Dari 24 episode Merdeka Belajar, saya tertarik dengan Kurikulum Merdeka. Saya tidak melihat peluncuran kurikulum ini sebagai latah ganti menteri ganti kurikulum. Justeru yang saya tangkap adalah keinginan Mas Menteri untuk mengobati 'penyakit' dunia pendidikan dengan cara mengembalikan sekolah sebagai dunianya anak-anak.
Apalagi kurikulum ini meluncur di tengah pandemi, di mana dunia pendidikan tengah mengalami kesuraman. Tak sebatas problem klasik seperti rendahnya tingkat literasi dan numerasi siswa, buruknya infrastruktur, tetapi juga kemunculan pandemi yang membuat model pembelajaran harus beradaptasi dengan teknologi.
Kurikulum Merdeka menjadi obat mujarab ketika satuan pendidikan, guru, peserta didik dan orang tua bingung, harus bagaimana belajar di tengah pandemi. Kurikulum Merdeka datang dengan aturan yang sangat fleksibel. Membebaskan peserta didik, orang tua dan guru dari belenggu yang disebut target nilai dan mengubah ke paradigma penggalian potensi diri siswa melalui profil Pelajar Pancasila. Kurikulum ini sekaligus merevisi atas proses pembelajaran yang bertahun-tahun menjauh dari konsep pendidikan yang digagas Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yakni Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara mengibaratkan sekolah sebagai sebuah taman yang indah, yang bisa dijadikan arena bermain anak-anak. Sebagaimana taman, maka semua anak yang masuk ke dalamnya pasti akan merasa nyaman, senang, dan gembira.
Sayangnya fakta di lapangan, ambisi untuk meraih prestasi akademik, gelar juara, dan lainnya seringkali menyulap taman sekolah menjadi neraka. Ambisi menjadi sekolah unggulan, seringkali mengabaikan bahwa anak lahir dengan potensi dan bakat yang beragam. Mestinya penghargaan diberikan untuk semua kelebihan mereka dan bukan hanya untuk anak dengan prestasi akademik dan saintek yang menjulang. Bukankah jaman kolonial sudah berlalu jauh? Bukankah mimpi anak-anak menjadi dokter atau insinyur sudah bergeser menjadi youtuber dan konten kreator? Kurikulum Merdeka datang menjadi oase di padang nan tandus sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia.
Saya melihat, penghargaan yang ditawarkan Kurikulum Merdeka terhadap keragaman dan potensi individu sungguh luar biasa. Bisa jadi, kurikulum ini lahir tidak hanya terinspirasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga pemikiran psikolog asal Amerika Serikat Howard Gardner. Psikolog yang banyak jadi referensi para pendidik ini memandang kecerdasan anak bukan sekadar kemampuan untuk mengenal angka dan cakap berhitung, tetapi juga mencakup banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian disebutnya kecerdasan majemuk (multiple intellegences) seperti kecerdasan musikal, naturalis, linguistik, visual spasial, dan lainnya.
Melalui teori ini Gardner mengingatkan bahwa orang tua tidak dapat hanya mengandalkan nilai rapor untuk mengetahui kecerdasan anak. Ketika anak tidak menunjukkan kemampuan mengagumkan dalam pelajaran berhitung, misalnya, bisa jadi anak memiliki kecerdasan lebih tinggi pada aspek lain. Intinya, jangan sampai makna kecerdasan menjadi terbatas. Sebab pada kenyataannya, dalam diri setiap anak memiliki potensi yang bisa dikembangkan.
Belajar Jadi Lebih Bermakna
Setahun lebih Kurikulum Merdeka diterapkan, banyak sekolah yang merasakan perbedaannya. Sebut saja Taman Firdaus, guru SMAN 1 Kota Bima, NTB. Mengutip laman kemdikbud.go.id, Firdaus memuji bagaimana kehadiran Kurikulum Merdeka menjadikan pembelajaran di sekolah jauh lebih bermakna. Kurikulum ini lahir dengan prinsip yang memerdekakan, memberdayakan, dan menguatkan kolaborasi. Dari sisi gurunya, kata Firdaus, diberikan ruang untuk merencanakan pembelajaran berlandaskan dari kebutuhan nyata para peserta didik.
"Jadi bukan soal sekadar bagaimana memerdekakan murid dalam belajar, tetapi bagaimana seorang guru itu dapat berdaya terlebih dahulu dalam merencanakan rancangan pembelajaran yang bermakna. Intinya guru harus melakukan pemetaan dan kebutuhan belajar peserta didiknya," katanya.