Berita kematian teman eks satu kantor yang berpisah 6 tahun lalu menghampiri ponsel saya pagi itu. Innalillahi'wainnailaihi rojiuun...Beberapa pekan sebelumnya, seorang kawan juga dikhabarkan berpulang, akhir 2022 pun demikian.Â
Satu per satu kawan saya yang dulu mejanya berdekatan dengan meja kerja saya, sering terlibat obrolan di ruang tamu kantor, atau ngobrol santai di kantin kantor sambil santap siang, kini satu persatu berpulang kepada Sang Pemilik Jiwa dan Kehidupan.
Saya? Menunggu giliran, entah kapan itu. Yang pasti waktu itu akan tiba. Karena sejatinya kematian itu tidak bisa dihindari. Semua mahluk bernyawa antre untuk menunggu gilirannya tiba.
Allah Subnahu watal dalam surat Ali Imran ayat 185 berfirman  (Kullu nafsin `iqatul mat, Artinya "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.
Meski kematian merupakan sesuatu yang pasti, namun tidak banyak orang yang siap untuk menghadapinya. Ibadah, sadaqoh dan kegiatan kebaikan lainnya pun mencoba ditunda, esok, dan esok lagi. Padahal waktu berjalan dengan cepat. Hari ini sebantar saja sudah berubah menjadi kemarin. Dan esok, tahu-tahu sudah berubah menjadi hari ini. Itulah waktu.
Kematian demi kematian itu jujur telah membuat saya berupaya mencari tahu bagaimana diri bisa bersiap untuk menghadapi kematian dengan jiwa yang ikhlas.Mencoba terus memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadah, berbaik sangka antar sesama, berbaik sangka kepada Allah dan lainnya terus saya coba lakukan. Pun silaturahmi, memohon maaf dengan sesame coba saya intensifkan.
Perenungan itu tidak selamanya mulus. Ada kalanya nafsu duniawi datang mengganggu, yang pada akhirnya penyakit esok dan esok datang menghampiri, menunda kebaikan yang rencana mau dilakukan.
Hingga pada suatu hari, saya mendapatkan kiriman puisi WS Rendra dari seorang teman. WS Rendra adalah seorang seniman yang lahir di Surakarta tahun 1935 yang memutuskan menjadi mualaf pada tahun 1970 disaksikan oleh Taufiq Ismail dan Ayip Rosidi. Sejak memeluk Islam, WS Rendra berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra.
Puisi terakhir WS Rendra yang dibuat sesaat sebelum meninggal dunia, benar-benar luar biasa. Membacanya saja, saya langsung menitikkan air mata, sesenggukan dan jatuh dalam sujud.
Inilah puisi WS Rendra untuk bahan renungan kita semua :
Hidup itu seperti UAP, Â yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap !!Â
Ketika Orang memuji MILIKKU,
aku berkata bahwa ini HANYA TITIPAN saja.
Â
Bahwa mobilku adalah titipan- NYA,
Bahwa rumahku adalah titipan- NYA,
Bahwa hartaku adalah titipan- NYA,
Bahwa putra-putriku hanyalah titipan- NYA ...
Â
Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,
MENGAPA DIA menitipkannya kepadaku?
UNTUK APA DIA menitipkan semuanya kepadaku.
Â
Dan kalau bukan milikku,Â
apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik- NYA ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh- NYA ?
Â
Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu MUSIBAH,
kusebut itu UJIAN,
kusebut itu PETAKA,
kusebut itu apa saja ...
Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah DERITA....
Â
Ketika aku berdoa,Â
kuminta titipan yang cocok dengan
KEBUTUHAN DUNIAWI,
Aku ingin lebih banyak HARTA,
Aku ingin lebih banyak MOBIL,
Aku ingin lebih banyak RUMAH,
Aku ingin lebih banyak POPULARITAS,
Â
Dan kutolak SAKIT,
Kutolak KEMISKINAN,
Seolah semua DERITA adalah hukuman bagiku.
Â
Seolah KEADILAN dan KASIH-NYA, Â
harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.Â
Â
Aku rajin beribadah,Â
maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,
Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku ...
Â
Betapa curangnya aku,
Kuperlakukan DIA seolah Mitra  Dagang kuÂ
dan bukan sebagai Kekasih !
Â
Kuminta DIA membalas perlakuan baikkuÂ
dan menolak keputusan- NYA yang tidak sesuai dengan keinginanku ...
Â
Padahal setiap hari kuucapkan,
"Hidup dan Matiku, Hanyalah untuk-MU"
Â
Mulai hari ini,Â
ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaanÂ
dan menjadi bijaksana,Â
mau menuruti kehendakMU saja ya ALLAH ...
Â
Sebab aku yakin....
ENGKAU akan memberikan anugerah dalam hidupku ...
KEHENDAKMU Â adalah yang ter BAIK bagiku ..
Â
Ketika aku ingin hidup KAYA,Â
aku lupa,Â
bahwa HIDUP itu sendiriÂ
adalah sebuah KEKAYAAN.
Â
Ketika aku berat utk MEMBERI,
aku lupa,Â
bahwa SEMUA yang aku miliki
juga adalah PEMBERIAN.
Â
Ketika aku ingin jadi yang TERKUAT,Â
....aku lupa,Â
bahwa dalam KELEMAHAN,
Tuhan memberikan aku KEKUATAN.
Â
Ketika aku takut Rugi,Â
Aku lupa,
bahwa HIDUPKU adalahÂ
sebuah KEBERUNTUNGAN,
kerana AnugerahNYA.
Â
Ternyata hidup ini sangat indah, ketika kita selalu BERSYUKUR kepada NYA
Â
Bukan karena hari ini INDAH kita BAHAGIA.Â
Tetapi karena kita BAHAGIA,
maka hari ini menjadi INDAH.
Â
Bukan karena tak ada RINTANGAN kita menjadi OPTIMIS.Â
Tetapi karena kita optimis, RINTANGAN akan menjadi tak terasa.
Â
Bukan karena MUDAH kita YAKIN BISA.Â
Tetapi karena kita YAKIN BISA.!
semuanya menjadi MUDAH.
Â
Bukan karena semua BAIK kita TERSENYUM.Â
Tetapi karena kita TERSENYUM, maka semua menjadi BAIK,
Â
Tak ada hari yang MENYULITKAN kita, kecuali kita SENDIRI yang membuat SULIT.
Â
Bila kita tidak dapat menjadi jalan besar,Â
cukuplah menjadi JALAN SETAPAKÂ
yang dapat dilalui orang,
Â
Bila kita tidak dapat menjadi matahari,Â
cukuplah menjadi LENTERAÂ
yang dapat menerangi sekitar kita,
Â
Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang,Â
maka BERDOALAH untuk
kebaikan.
Terimakasih Bung, puisi ini membantu saya untuk terus introspeksi diri, membangun rasa syukur dan ikhlas menerima takdir. Puisi ini membantu mengenyahkan rasa frustasi, yang kadang saya berburuk sangka kepada Allah.
Mampang Prapatan, 27 Januari 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI