Akibatnya guru, itu adalah profesi yang unik, saya katakan unik karena 'dia akan mendapat predikat' harus serba bisa' bisa jadi dia, harus bisa mengisi kepala murid, juga harus bisa menggetarkan hati murid, dan juga jiwa peserta didiknya, " ulasan kerennya, adalah"perjalanan kompetensinya harus sampai dihujung,  menjadikannya menjadi guru dihati murid, tidak dimata murid, artinya, ada tidak ada dia dalam fisik, ditetap  ditaati dan tetap dikenang, mentransformsi dan membangun ruang imajinasi bagi peserta didiknya,
Ketika peserta didiknya dapat mencari sendiri, dengan membangkitkan rasa ingin tahunya, saat itulah titik kritis proses pembelajaran itu terjadi, maka apa yang diharapkan oleh Thomas F. Carruthers Senior Research Scientist, University of Maryland--Baltimore County, menuliskannya, dengan sangat indah, kadang menusuk hati, "A teacher is one who makes himself progressively unnecessary  "Seorang guru itu adalah orang yang membuat dirinya sendiri semakin tidak bergunan ,  sebab ruang pencerahan muridnya telah terbangun, guru hanya menghantarkan di depan  ruang perpustakaan dirinya.
Lalu, harapan membebankan bahwa sampai saat ini , pendidikan bangsa ini, khususnya mental dan moral hanya dibebankan pada guru, sungguh  sebuah pernyataan naif, sebab guru adalah salah satu elemen dari pendidikan di sekoalah, tidak hanya 'guru, ada sarana prasarana, ada kurikulum, ada  managemen seolah, ada ingkungan sekolah (masyaraktnya),  selain sekolah, ada keluarga dan masyarakat. Ditinjau dari waktu belajarnya, maka anak-anak lebih banyak ada di luar sekolah,  disanalah harus dilihat sebagai variabel penentu  pendidikan itu.
Lalu, bukan menampik bahwa salah satu faktor penting, memang guru, namun berbagai permasalahan yang muncul saat ini berkenaan dengan guru perlu juga diuraikan , antara lain  Pertama, Guru dianggap profesi super power yang bisa mengubah segalanya,  akibatnya semua kesalahan pendidikan , generasi mendatang hanya di pangku dalam diri guru itu sendiri? Â
Kedua, Guru lebih banyak ditunggangi berbagai kepentingan administrasi, tentengan yang d iberikan dalam wujudnya yang sertifikasi guru, sejatinya lebih banyak menjadi beban pikirannya, dari pada memberikan daya inovasi untuk memajukan siswanya, sehingga kerap pembelajaran terganggu, dalam dimensi ini guru berada dalam zone sebagai hanya menjelaskankan bukan menginspirasi siswanya. Walaupun kini sudah berangsur direduksi keg atan administrasi itu, akankah kebijakan sperti ini berhenti, setelah ganti menteri ganti peraturan? Waktu yang menjawabnya.
Keempat, Pendidikan siswa tidak hanya guru saja yang menentukan, banyak faktor eksternal, guru adalah elemen salah satu dari pendidikan sekolah, selain itu ada keluarga, dan  masyarakat,  dengan jumlah waktu yang lebih banyak bersentuhan dengan sang murid.
 Kelima, Kompetensi guru, tidak dibangun dengan cara pendidikan andragogi oleh pemangku kebijakan sehingga, berbagai permen dibuat oleh pemerintah, tidak melihat faktor sosial, sarana prasarana.
Digabung menjadi satu,  bahwa guru  bisa mengubah anak didiknya, seperti memberi tantangan, kemampuan super power bisa muncul pada diri guru, bila guru dapat berperan sebagai sosok 'agen  of change, lalu inilah menarik dari Ki Hajar Dewantara, Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan. Ketika itu terjadi maka, seseorang  memang benar-benar menjadi guru dihati murid bukan di mata murid.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H