Sang istri, Dewi Arimbi, seorang mantan raksasi yang sudah  tobat, dan jatuh cinta atas keperkasaan Bima dan  kembali kejalan kebenaran, menunggu detik-detik yang paling menentukan dalam melahirkan anaknya. Diah Dimbi, begitu dia sering dipanggil kini sedang bergulat dengan maut untuk melahirkan bayi hasil perkawinannya dengan Bimasena.
Saat yang ditunggu tibalah, hentakan desakan nafas Diah Dimbi, membuat prosesi kelahiran anaknya cepat, dan....seorang jabang bayi mungil keluar dan terbungkus dengan darah dan ari-ari, tangis sang bayipun meledak memenuhi ruangan persalinan.
Diah Dimbi tersenyum dan menititkkan air mata bahagia, karena fase-fase yang paling berat dalam hidupnya dapat  dilalui dengan aman. Selain itu hatinya juga sangat berbunga-bunga sekarang dia memiliki bayi manis dan  laki-laki yang mungil, kemudian proses semuanya berjalan dengan cepat. Bimasena berteriak gembira, sambil menari kesana kemari,  "Si Aku punya anak,  Aku akan beri nama " Tetuko" begitu dia berteriak sambil melangkah ke ruang persalinan.
Keceriaan  Bimasena  seolah tertelan badai, ketika tali pusar  si Jabang Tetuko tidak mampu  diputuskan, ketika itu kesedihan mulai menyeliputi keluarga Bimasena tokoh andal kesatria  Pandawa itu , kesedihan pun menyebar pada keluarga Panca Pandawa yang lain. Justru kekuatan tali pusar ini  yang kemudian mendatangkan  duka  bagi Si Jabang Tetuko itu kelak. Konon tidak satu pun senjata yang ada di dunia  yang mampu memutuskan tali 'placenta"nya. Akibatnya bayi ini untuk sekian lamanya harus selalu bergandengan dengan ari-arinya. Suatu keadaan yang memang tidak lazim dalam kelahiran manusia. Apa boleh buat itulah sebuah realitas yang memerlukan pemecahan.
 Khabar yang  menyedihkan itu terbetik juga pada Sri Krishna, dengan kemahatahuan Beliau, Sri Krishna mengatakan bahwa senjata apa pun di dunia ini tidak akan mampu memutuskan tali pusar ini, karena alat pemutusnya adalah  ada ditempat lain, yakni di Surga, alat  itu adalah  senjata Konta Wijaya danu yang dimiliki Dewa Indra. Senjata itu tidak bisa dibawa ke dunia tanpa seizin yang memiliki. Untuk mempercepat proses pemotongan tali pusar itu maka Si Jabang Tetuko pun harus dibawa ke Kahyangan. Dan untuk tugas ini Arjuna yang diminta untuk membawanya ke Surga.
 Sayang senjata sakti yang diharapkan  itu telah  dahulu dihadiahkan kepada Adipati Karna, yang telah lama mengimpikan senjata pemusnah itu, kerena tapa brata dan nazar suci yang dilakukan demikian hebat. Sekarang yang  tertinggal hanyalah sarungnya  saja, sebuah kondisi yang sangat dilematis.  Menghadapi situasi ini Arjuna dan  Para Dewa di Kahyangan cukup kelimpungan dibuatnya.
 Tindakan alternatif pun dilakukan, masih dalam kerangka try and error, maka  pemotongan tali pusar terpaksa hanya menggunakan  sarungnya saja, konon  senjata sakti itu tidak hanya pusakanya saja yang ampuh, tetapi juga sarungnya, untuk itu dicobakan  menggunakan sarungnya.  Walaupun hanya dengan sarungnya  saja  tali penghubung antara diri Tetuko dengan ari-arinya dapat diputuskan. Keajaiban  lain pun terjadi yaitu  sarung senjata Konta Wijaya danu itu masuk menyatu dengan perut si Jabang Bayi.  Dewa Indra yang memiliki senjata itu dan menyaksikan kejadian itu mengatakan kepada Arjuna  bahwa kondisi ini sangat berbahaya, nanti jika senjata itu dilepas dia akan mengejar sarungnya. Kejadian inilah yang menyebabkan kelak  Tetuko dewasa  yang bergelar pangeran Gatot Koca akan mati oleh senjata aslinya saat perang Bharatayuda digelar.  Dalam perang  besar itu bila senjata  konta wijaya danu  dilepas, dia akan terus memburu  sarungnya kemanapun sarung itu dibawa, sehingga tiada tempat bagi Gatot Kaca untuk bersembunyi dan menghindar dari bahaya.
 Menyadari kondisi seperti ini  Arjuna amat sedih dia pun sesampainya di dunia mayapada ini menyampaikan perihal itu dengan cara lain agar bayi Tetuko  ini dapat dibesarkan menjadi anak yang baik. Disinilah pesan agar pendidikan karakter diuncarkan baik oleh Krishna maupun Arjuna kepada Diah Dimbi, ibu Gatot Kaca itu.  Sejak dari awal cerita yang menyedihkan itu  telah diketahui oleh  Sri Krishna maupun Arjuna, karena peran ibu  yang merupakan  peran alamiah  dan tidak  dapat dihindari, tidak boleh diabaikan. Tentu amat disadari bahwa  selama berabad-abad kaum wanita telah menjadi kubu pertahanan  bagi kebudayaan bangsa dan penjaga  kekayaan  spiritual  negerinnya, dan jangan sampai terjadi kaum wanita cepat menyerah mengikuti budaya pesolek sebagaimana tampak dalam  cara hidup dan tingkah laku sosial  banyak wanita yang terpelajar. Atas saran dan nasehat Krisha itu,  Gatot Kaca tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berwibawa dan selalu hormat pada orang tua, memiliki kekuatan menghilang karena tekunnya belajar olah kanuragan.
Sampai pada suatu saat di Medan Kuruksetra, perang besar berkecamuk, Adipati Karna ditunjuk sebagai Senapati Kurawa, kondisi inilah yang menyebabkan Krishna memanggil Gatot Kaca untuk menjadi komandan perang menghadapi Adipati Karna. Sri Krishna  memanggil " Oh... anakku Gatot Kaca, kini  aku sebagai orang tua meminta bantuanmu untuk maju ke medan perang sebagai komandan menghadapi Raja Awangga, Adipati Karna, bersediahkah anakku?  Semua yang hadir dalam pertemuan itu kaget bercampur sedih, mengingat Gatot Kaca masih muda, namun harus mengemban tugas dan kewajiban yang sangat berat.
Gatot Kaca menjawab dengan tenangnya, " Oh ... Sri Krishna yang hamba anggap sebagai Guru, dan orang tua kami. Hamba sangat senang dan bersyukur bahwa paduka telah menugaskan hamba untuk menjadi benteng paduka dan orang tuang kami, hamba akan melaksanakan dengan sebaik-baiknnya, walaupun harus dengan pengorbanan jiwa raga. Â Semua yang hadir terkejut mendengar jawaban Gatot Kaca. Sri Krishna tersenyum manis, " Oh... anakku , Kami orang tuamu sangat senang mendengar keseriusanmu, kami semua sangat bangga punya anak seperti dirimu, walaupun tugas seberat apapun engkau tetap menerima dengan tenang. Â Engkau adalah mutiara hati kami engkau adalah jiwa raga kami"
Gatot Kaca membalas pujian yang ditujukan padanya "  Hamba rela berkorban apa saja demi keselamatan orang tua kami,  kami harus bisa menunjukkan terima kasih kepada mereka dan kemudian membulatkan tekad untuk mengabdi pada masyarakat. Kesejahteraan dan keselamatan tanah air haruslah merupakan tujuan utama bagi kami.  Paduka telah mengajarkan kepada kami bahwa kami harus insaf  bahwa makna pendidikan yang sebenarnnya adalah untuk memberikan kepuasan dan kesenangan pada orang tua dan untuk mengabdi negara. Dengan cara ini  akan membawa kemakmuran bagi tanah air " Semua yang hadir terkagum-kagum atas jawaban Gatot Kaca. Bima, sang ayah tetawa lebar, "Ah..ah.... siapa dulu ayahnnya?" Sri Krishna kemudian  mempersilahkan Gatot  Kaca untuk kembali ke kemah  untuk besok pagi siap bertempur menghadapi Karna.