Dalam bingkai itu, keluruhan sipil menjadi harapan publik kepada partai politik untuk meletakkan peranan politiknya yang lebih mumpuni untuk perkembangan demokrasi.Â
Peranan itu antara lain, melibatkan rakyat dalam proses-proses politik, mengorganisasikan mesin-mesin pemerintahan, mendefinisikan alternatif-alternatif isu dan kebijakan publik, serta menstrukturisasi dan meminimalkan konflik dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih dewasa dalam memahami politik dan tidak bersifat masa bodo, dan terperangkat dalam golput.
Ketika roh keluruhan sipil tidak tergarap dengan maksimal, maka akan menyuburkan mental kutu loncat di kalangan orang yang haus kekuasaan, dan ingin mendapatkannya secara instan. Di terminal itu, pemikiran Pareo (1966) semakin nyata membuncah di negeri ini, yaitu parpol menciptakan demokrasi elitis sulit ditampik. Demokrasi elitis dibangun oleh kelompok ekonomi kuat.Â
Artinya, 'liquiditas arus kas yang sehat dari seorang tokoh" sangat memungkinkan untuk dipinang oleh partai politik. Itu menunjukkan bahwa kondisi sumber keuangan partai belum jelas dan lemah.
Keluruhan sipil ala Pareo itu, sangat gamblang dilanggar dalam budaya politik kita. Misalnya, partai-partai politik di negeri ini pada umumnya mengklaim diri sebagai partai yang demokratis atau sekurang-kurangnya memperjuangkan demokrasi. Mereka hadir atas nama rakyat, publik, dan konstituen tertentu dalam masyarakat, tetapi kiprah politiknya lebih merepresentasi kepentingannya sendiri (self-centered). Partai cenderung bersifat "independen" dalam hubungannya dengan para pemilih atau masyarakat pada umumnya. Â
Tak ayal jika agenda-agenda politik mereka acapkali tidak selaras dengan agenda-agenda masyarakat. Logika kekuasaan tampak lebih mendominasi wacana dan praktek politik partai ketimbang logika kerakyatan dan demokrasi. Banyak ditemukan  partai bergerak kian eksklusif, terpisah dari realitas masyarakat. Elitisme politik menjebak mereka untuk mengingkari janji-janjinya kepada rakyat waktu kampanye pemilu.
Keluruhan sipil dapat dibangun dengan mudah bila partai politik memiliki skill of think dari para  pemimpinnya. Kondisi demikian dapat ditempuh melalui, pertama, parpol harus berani mengambil langkah substantif untuk mengeleminir demokrasi yang bersifat elitis. Dengan cara mencalonkan kader partainya untuk mencapai puncak kekuasaan.Â
Ketika parpol tetap menjadi 'rent car' bagi sekelompok orang untuk merahih kekuasaan, maka parpol sebenarnya telah menjurus pada demokrasi liberal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, sehingga melahirkan  turunannya sebagai  oligarki liberal yang sangat mengerikan bagi budaya politik Indonesia.
Kedua, penguatan kaderisasi melalui penguatan skill of management pada kader-kader yang unggul. Parpol akan menghasilkan prestasi yang luarbiasa pada budaya politik bangsa  yang berkelanjutan. Parpol menyediakan nilai bagi generasi muda, bagi publik, bukan membuat kaya pengurusnya karena berkuasa. Tujuan pencapaian nilai-nilai luhur ini  sangat penting bagi kinerja parpol selanjutnya.Â
Adapun kriteria pencapaian itu meliputi,  (1) lebih memusatkan perhatian pada pencapaian keunggulan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga layak bersaing dalam setiap pemilu, (2) menciptakan keselarasan yang  lebih besar antara tujuan, strategi, cita-cita dan nilai bersama, (3) meningkatkatkan motivasi hakiki dengan mereduksi  kepentingan diri sendiri yang sempit, dan menyukseskan  tujuan partai politik, (4) meningkatkan legitimasi tindakan  parpol dalam masyarakat, (5) meningkatkan kemampuan parpol dalam menciptakan pengetahuan, dan membuat pengetahuan agar produktif.
Ketiga, Â kaderisasi harus dilakukan pada generasi muda dan simpatisan partai. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan memaparkan tujuan platform partai dengan pemikir publik, mahasiswa dan generasi muda lainnya.Â