseriusanmu, kami semua sangat bangga punya anak seperti dirimu, walaupun tugas seberat apapun engkau tetap menerima dengan tenang. Â Engkau adalah mutiara hati kami engkau adalah jiwa raga kami"
Gatot Kaca membalas pujian yang ditujukan padanya "  Hamba rela berkorban apa saja demi keselamatan orang tua kami,  kami harus bisa menunjukkan terima kasih kepada mereka dan kemudian membulatkan tekad untuk mengabdi pada masyarakat. Kesejahteraan dan keselamatan tanah air haruslah merupakan tujuan utama bagi kami.  Paduka telah mengajarkan kepada kami bahwa kami harus insaf  bahwa makna pendidikan yang sebenarnnya adalah untuk memberikan kepuasan dan kesenangan pada orang tua dan untuk mengabdi negara. Dengan cara ini  akan membawa kemakmuran bagi tanah air " Semua yang hadir terkagum-kagum atas jawaban Gatot Kaca. Bima, sang ayah tetawa lebar, "Ah..ah.... siapa dulu ayahnnya?" Sri Krishna kemudian  mempersilahkan Gatot  Kaca untuk kembali ke kemah  untuk besok pagi siap bertempur menghadapi Karna.
Namun,  kesedihan hati  Arjuna  terus berkembang tiada hentinya  pasalnya Gatot  Kaca  besok  akan gugur di medan perang, Adipati Karna pasti melepaskan senjata Kunto wijoyo danu miliknya, karena tanpa senjata itu Gatot Kaca sulit dikalahkan. Jika senjata itu lepas berarti Arjuna akan selamat dari kematian dan kekalahan. Dan pada aspek ini kematian Gatot Kaca  dikorbankan demi hanya untuk menyelamatkan dirinya, itulah yang menyebabkan kesedihan Arjuna bertambah.
 Walaupun pada akhirnya peristiwa yang akan menimpa dirinya  telah diketahui oleh  Gatot Kaca sendiri namun dia tidak menyerah atau takut sedikitpun untuk menghadapi senjata maut yang terlanjur telah dimiliki oleh musuh bebuyutan pamannya. Panggilan untuk menghadang Karna  dalam perang besar itu  merupakan kehormatan bagi dirinya. Kegagahannya melaksanakan tugas berat mengundang decak kagum raja seluruh negeri, tugas  yang mulia itu tidak disia-siakan walaupun nyawa taruhannya itu adalah ciri pengorbanan pendidikan yang berkarakter yang telah diterima Gatot Kaca.
 Gatot Kaca  terus terbang dan menantang Adipati Karna, menyambut senjata sakti Konta Wijaya danu sebagai panggilan tugas  demi loyalitas terhadap guru, orang tua dan negara walaupun harus mengorbankan  jiwa raganya, tetapi Gatot Kaca ingat betul nasehat  Prabu  Krishna  kepada Arjuna sebelum perang besar dimulai, yaitu : "Tidak pernah ada saat dimana aku, engkau dan para raja ini tidak ada dan tidak akan ada  saat dimana kita berhenti ada, sekalipun sesudah ini"
Akhirnya Gatot Kaca gugur sebagai pahlawan Pandawa. Duka lara menyelimuti kubu Pandawa. Kematiannya tidaklah sia-sia karena  dia menyelamatkan Arjuna,  Sang Paman tercinta. Pengorbanannya memberikan kemenangan dan kejayaan Pandawa.
Pengorbanan Gatot Kaca menjadi cermin yang indah bagi para anak didik yang mengejar ilmu, kita harus memperoleh nama yang harum untuk diri ini, orang tua dan sekolah termasuk  kepeda mereka yang memberi pendidikan, yaitu dengan cara  sungguh-sungguh dalam belajar dan menolong orang lain.
Orang tua kita menanggung penderitaan besar dalam usaha mereka untuk membuat kita senang. Pertama-tama bayarlah kembali  hutang cinta kita kepada mereka, janganlah bertingkah laku  sedemikian rupa  sehingga mereka menyesal  telah memasukkan kita  ke sekolah. Semua hutang yang lain dapat dilunasi belakangan. Perlihatkanlah rasa terima kasih yang patut mereka peroleh, kembalikanlah pada mereka  kasih yang telah mereka curahkan secara berlimpah ke dalam hati kita. Hanya itu konklusi yang dapat disarikan  dari kisah Gatot Kaca ini, semoga pikiran baik datang dari segala arah.********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H