Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penanggulangan HIV/AIDS Lewat Community Cooperative Learning

10 Februari 2019   23:17 Diperbarui: 10 Februari 2019   23:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Harus diakui, secara teknis di Bali  masih belum bisa menghentikan penyebaran  HIV  secara menyeluruh. Kasusnya bagaikan gunung es yang terdeteksi masih jauh dibandingkan dengan yang tersembunyi. Baru sebatas langkah untuk pencegahan penularan sehingga kasus baru bisa di tangkal, itupun belum maksimal. Oleh karenanya, setiap orang tua maupun guru di sekolah selalu wanti-wanti menasehati  agar  waspada  dengan HIV /AIDS.

Kekhawatiran masyarakat di Bali terhadap penyebaran HIV/AIDs sangat beralasan. Pertama, Bali sebagai objek wisata, sehingga lalu lalang manusia antar negara selalu terjadi, dan diharapkan kunjungannya terus meningkat, karena mendatangkan devisa.  Wisatawan tidak serta merta  steril dari  virus HIV. Kedua, penutupan beberapa lokalisasi prostitusi di luar Bali, menguatkan dugaan bahwa ekses itu juga  akan melanda Bali, distribusi  PSK  menjadi   liar dan sebagian akan bermigrasi ke Bali. Bali sangat potensial karena memiliki pasar antar bangsa.  HIV/AIDS adalah satu dari sederet masalah yang dihadapi  Pariwisata Bali.

Sulit membantah, maraknya cafe remang-remang, selalu  identik dengan  keberadaan  cewek caf.  afe-Cewek Caf kerap menjadi bumbu penyedap sehingga  animo konsumen semakin besar, lalu  cafe-cafe tempat minum kian marak, dan jumlah peminat warga ke cafe seakan tidak terkontrol. Caf diduga bermetamorfosis sebagai ajang transaksi banyak hal termasuk  esek-esek. Diterminal itu,  resiko  penyebaran penyakit kelamin, dan khususnya HIV /AIDS, tak dapat dielakkan. Berbagai kegiatan untuk mewaspadai HIV/AIDS  terus diberikan ruang oleh kampus, sekolah dan pemerintah daerah, namun  banyak kalangan meyakini bahwa bahaya HIV AIDS menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat. Di beberapa kabupaten sperti klungkung, Gianyar dan Tabanan penderita HIV terus meningkat, selain itu keberadan vaksin HIV, memang masih belum ampuh untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Di Bali penyakit HIV/AIDS sudah semakin mencemaskan. Kecemasan  ini didasarkan pada meningkatnya  laju penyebaran HIV/AIDS di Bali. Bali saat ini, telah  menduduki laju perkembangan nomor dua secara nasional setelah Papua. Fakta ini menunjukkan bahwa berbagai upaya penanggulangan  belum banyak berarti dan rapuh. Kerapuhan ini dikhawatirkan HIV /AIDS dapat mengancam kesehatan ibu dan anak. Berbagai kegiatan penanggulangan penyebaran HIV/ AIDS semacam KSPAN ditengarai mandul. Meningkatnya, kasus HIV/AIDS di Bali, cukup mengagetkan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga bulan Juni 2018, data kumulatif kasus HIV/AIDS di Bali capai 19.286 orang. Dari jumlah tersebut, Kota Denpasar menempati urutan pertama dengan jumlah penderita 7.246, posisi kedua Badung 3.141 orang, Buleleng 2.953, Gianyar 1.429, Tabanan 1.186, Jembrana 988, Karangasem 737, Bangli 408, Klungkung 399 orang, serta orang luar Bali yang menetap di Bali sebanyak 799 orang (Tribun, 29 Nopember 2018).

Oleh karena itu dibutuhkan kegiatan penanggulangan yang radikal untuk menahan laju penyebarannya, yaitu  salah satunya adalah dengan model masyarakat belajar. Masyarakat belajar  adalah penyadaran pada pemahaman, sikap, dan keterampilan  dalam penanggulangan penyakit hiv/aids  terhadap penyakit HIV /AIDS. Pemahaman dimaksudkan adalah penyadaran dan ceramah, dan juga dengan melakukan simulasi. Pada tataran pemahaman itu, masyarakat harus disadarkan bahwa, membangun pemahaman dalam masyarakat belajar merupakan elemen kunci dari respon kewaspadaan global , yang sedang didengungkan oleh masyarakat internasional.

Respon itu juga harus mampu menekan jumlah penderita infeksi HIV di dunia yang saat ini sudah 34 juta orang hidup terinfeksi HIV di seluruh dunia. Respon  tersebut diharapkan mampu mencegah terjadinya infeksi baru. Penyebaran infeksi HIV ini, diduga 60% infeksi berasal dari pekerja seks komersial (PSK ), 46% penggunaan jarum suntik (narkoba), dan 40% dari pria heteroseksual yang berisiko. Sampai saat ini, respon kewaspadaan global, merekomendasikan untuk penanggulangan HIV/AIDS, melalui (a) perubahan perilaku, untuk pantang berhubungan seksual bagi kalangan beresiko, (b) kesetiaan pada mitra tunggal, (c) penggunaan kondom, dan (d) terapi antiretroviral.

Dibingkai itu, titik strategis menghambat penyebaran HIV/AIDS adalah melalui dua pintu, yaitu pertama peningkatan  pemahaman masyarakat luas tentang HIV/AIDS, sehingga memunculkan daya seleksi  dengan nalar sehat. Kedua, melalui perangkat teknis operasional, yaitu  penyediaan antiviral, bagi anggota masyarakat dalam kelompok berisiko.

 Membangun pemahaman masyarakat, bisa dilakukan dengan konstruksi masyarakat, khususnya masyarakat Bali, nampaknya belum terlalu sulit. Hal ini dikarenakan  desa di Bali telah memiliki komunitas desa adat / pakraman yang berada dalam zone homeostasis  dinamis, sehingga masyarakatnya mudah di edukasi dengan pengetahuan baru. Konsep ini adalah model yang bisa  dimaklumi bahwa bila laju pertumbuhan penularan yang tinggi di Bali, diakibatkan oleh masyarakat terkooptasi dengan  asumsi-asumsi yang salah,  serta miskonsepsi tentang HIV AIDS, terus menjebak  dan mengubur satu demi satu warga Bali, yang sebenarnya tidak pernah tahu dari mana mereka tertular. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah strategis dan radikal  untuk melindungi kesehatan masyarakat luas dan " to safe the next generation", yaitu dengan pendekatan' Community cooperative learning.

Community cooperatif learning, merupakan sebuah cara untuk melahirkan sebuah masyarakat terdidik, dengan filosofi masyarakat diberitahu dalam kelompok belajar, kemudian mereka terinisiasi untuk mencari tahu. Titik strategisnya  adalah, masyarakat paham tentang HIV AIDS, lalu mereka akan membangun sikap dan keterampilan bagaimana mereka mengatasi penularan HIV AIDS, dalam komunitasnya.

Community cooperative learning belum tersentuh secara maksimal, khususnya untuk meningkatkan pemahaman pada HIV/AIDS. Oleh karena itu perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk menjadi komunitas belajar. Dalam hal HIV AIDS permasalahan yang muncul adalah : Pertama, pemerintah dan masyarakat ambigu terhadap pemberlakuan PERDA tentang penggunaan kondom. Legalisasi kondom, seakan mengizinkan prostitusi dan perzinahan. penggunaan kondom masih sebatas anjuran, dan tidak wajib. Nalar para konsumen PSK, seakan dilindungi, karena dengan kondom sensasinya dianggap berbeda. Kedua,  ada paradigm baru bagi PSK, atau cewek kafe yang berprofesi ganda, yaitu lebih baik mati menderita lagi 5- 10 tahun lagi dari pada sekarang mati kelaparan. Ketiga, lapas belum bisa disterilkan dari  pengguna jarum suntik, akibatnya lapas tetap menjadi  episentrum baru menularnya HIV/AIDS.

Keempat, belum sempurnanya konstruksi pemahaman HIV, baik secara terminologi, ontologi dan aksiologi, benar-benar masih berjarak dalam benak masyarakat. Hal ini terjadi karena bangunan pemahaman masyarakat terhadap HIV AIDS dibangun dengan aktivitas  ceramah, dan penyuluhan dengan bahasa yang tinggi dan kerap tidak membumi, sehingga metode ini kerap tidak mampu memberikan konflik kognitif yang berarti. Akibatnya masyarakat tidak mampu membangun pemahamannya sendiri, lalu tumbuh menjadi masyarakat yang apatis dan bisu terhadap HIV/AIDS.

Masyarakat bisu dan apatis dapat dicairkan kebuntuannya melalui proses pembelajaran dengan cara berkelompok.  Menurut Anastario (2013), belajar kelompok untuk menanggulangi HIV AIDS ini dipandu oleh  seorang tutor pada tingkat desa. Keberadaan tutor inilah diinisiasi oleh pemerintah. Artinya, pemerintah seyogyanya sudah harus berada dalam tahap eksitasi kewaspadaan yang tinggi terhadap HIV/AIDS, sehingga eksitasi mental ini akan membangun konstruksi pemahaman baru masyarakat.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa eksitasi mental dalam menanggulangi HIV/AIDS  belum sepenuhnya muncul dikalangan pemangku kebijakan publik, kondisi ini melahirkan  pseudo retardasi. Pseudo retardasi banyak menjangkiti kalangan perempuan miskin yang kemudian menjerumuskan dirinya dalam kelompok PSK. Kelompok ini, adalah orang yang merasa gagal mencapai kebutuhannya secara normal. Oleh  karena  kegagalan ini ia kehilangan sebagian besar harga dirinya dan ambisinya, sehingga melakukan kegiatan dan aktivitas yang bodoh sebagai mekanisme mempertahankan dirinya.

Mekanisme pertahanan hidup itu, tidak diantisipasi dengan bijak oleh pemangku kebijakan. Dalam konteks inilah menarik memahami Lui Heise et al.,  (2013) dengan  Cash transfers for HIV prevention, yaitu memberikan uang tunai kepada keluarga miskin, yang  rentan  akan  HIV/ AIDS.  Dengan pola seperti itu laju untuk menjual diri dapat direduksi.

Sementara itu, karakter pemerintah dan masyarakat luas saat ini seakan permisif. Karena belum mampu membuat masyarakat memiliki pemahaman yang matang tentang HIV AIDS, sehingga transfer pemahaman oleh laskar peduli HIV/AIDS belum sepenuhnya mampu berperan sebagai ahli bagi kelompok yang lain, seperti layak model cooperative yang dikembangkan Yang, X (2013) di China. Model ini mampu mengatasi miskonsepsi dan asumsi-asumsi yang sering keliru terhadap HIV/AIDS sehingga memunculkan motivation and self-efficacy dalam penanggulangan HIV AIDs

Self efficacy menjadi sangat penting untuk  membangun kompetensi kelompok peduli  HIV /AIDS, kelompok  merupakan embrio  yang  menjadi model  simulasi dan diskusi yang saling menguatkan untuk bersama-sama menangani HIV AIDS. Self-efficacy sejatinya tumbuh karena titik keseimbangan kognitif telah tercapai melalui proses konflik kognitif peserta. Yang pada akhirnya melahirkan  pribadi dengan resiptive character, suatu karakter yang membutuhkan dukungan dan motivasi bersama  sebagai benteng diri untuk mengatasi HIV/AIDS.

Receptive character para peserta, itu bilamana tidak dibina secara bertahap dan kontinyu, masih rentan terjadinya reciprocal inhibition, karena HIV/AIDS, menampilkan wajah yang kerap tidak mono gejala klinis, dan kerap sangat mengerikan dan laten.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun