Pernyataan sikap koalisi merah putih dalam menyikapi hasil pilpres 2014 terbilang sangat mengejutkan, walaupun bukanlah suatu hal yang baru dalam rancah politik nasional Indonesia. Sudah sejak awal koalisi merah putih yang diusung oleh partai Gerindra dan didukung oleh partai "besar" lainnya seperti Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB dan Demokrat menyatakan bahwa "Lose is not an option". Pernyataan ini saya yakini dapat membangkitkan semangat pendukung dan relawan bahwa koalisi merah putih akan berjuang di atas kepentingan rakyat bukan partai politik.
Tidak dapat kita kesampingkan bahwa ambisi adalah bagian dari kancah perpolitikan Indonesia, menjadi RI-1 adalah jelas merupakan supremasi tertinggi kekuasaan di republik ini. RI-1 sebagai kekuasaan eksekutif yang jelas diinginkan setiap calon presiden. Selama puluhan tahun berlangsungnya pemilihan presiden, tahun 2014 terbilang adalah momentum terbaik selama dilangsungkannya pilpres, mengapa tidak? Ratusan ribu hingga jutaan relawan menyatakan sikap baik melalui sosial media, media maupun deklarasi dukungan. Sesuatu yang tidak pernah muncul dalam perhelatan pilpres selama ini.
Berbagai kreatifitas anak bangsa ditonjolkan melalui pilpres 2014 ini mulai dari pembuatan film animasi, gubahan musik, video, game dan hal2 lainnya. Walaupun ada kreatifitas yang mengarah kepada kampanye negatif dan hitam. Keinginan rakyat yang mendambakan pemimpin baru tersirat pada diri Jokowi dan Prabowo, mereka adalah putra terbaik bangsa. Dari sejak awal survai elektabilitas kedua capres ini menunjukkan perolehan yang ketat bahkan hingga dilangsungkannya pilpres 9 Juli kemarin.
Tidak ada yang dapat memprediksi siapa yang akan keluar jadi pemenang sampai diadakannya quick count (hitung cepat) sesaat setelah pilpres berlangsung. Hitung cepat mempunyai tingkat akurasi yang tinggi dengan rata2 tingkat keyakinan 95% dan 99%. Hitung cepat adalah ilmiah, mempunyai metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan karena mempunyai kaedah kestatistikan dengan batas kesalahan hanya 2%!. Pada saat dilakukannya quick count, sesungguhnya kita sudah tau siapa pemenang pilpres kali ini, akan tetapi karena munculnya dua kubu lembaga survai yang memunculkan hasil yang berbeda, tentunya publik (non-akademisi) bertanya2 siapa yang benar?
Idealnya antara quickcount dan real count memiliki kedekatan akan hasil akhir dengan selisih perolehan suara 1%-2%, hal tersebut masih dapat dikatakan lumrah dan sudah memenuhi kaedah statistik yang baik. Bahkan salah satu lembaga survai ternama, SMRC melalui Direktur Eksekutifnya mengatakan jika KPU memenangkan Prabowo, maka KPU curang! Suatu pernyataan sikap yang arogan, tetapi ilmiah!
Pada prosesnya real count memiliki tingkat kesulitan di lapangan yang lebih besar, dikarenakan ada faktor "X" yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari pilpres. Hal-hal seperti manipulasi surat suara, dan bahkan oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan rekapitulasi suara. Akan tetapi sistem KPU yang berjenjang membuat suatu kemudahan dan sekaligus transparansi. Mengapa tidak, sistem berjenjang ini dimulai dari tingkatan terkecil yaitu kelurahan lalu naik ke tingkat kecamatan baru kemudian kabupaten / kota, dilanjutkan dengan provinsi dan terakhir pusat. Koreksi ataupun jika terjadi kecurangan, maka pencoblosan ulang dapat dilakukan dari tingkat terbawah. Idealnya, pada saat masuk ke tingkat pusat, maka tidak ada lagi klaim kecurangan dan sebagainya.
Jika benar bahwa ada kecurangan massive, terstruktur dan terencana, maka hal tersebut seharusnya dapat dengan mudah dilakukan di tingkatan terbawah dan perlu dibuktikan! Retorika bahwa pilpres kali ini mengandung unsur kecurangan bahkan menuduh lembaga penyelenggara pemilu, KPU sudah berbuat curang dan tidak netral adalah upaya mendiskreditkan pilpres 2014 kali ini. Selain itu, klaim bahwa koalisi merah putih mempunyai data yang lebih sahih dari pada KPU menyatakan arogansi yang bahkan belum pernah dibuka ke publik.
Menuduh tanpa bukti adalah perbuatan tercela dan terlebih dapat memupuk kecurigaan massive terhadap seluruh pendukung capres tertentu, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan hal2 yang tidak kita inginkan. "Perpecahan" bangsa sudah terlihat sejak kedua capres ini ditetapkan menjadi capres, social media dan media merupakan tempat termudah jika kita ingin melihat bagaimana pendukung masih-masing capres beradu ilmu dengan menyampaikan komentar, gagasan, opini bahkan hujatan!
Kembali kepada pernyataan sikap Prabowo yang menyatakan keseluruhan pilpres 2014 ini adalah cacat hukum. Negara Indonesia meletakkan hukum di atas segala-nya tanpa memandang kedudukan atau posisi seseorang, oleh karena itu perlu ada pembuktian, dan seharusnya pernyataan itu keluar setelah bukti2 otentik diverifikasi, itulah ciri negara hukum dan berdemokrasi, kalau hanya mengumbar pernyataan publik dan berorasi tanpa ada bukti otentik, hal seperti itu dapat menyulut kebencian terhadap lembaga negara dan pemenang pilpres yang sudah ditetapkan oleh KPU.
Sesungguhnya KPU sudah memberikan waktu dan kesempatan kepada setiap capres untuk mengkoreksi hasil perhitungan suara, sekali lagi dengan sistem berjenjang. Dan negara bahkan memberikan kesempatan untuk melakukan banding kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku lembaga yang berwenang dalam menangani sengketa pilpres.
Tuduhan yang dilayangkan oleh kubu Prabowo bahwa terjadi kecurangan massive dan terakhir bahwa lebih dari 21 juta suara prabowo hilang karena "diretas" oleh hacker yang berasal dari Tiongkok dan Korea. Kalau kita melihat bahwa KPU tidak pernah mengumbar data hasil perhitungan suara dengan bentuk meta data, yang ada hanyalah hasil form C-1 berhologram yang dipindai (scanned) untuk kemudian diunggah ke situs KPU adalah bentuk transpransi yang dilakukan oleh KPU yang seharusnya dapat kita hargai!
Kenyataan bahwa rakyat Indonesia sudah memilih dan bahkan KPU sudah menentukan pemenang harusah diterima dengan lapang dada, menerima kekalahan sama agungnya dengan menjadi pemenang. Dan pemenang pilpres ini adalah rakyat bukanlah Jokowi. Pernyataan sikap menarik diri adalah aspirasi elit politik dan sikap arogansi yang berlebihan bukanlah suara rakyat, jangan mengorbankan rakyat untuk kepentingan elit politik.
Sekarang bukanlah saatnya untuk beradu otot, tetapi pikirkanlah kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam upaya bersaing dalam pasar bebas Asean / masyarakat ekonomi ASEAN, diperlukan kerja sama merata (100%) penduduk Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Kemenangan Jokowi bukanlah hanya untuk 53% pemilih, melainkan 100% penduduk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H