SAYA sebenarnya sudah memiliki akun media sosial semacam Instagram, Twitter, Facebook dan Tiktok. Namun sejauh ini saya masih sekadar menjadi penikmat, lebih suka mengintip karya orang lain dibanding memberdayakan media sosial sendiri. Kalau pun bikin konten di Youtube, itu semata-mata membantu anak menyelesaikan tugas sekolah. Tak lebih. Entah mengapa.
Padahal dalam sehari, saya nyaris tak pernah absen membuka laman Facebook, buka Instagram dan kadangkala juga berselancar di channel YouTube dan TikTok. Lebih banyak untuk hiburan sih dibanding tujuan lain.
Tetapi gara-gara adikku si bontot Eta Fatmawati yang lagi keranjingan bikin konten di media sosialnya, akhirnya saya juga empat saudara saya lainnya jadi tertular virus ngonten, mendadak jadi coba-coba bikin konten. Sedikit-sedikit direkam, sedikit-sedikit dibikin konten. Beli getuk, beli serabi, bikin kopi, bikin nasi goreng. Apa saja aktivitas selama ngumpul mudik Idulfitri tahun ini, jadi obyek konten. Eh, ternyata asyik juga. Malah kadang kalau ada aktivitas yang unik, sengaja saya minta direkam dan dibikin konten.
Apalagi ketika satu konten yang diposting di media sosial panen viewers dan komen. Duh, rasanya puas banget. Padahal ditonton saja sudah bahagia banget apalagi disematkan emoji like. Walhasil, akhirnya saya juga 4 saudara saya yang lainnya jadi ikutan kecanduan bikin konten.
Cerita kecanduan bikin konten ini bermula ketika lebaran lalu saya mudik ke kampung halaman di Kebumen, berkumpul dengan lima saudara lainnya yang juga mudik dari kota berbeda. Ada yang dari Klaten, ada yang dari Bekasi, ada yang dari Jakarta, ada juga yang dari Yogyakarta.
Mudik, berkumpul bareng saudara, arisan keluarga, silaturahmi, hingga berwisata kuliner, makan bakso legendaris masa sekolah, beli getuk di ujung desa, beli lotek dekat gardu, antre beli serabi di pinggir kota, masak di dapur dengan tungku tanah, ke pasar tradisional berburu golak, mengupas kelapa dengan linggis sampai berburu buah ketapang sisa tupai di area pemakaman umum, sebenarnya tidak ada yang istimewa. Toh itu jadi rutinitas yang nyaris berulang kami lakukan setiap tahun jika kami ber-6 berkumpul pada musim mudik lebaran di rumah orang tua. Mengenang masa kecil kami di desa dalam didikan dan bimbingan orang tua sekian puluh tahun yang lalu.
Jadi istimewa, karena tahun ini semua momen ‘reuni’ dengan masa kecil itu dijadikan konten oleh adik saya Eta Fatmawati. Perempuan yang sehari-harinya mengelola perusahaan leasing milik keluarga tersebut memang lagi hobi ngonten alias bikin konten. Semua aplikasi dia punya. Cuma akun di TikTok yang memang paling banyak dipakai. Maka yang kemudian terjadi, semua kakaknya dijadikan artis dadakan. Semua aktivitas yang unik dijadikan konten. Sudah macam sutradara saja dia. Kadang kami sengaja diminta melakukan aktivitas sesuai arahannya, sesuai dengan angel (sudut pandang) yang ada dalam pikirnya.
Rekam gambar, edit-edit sedikit, pilih template lalu isi suara. Mau suara asli, mau suaranya Google, suara anak kecil dan lainnya. Sebentar kemudian sudah diposting ke akun TikTok adik saya, kadang ke Reels Instagram. Beberapa konten yang unik berhasil menyedot viewers yang cukup banyak, tapi beberapa lainnya sepi penonton.
Konten makan nasi goreng beralaskan daun jati yang diposting di TikTok misalnya, dalam dua hari saja sudah ditonton lebih dari 40 ribu viewers. Sebuah angka yang lumayan untuk konten kreator pemula macem adik saya. Bahkan katanya, gara-gara konten nasi goreng ini, akunnya sudah terbaca logaritma TikTok.
Padahal apa istimewanya makan nasi goreng beralaskan daun jati. Itu hanya kebiasaan masyarakat desa kami jaman dahulu, sekitar tahun 1975-an. Orang kondangan, biasanya pulang bawa nasi, lengkap dengan sayur tumis kacang atau buncis dan lauk dua potong tempe yang dibungkus daun jati. Entah mengapa masyarakat desa saya memilih pakai daun jati dari pada daun pisang yang memang lebih familiar atau besek bambu untuk membungkus nasi hajatan. Bisa jadi karena daun jati lebih mudah didapat dibanding daun pisang atau besek bambu yang mahal. Oh ya, desa kami bernama Kedungjati yang notabene memang banyak tumbuh pohon jati. Ini seriusan.