Tidak semua sekolah memiliki akses ke perangkat AI atau teknologi yang memadai. Akibatnya, ada kemungkinan siswa dari keluarga kurang mampu atau yang tinggal di daerah terpencil tidak mendapatkan keuntungan yang sama dari penggunaan AI dalam pembelajaran. Ini bisa memperlebar kesenjangan dalam kualitas pendidikan antara daerah yang lebih maju dan yang kurang berkembang.
Kaitannya dengan Teori Pembelajaran
Dalam konteks teori pembelajaran, pemanfaatan AI bisa dihubungkan dengan teori Constructivism atau Konstruktivisme, yang dikembangkan oleh para ahli seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Teori ini menekankan bahwa siswa membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksi langsung dengan lingkungannya. Dalam hal ini, AI dapat berperan sebagai media interaktif yang mendukung pembelajaran aktif, di mana siswa berinteraksi dengan soal atau simulasi matematika secara langsung. Ketika AI memberikan umpan balik otomatis dan menyesuaikan tingkat kesulitan soal sesuai dengan kemampuan siswa, hal ini sejalan dengan konsep Zone of Proximal Development (ZPD) Vygotsky. Dalam ZPD, siswa dapat menguasai keterampilan atau pengetahuan baru dengan bantuan yang terarah -- dalam hal ini bantuan AI yang memberikan dukungan adaptif sesuai kebutuhan siswa.
Selain itu, AI juga relevan dalam teori Self-Regulated Learning atau Pembelajaran Mandiri, yang menekankan bahwa siswa perlu memiliki keterampilan untuk mengatur, memantau, dan mengevaluasi proses belajarnya sendiri. Teknologi berbasis AI sering kali dirancang untuk membantu siswa menjadi pembelajar yang lebih mandiri, misalnya dengan melacak kemajuan mereka dan merekomendasikan area yang perlu diperbaiki. Dalam hal ini, AI berperan sebagai alat yang mendukung pengembangan keterampilan regulasi diri, yang sangat penting dalam pembelajaran matematika dan subjek lainnya.
Kesimpulan: Menggunakan AI dengan Bijak
Pada akhirnya, pemanfaatan AI dalam pembelajaran matematika membawa banyak manfaat, terutama dalam hal kebutuhan dalam belajar, bantuan bagi guru, dan menarik minat siswa. Namun, perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti guru atau proses pembelajaran yang sebenarnya. Untuk itu, baik guru maupun siswa harus menggunakan AI dengan bijak. AI sebaiknya dijadikan sebagai pendukung dalam pembelajaran, bukan sebagai pengganti.
Para siswa perlu diajarkan cara memanfaatkan AI untuk memperdalam pemahaman, bukan hanya sekadar mencari jawaban. Sementara itu, para guru bisa menggunakan AI sebagai asisten, namun tetap mempertahankan peran utama mereka dalam mengarahkan, menginspirasi, dan mendidik siswa.
Jadi, apakah AI baik atau buruk untuk pembelajaran matematika? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Jika digunakan dengan tepat, AI bisa menjadi alat yang berharga dalam pendidikan. Namun, jika kita terlalu bergantung padanya, kita bisa kehilangan esensi dari proses belajar itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H