Di sekolah ini, anak-anak bisa bermain dengan kambing, kelinci, juga ayam. Mereka bisa menyambangi kandang, memberikan makan, atau bahkan berhitung telur ayam. Mereka juga bisa menghabiskan paginya sebelum kelas dibuka dengan main ayunan, berlari-lari di lapangan, sepak bola dan main tangga tali. Sekolah sudah menjadi rumah kedua bagi mereka.
***
Ini untuk kedua kalinya saya datang ke Sekolah Tumbuh di bilangan Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Pertama kali saya datang tahun 2018 sudah terpesona dengan model pembelajaran di sekolah yang membuka jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA ini. Pun ketika saya kembali menyambangi pada akhir 2022, mengantar keponakan saya, Rayyan Luthfie Ahmad, siswa kelas V. Saya tidak mendapati perubahan dengan keramahan lingkungan sekolah. Saya masih bisa menikmati cerianya anak-anak bermain ayunan, sepak bola dan bergelayutan di tangga besi.
Mereka bukan sedang tidak belajar. Justeru itulah proses pembelajaran sedang berlangsung. Guru yang baru datang, segera menghampiri anak-anak yang sedang bermain bola. Menyapa siswa, lalu ikut menendang bola sesekali.

Ruang kelas memberikan pelajaran dalam dimensi berbeda. Membiasakan membaca buku, menulis dan berdiskusi kecil. Mengajari anak berani tampil di depan kelas, mengajari anak berani mengungkapkan pendapatnya. Mengajari anak untuk bisa bekerjasama.
Jangan tanyakan apakah anak dibebani buku-buku teks yang memenuhi tas sekolahnya. Jangan tanya pula soal jadwal pelajaran karena gambaran program sepekan ke depan, akan dikirim wali kelas di group whatsapp orang tua siswa setiap Jumat siang.
Sejak awal, sekolah ini memberlakukan pembelajaran berbasis proyek. Sehingga setiap materi pembelajaran, disusun dan didiskusikan oleh anak bersama kelompoknya dalam bimbingan guru.
Belajar tentang tata surya misalnya, anak didorong untuk memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarnya sebagai media ilustrasi. Belajar tentang obat herbal, maka anak akan diajak untuk membuat proyek minuman herbal.
Pun ketika anak belajar tentang mahluk hidup. Anak diminta untuk melakukan pengamatan lalu mempresentasikan bagaimana mahluk hidup yang dipilih sebagai proyeknya bertahan hidup, berkembang biak dan seluk beluk kehidupan lainnya.
Uniknya, setiap selesai pembahasan satu tema, orang tua diundang datang ke kelas guna menyaksikan presentasi dari anak-anak.

Tidak hanya itu, sekolah ini juga mencoba membantu menggali potensi setiap anak didik. Maka yang kemudian terjadi, beberapa anak sudah menemukan dunianya. Salah satunya Rayyan Luthfie Ahmad, keponakan saya ini. Hobinya pada dunia entertainment telah mengantarkannya menjadi seorang artis. Sekolah mendukungnya melalui proyek teater, hingga akhirnya Rayyan berhasil membintangi puluhan film, tidak hanya film pendek untuk festival, film dokumenter atau iklan, tetapi juga tampil di layar lebar bersama sejumlah artis ternama.
Memori Menjadi Guru
Saya ingat betul, awal datang ke Jakarta tahun 1997 sempat mencoba profesi guru. Saya mengajar di sebuah SMP dan SMA swasta di bilangan Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan. Sekolah dengan input siswa yang IQ-nya sedang-sedang saja, bahkan ada yang berkategori sulit menangkap pelajaran.
Soal bandel, itu sudah biasa. Dalam sehari, saya pasti mendapati satu atau dua siswa yang kepergok melakukan pelanggaran. Mulai dari merokok, baju tidak dimasukkan, terlambat jam pelajaran, membolos, tidak mengerjakan PR atau rambut gondrong sampai terlibat tawuran.
Saya menghadapi keunikan setiap siswa dengan cara berbeda. Seringkali saya mengajar tidak berdasarkan buku teks. Saya mengajak mereka 'nongkrong' di kantin untuk belajar tentang ekonomi mikro (UMKM). Atau pernah juga saya mengajak mereka jalan-jalan ke Pulau Tidung Besar Kabupaten Kepulauan Seribu untuk belajar tentang potensi ekonomi laut. Hasilnya? Mereka lebih mudah menangkap materi pelajaran saya.

Terhadap siswa bermasalah, hukuman lebih kepada pengayaan pelajaran melalui tugas-tugas tambahan. Saya berprinsip bahwa nahkoda yang tangguh tidak pernah lahir dari laut yang tenang. Demikian juga dengan guru. Guru yang tangguh lahir dari banyaknya persoalan yang dihadapi di lapangan. Guru yang hebat tidak pernah lahir jika tidak ada murid bermasalah. Dan itulah yang menguatkan saya sebagai guru.
Namun sayangnya, hobi menulis mendorong saya untuk meninggalkan dunia mengajar. Saya hanya bertahan dua tahun menjadi guru, untuk selanjutnya menekuni dunia tulis menulis. Passion saya memang tidak di sana, tidak di lingkungan sekolah, tidak di depan kelas.
Sepakat dengan Mas Menteri
Saya memang tidak lagi menjadi guru. Tetapi ketika mengikuti episode demi episode dalam Semarak Merdeka Belajar yang diinisiasi Mendikbudristek Nadiem Makarim yang akrab disapa Mas Menteri sejak 2020, saya seperti mendapati mimpi jadi kenyataan.
Dari 24 episode Merdeka Belajar, saya tertarik dengan Kurikulum Merdeka. Saya tidak melihat peluncuran kurikulum ini sebagai latah ganti menteri ganti kurikulum. Justeru yang saya tangkap adalah keinginan Mas Menteri untuk mengobati 'penyakit' dunia pendidikan dengan cara mengembalikan sekolah sebagai dunianya anak-anak.
Apalagi kurikulum ini meluncur di tengah pandemi, di mana dunia pendidikan tengah mengalami kesuraman. Tak sebatas problem klasik seperti rendahnya tingkat literasi dan numerasi siswa, buruknya infrastruktur, tetapi juga kemunculan pandemi yang membuat model pembelajaran harus beradaptasi dengan teknologi.
Kurikulum Merdeka menjadi obat mujarab ketika satuan pendidikan, guru, peserta didik dan orang tua bingung, harus bagaimana belajar di tengah pandemi. Kurikulum Merdeka datang dengan aturan yang sangat fleksibel. Membebaskan peserta didik, orang tua dan guru dari belenggu yang disebut target nilai dan mengubah ke paradigma penggalian potensi diri siswa melalui profil Pelajar Pancasila. Kurikulum ini sekaligus merevisi atas proses pembelajaran yang bertahun-tahun menjauh dari konsep pendidikan yang digagas Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yakni Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara mengibaratkan sekolah sebagai sebuah taman yang indah, yang bisa dijadikan arena bermain anak-anak. Sebagaimana taman, maka semua anak yang masuk ke dalamnya pasti akan merasa nyaman, senang, dan gembira.

Sayangnya fakta di lapangan, ambisi untuk meraih prestasi akademik, gelar juara, dan lainnya seringkali menyulap taman sekolah menjadi neraka. Ambisi menjadi sekolah unggulan, seringkali mengabaikan bahwa anak lahir dengan potensi dan bakat yang beragam. Mestinya penghargaan diberikan untuk semua kelebihan mereka dan bukan hanya untuk anak dengan prestasi akademik dan saintek yang menjulang. Bukankah jaman kolonial sudah berlalu jauh? Bukankah mimpi anak-anak menjadi dokter atau insinyur sudah bergeser menjadi youtuber dan konten kreator? Kurikulum Merdeka datang menjadi oase di padang nan tandus sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia.
Saya melihat, penghargaan yang ditawarkan Kurikulum Merdeka terhadap keragaman dan potensi individu sungguh luar biasa. Bisa jadi, kurikulum ini lahir tidak hanya terinspirasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga pemikiran psikolog asal Amerika Serikat Howard Gardner. Psikolog yang banyak jadi referensi para pendidik ini memandang kecerdasan anak bukan sekadar kemampuan untuk mengenal angka dan cakap berhitung, tetapi juga mencakup banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian disebutnya kecerdasan majemuk (multiple intellegences) seperti kecerdasan musikal, naturalis, linguistik, visual spasial, dan lainnya.
Melalui teori ini Gardner mengingatkan bahwa orang tua tidak dapat hanya mengandalkan nilai rapor untuk mengetahui kecerdasan anak. Ketika anak tidak menunjukkan kemampuan mengagumkan dalam pelajaran berhitung, misalnya, bisa jadi anak memiliki kecerdasan lebih tinggi pada aspek lain. Intinya, jangan sampai makna kecerdasan menjadi terbatas. Sebab pada kenyataannya, dalam diri setiap anak memiliki potensi yang bisa dikembangkan.
Belajar Jadi Lebih Bermakna
Setahun lebih Kurikulum Merdeka diterapkan, banyak sekolah yang merasakan perbedaannya. Sebut saja Taman Firdaus, guru SMAN 1 Kota Bima, NTB. Mengutip laman kemdikbud.go.id, Firdaus memuji bagaimana kehadiran Kurikulum Merdeka menjadikan pembelajaran di sekolah jauh lebih bermakna. Kurikulum ini lahir dengan prinsip yang memerdekakan, memberdayakan, dan menguatkan kolaborasi. Dari sisi gurunya, kata Firdaus, diberikan ruang untuk merencanakan pembelajaran berlandaskan dari kebutuhan nyata para peserta didik.
"Jadi bukan soal sekadar bagaimana memerdekakan murid dalam belajar, tetapi bagaimana seorang guru itu dapat berdaya terlebih dahulu dalam merencanakan rancangan pembelajaran yang bermakna. Intinya guru harus melakukan pemetaan dan kebutuhan belajar peserta didiknya," katanya.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka hadir sebagai bagian memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi setiap anak. "Kami berharap setiap anak dapat menemukan cara terbaik bagi dirinya untuk tumbuh dan berkembang, tentunya atas bimbingan guru," jelas Suharti dikutip dari Webinar Kompasiana.

Kehadiran Kurikulum Merdeka lanjutnya bukan untuk mempersulit guru, tetapi untuk mempermudah proses pembelajaran. Setiap guru dapat menciptakan suasana belajar yang interaktif, bermakna, mendalam, menggembirakan, sehingga anak merasa menemukan dunia belajarnya.
Memang untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai, guru berkualitas, dan biaya yang tidak sedikit. Itu mengapa Merdeka Belajar membidik transformasi pendidikan dari hulu sampai ke hilir, dalam satu kesatuan yang utuh yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari kurikulumnya, sistemnya, satuan pendidikannya, gurunya hingga pembiayaannya.
Jantungnya Pendidikan
Semarak Merdeka Belajar dengan 24 episode, Kurikulum Merdeka memang tergolong paling seksi dan banyak diperbincangan orang. Dari obrolah di warung kopi, hotel berbintang, forum akademik hingga para nitizen di dunia maya. Apa pasal? Ya, Kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Sebagaimana jantung pada manusia, maka kurikulum juga berfungsi menjaga denyut nadi pembangunan pendidikan, agar tidak lunglai apalagi mati.
Menurut saya, Kurikulum Merdeka lahir bukan semata ambisi Mas Menteri. Ini adalah hasil racikan apik para akademisi, pelaku industri, pengamat edukasi, dan beragam profesi yang berada dalam ekosistem pendidikan. Mereka duduk satu meja, membahas bersama, meramu bersama, dan berkolaborasi membidani lahirnya Kurikulum Merdeka.
Toh sebenarnya, kurikulum yang semodel dengan Kurikulum Merdeka sudah diterapkan di sejumlah sekolah unggulan. Salah satunya Sekolah Tumbuh. Saya berpikir bahwa Mas Menteri ingin semua sekolah menerapkan model-model pembelajaran seperti yang ada dalam Kurikulum Merdeka, apapun namanya.
Mas Menteri bilang, Kurikulum Merdeka menjadi bentuk ikhtiar bersama semua pihak untuk mengejar ketertinggalan pembangunan bidang pendidikan. Bukankah pendidikan menjadi kunci penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045? Sepakat bukan?
Mampang Prapatan 26 Mei 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI