Masyarakat bisu dan apatis dapat dicairkan kebuntuannya melalui proses pembelajaran dengan cara berkelompok.  Menurut Anastario (2013), belajar kelompok untuk menanggulangi HIV AIDS ini dipandu oleh  seorang tutor pada tingkat desa. Keberadaan tutor inilah diinisiasi oleh pemerintah. Artinya, pemerintah seyogyanya sudah harus berada dalam tahap eksitasi kewaspadaan yang tinggi terhadap HIV/AIDS, sehingga eksitasi mental ini akan membangun konstruksi pemahaman baru masyarakat.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa eksitasi mental dalam menanggulangi HIV/AIDS  belum sepenuhnya muncul dikalangan pemangku kebijakan publik, kondisi ini melahirkan  pseudo retardasi. Pseudo retardasi banyak menjangkiti kalangan perempuan miskin yang kemudian menjerumuskan dirinya dalam kelompok PSK. Kelompok ini, adalah orang yang merasa gagal mencapai kebutuhannya secara normal. Oleh  karena  kegagalan ini ia kehilangan sebagian besar harga dirinya dan ambisinya, sehingga melakukan kegiatan dan aktivitas yang bodoh sebagai mekanisme mempertahankan dirinya.
Mekanisme pertahanan hidup itu, tidak diantisipasi dengan bijak oleh pemangku kebijakan. Dalam konteks inilah menarik memahami Lui Heise et al., (2013) dengan  Cash transfers for HIV prevention, yaitu memberikan uang tunai kepada keluarga miskin, yang  rentan  akan  HIV/ AIDS.  Dengan pola seperti itu laju untuk menjual diri dapat direduksi.
Sementara itu, karakter pemerintah dan masyarakat luas saat ini seakan permisif. Karena belum mampu membuat masyarakat memiliki pemahaman yang matang tentang HIV AIDS, sehingga transfer pemahaman oleh laskar peduli HIV/AIDS belum sepenuhnya mampu berperan sebagai ahli bagi kelompok yang lain, seperti layak model cooperative yang dikembangkan Yang, X (2013) di China. Model ini mampu mengatasi miskonsepsi dan asumsi-asumsi yang sering keliru terhadap HIV/AIDS sehingga memunculkan motivation and self-efficacy dalam penanggulangan HIV AIDs
Self efficacy menjadi sangat penting untuk  membangun kompetensi kelompok peduli  HIV /AIDS, kelompok  merupakan embrio  yang  menjadi model  simulasi dan diskusi yang saling menguatkan untuk bersama-sama menangani HIV AIDS. Self-efficacy sejatinya tumbuh karena titik keseimbangan kognitif telah tercapai melalui proses konflik kognitif peserta. Yang pada akhirnya melahirkan  pribadi dengan resiptive character, suatu karakter yang membutuhkan dukungan dan motivasi bersama  sebagai benteng diri untuk mengatasi HIV/AIDS.
Receptive character para peserta, itu bilamana tidak dibina secara bertahap dan kontinyu, masih rentan terjadinya reciprocal inhibition, karena HIV/AIDS, menampilkan wajah yang kerap tidak mono gejala klinis, dan kerap sangat mengerikan dan laten.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H