Judul filmnya Anak Titipan Setan. Sekilas memang mengesankan ini film yang menakutkan yang lekat dengan adegan-adegan hantu pocong, darah, dan kematian. Namun ketika menonton film ini, atmosfer menyeramkan perlahan sirna. Adegan horor berhasil dibungkus sedemikian rupa sehingga tampil lebih 'soft' dan 'bersahabat' bagi si penakut.
Film yang diangkat dari kisah nyata yang pernah diliput oleh sang sutradara Erwin Arnada yang notabene pernah berprofesi sebagai wartawan tersebut boleh dikata berhasil mengantarkan pesan moral yang dibawanya yakni tentang betapa besarnya risiko yang diambil oleh seseorang yang bersekutu dengan setan ketika menginginkan kekayaan. Pesan moral lainnya bahwa mencari kekayaan dengan cara pesugihan 'bermain dengan penguasa gelap' itu tidak langgeng dan membawa konsekuensi yang besar baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Taruhannya nyawa, juga kematian yang tragis bagi pelakunya.
Meski model-model mencari kekayaan dengan cara pesugihan sudah tak lazim di zaman serba digital seperti sekarang ini, namun bukan berarti tradisi tersebut sudah sirna 100 persen dari muka bumi. Ada banyak desa yang belum tersentuh peradaban yang masih mempraktikkannya. Bukan tidak mungkin, praktik tersebut masih ditemukan di wilayah Indonesia.
Film ini dibuka dengan potongan adegan yang menakutkan di sebuah sudut ruang kamar tidur. Dialog antara seorang perempuan (ibu) yang diperankan oleh Annisa Hertami, anak (Dhika) yang diperankan oleh Rayyan Al Mathor dan pria bernama Mono (ayah) yang diperankan oleh Ibnu Gundul mampu membawa penonton memasuki ruang horor yang coba disuguhkan film ini pada sepanjang kisahnya.
Suasana horor diperkuat dengan potret alam pedesaan yang kental dengan bau mistis, sunyi dan terisolir. Juga rumah yang digunakan, joglo dengan bangunan yang tua termasuk perabotannya.
Rayyan Al Mathor memang hanya tampil pada bagian awal film. Namun kehadiran bocah 10 tahun tersebut justeru menjadi penting sebagai alat komunikasi antara sutradara dengan para penonton. Bahwa Dhika, tokoh yang diperankan, sudah diganggu dengan bayang-bayang jaran penoleh (kuda) sebelum kematiannya menjemput. Kematian Dhika ini kemudian disusul oleh kematian sang ayah dengan cara gantung diri.
Dari kematian Dhika yang mendadak dan terkesan aneh inilah, kemudian sang ibu (Sari) mampu membaca berbagai kejanggalan yang dilakukan oleh sang ibu mertua (Eyang Susana) yang diperankan oleh Ingrid Widjanarko. Berbagai upaya pencarian informasi pun dilakukan oleh Sari, hingga kemudian dibantu oleh sang pakdhe, berhasil membuka 'kamar rahasia' sang mertua.
Ya, dari kamar rahasia inilah, Sari tahu bahwa kematian demi kematian memang berhubungan dengan kekayaan sang mertua yang tiba-tiba menjadi berlimpah. Tak hanya usaha batiknya yang maju, tetapi sang mertua juga semakin disegani dan ditakuti oleh warga sekitar. Kekayaan, kekuasaan dan kewibawaan.
Namun menjelang tahun ke-10 dimana tumbal nyawa seorang anak yang memiliki pertalian darah harus kembali dipersembahkan, bisnis batik mertuanya mulai meredup. Sadar bahwa waktu untuk memberikan tumbal sudah dekat, Eyang Susana pun meminta anak perempuannya bernama Putri (diperankan oleh Gissel Anastasia) yang mukim di Australia untuk pulang. Melalui surat yang dituliskan, Susana meminta agar Putri pulang ke tanah air sambil membawa anaknya, Azka. Sayang, surat itu tak pernah diterima oleh Putri hingga waktu persembahan tumbal pun berlalu.
Gagal mempersembahkan tumbal, kesehatan Eyang Susana semakin memburuk. Bisnis batiknya kolaps. Menjelang kematiannya tersebut Putri pulang bersama Azka. Namun semua sudah terlambat. Eyang Susana yang sudah bersekutu dengan setan akhirnya menemui ajalnya setelah sebelumnya sempat mewariskan seluruh hartanya untuk Putri, disaksikan oleh Sari.
Kematian ibu mertuanya yang mengerikan tidak lantas membuat Sari takut dan kapok untuk bersekutu dengan setan. Ia bahkan memutuskan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh ibu mertuanya, bersekutu dengan iblis jaran penoleh. Sari yang sudah kehilangan anak semata wayangnya dan suami, bertekad ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan gelimang harta.
Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Sari yang sudah terikat perjanjian dengan iblis jaran penoleh, gagal mempersembahkan Azka, anak semata wayang Putri sebagai tumbal. Sari pun menemui ajal dengan cara yang tragis.
Film Anak Titipan Setan ini menurut pengakuan Gissel menjadi film bergenre horor yang pertamakali dperankan. Meski demikian dengan bantuan seluruh kru, Gissel mampu tampil dengan sempurna terutama saat menampilkan adegan ketakutan demi ketakutan.
Film ini berlatar Desa Meloyo Kidul, Surakarta dan shooting dilakukan di Sleman, Yogyakarta selama 17 hari. Selain Gissel Anastasia, Ingrid Widjanarko, Anisa Hertami, Nano Asmorodono dan Rayyan Al Mathor, film ini juga menampilkan pemain antara lain Soeyik, Nano Asmorodono, Gabriel Alion Bivolaru, Abimanyu, Hasna Carissa Shofiyah, Oliveana Kaneishia Nugroho, Petra Ferdinandus dan Shalom Ferdinandus,
Anak Titipan Setan merupakan film yang diproduksi oleh Produksi Film Negara (PFN) bekerjasama dengan Jaman Studio dengan durasi 108 menit. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton, bukan saja alur ceritanya yang mudah dipahami, tetapi juga seluruh adegan yang berhasil ditampilkan apik oleh kru pemain dapat menjadi media pembelajaran bagi mereka yang tengah menekuni dunia perfilman atau sinematografi.
Lebih dari itu, film ini meyampaikan pesan penting bahwa mencari kekayaan tidak boleh dilakukan dengan jalan menghalalkan segala cara.
Mampang Prapatan 16 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H