Pengeluaran gas CO2, semisal kejadian di Gunung Dieng, sebagai misal membunuh banyak penduduk. Sebab gas demikian tidak berbahu dan juga langsung membuat sesak nafas dan meninggal seketika. Dalam kondisi tertentu dapat mengeluarkan klorin dan membentuk aerosol yang sangat berbahaya serta merusak ozon(Jaupart & Allgre, 1991).
Secara kuantitatif, letusan gunung berapi dapat menyuntikkan gas kimia dan mikro aktif dan partikel aerosol padat ke dalam stratosfer sebanyak puluhan teragrams (100 milligram), sehingga dapat mempengaruhi keseimbangan dan iklim radiasi bumi, dan mengganggu keseimbangan (Ekuilibrium) kimia stratosfer. Awan vulkanik terbentuk dalam beberapa minggu dengan konversi SO2 menjadi sulfat aerosol dan transformasi mikrofisika berikutnya(Sabroux, 1982).
Efek lain yang sangat berbahaya lagi adalah bereaksinya air hujan dengan gas diatas menimbulkan efek hujan asam dengan kadar yang tinggi dan relatif lama, kondisi ini . Ketika gas-gas ini bereaksi dengan molekul air dan oksigen di antara bahan kimia lain yang ditemukan di atmosfer, senyawa kimia asam ringan seperti asam sulfat dan nitrat terbentuk akibat hujan asam.Â
Meletusnya gunung berapi mengandung beberapa bahan kimia yang bisa menyebabkan hujan asam. Hujan asam sangat merugikan bangunan dari kapur dan besi, serta baerbahaya bagi tumbuhan, yang di Bali dikenal sebagai 'damuh lengis"
Saat ini gunung Agung, berada dalam kondisi erupsi, ada beberapa hipotesis yang bisa terjadi berdasarkan material yang akan dilontarkan: ada dua macam, yakni erupsi eksplosif dan erupsi efusif. Letusan yang eksplosif terdapat tekanan gas magmatis yang sangat besar di dalam bumi sehingga menimbulkan ledakan besar pada saat terjadi letusan atau erupsi.Â
Letusan Gunung Agung selama ini adalah letusan yang khas karena gunung vulkanik tipe monoconic strato itu termasuk gunung muda dan sempat tidur panjang selama 120 tahun sampai meletus pada 1963. Muntahan gas dan material vulkanik lainnya perlu teus diwaspadai.
Gunung Agung memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, bila terjadi letusan atau erupsi efusif., yaitu tekanan gas magmatisnya tidak terlalu kuat sehingga tidak terjadi ledakan. Pada kasus ini, material yang dikeluarkan berbentuk cair dengan disertai material padat berukuran kecil, meleleh karena gas yang larut dalam aktivitas magma terdifusi pada badan gunung sehingga tidak eksplosif.
Kedua, gunung Agung meletus dengan fase eksplosif yang meledak-ledak dan berevolusi menuju pembentukan kubah. Transisi ini akan ditandai dengan penurunan fraksi volume gas, yang biasanya disebabkan oleh gradien kimia di ruang gunung berapi. Studi petrologi dan geokimia menunjukkan bahwa interpretasi ini terlalu disederhanakan. Pengamatan kritis adalah bahwa tingkat letusan menurun seiring waktu dan secara nyata lebih kecil selama pertumbuhan kubah daripada pada aktivitas eksplosif.
Mengikuti Analisis Eichelberger, gunung Agung kemungkinan terjadinya transisi dari aktivitas eksplosif ke formasi kubah sehingga kehilangan gas melalui dinding saluran permeabel pada dinding gunung, sehingga rekahan-rekahan yang terjadi dapat mengurangi eksposifitas ledakan erupsi. Selanjutnya, dalam beberapa kasus, proses yang sama bertanggung jawab atas transisi pada aliran piroklastik. Transisi tersebut akibat penurunan tingkat letusan pada radius daerah berbahaya.Â
Isi gas lahar yang naik ke permukaan bumi ditentukan oleh dua proses yang saling bersaing: pelepasan tekanan yang mengarah ke eksplanasi dan ekspansi gas. Jumlah gas yang hilang berbanding terbalik dengan tingkat letusan dan sebanding dengan perbedaan tekanan antara saluran dan batuan penyusun gunung api. Variabel kritisnya adalah tekanan di ruang gunung berapi dapat terus menurun seiring waktu karena ruang kosong, kondisi ini menyiratkan penurunan tingkat letusan.Â
Pada gilirannya, penurunan ini bertindak untuk meningkatkan fraksi gas yang hilang ke batuan dan karenanya mengurangi kandungan gas dari bahan yang meletus. Oleh karena itu, model tersebut memprediksi bahwa, seiring berjalannya waktu, letusan mengalami transisi dari kondisi eksplosif ke non-eksplosif. Transisi ini terjadi sebagai evolusi fraksi volume gas yang sangat tinggi. Fluktuasi tekanan yang sangat kecil dari orde satu menunjukkan bahwa transisi erupsi tidak stabil, serta perubahan yang diamati antara fase eksplosif dan pembentukan kubah pun kerap terjadi.