Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Rela Bolak-Balik Pulang 3 Jam Sekali demi Menyusui Si Bayi

7 Oktober 2022   20:50 Diperbarui: 20 Oktober 2022   08:54 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemberian ASI eksklusif, manfaat ASI bagi bayi, manfaat ASI bagi ibu, manfaat ASI eksklusif bagi bayi dan ibu (Shutterstock/GOLFX)

Bersyukur saya bisa memberikan ASI kepada dua anak hingga usia 2 tahun. Malah lebih sepertinya. Meski proses pemberian ASI tersebut tidak berjalan sempurna, terutama untuk anak sulung. Ada waktu sepekan saya 'kecolongan' akibat kurang pahamnya saya waktu itu tentang inisiasi dini ASI.

Usai melahirkan, saya mendapati si bayi sudah diberikan susu formula oleh entah suster, entah bidan. Tetapi yang saya heran si dokter yang menangani saya anteng, tidak mencoba menegur. Padahal si dokter seorang spesialis yang cukup punya nama dengan gelar tiga biji di belakang namanya,

Alasan di bidan, waktu itu katanya ASI saya belum tentu langsung keluar. Padahal si bayi harus segera diberikan susu. 

Nah, saking nggak pahamnya, saya nurut saja. Padahal bayi bisa bertahan hingga 24 jam tanpa ASI pasca lahir. Katanya begitu, saya sendiri kurang paham.

Masalah kemudian timbul ketika si bayi sudah pulang ke rumah, ternyata tidak mau menyusu. Sedih, karena produk ASI saya sudah mulai melimpah ruah. Setiap disodori ASI, si bayi menolak dan menangis. Ia lebih nyaman dengan dot susu formula.

Sedih pastilah. Betapa mubazirnya ASI saya. Tak kehilangan akal, saya pun memeras ASI, lalu mencoba menyuapi anak saya ASI dengan sendok, sedikit demi sedikit. 

Ketika lidahnya sudah mulai terbiasa, akhirnya saya berhasil memberikan ASI langsung dari sumbernya. Butuh waktu sekitar dua pekan untuk membuat lidah bayi saya menyukai ASI dibanding susu formula. Dan perjuangan saya berhasil. Bye-bye dot, selamat tinggal susu formula.

Anak kedua, beda masalah. Sejak bayi merah, ia langsung inisiasi dini ASI. Sudah pengalaman rupanya saya. Tetapi sebenarnya si dokter yang lebih utama yang terus menyemangati saya untuk memberikan ASI. 

Saya kebetulan pindah dan berganti dokter ketika hamil anak kedua. Tak mau lagi pakai dokter langganan anak pertama.

Problem anak kedua adalah muntah setelah sekian lama menyedot ASI. Entah kekenyangan entah ada masalah lain. Kata orangtua zaman dulu, si bayi lagi nyirami badan. Nggak masalah dan tidak berbahaya.

Sempat saya bawa ke dokter spesialis anak. Pun jawabnya sama, tidak masalah. Butuh kesabaran dan waktu supaya proses anak menyusu bisa optimal.

Karena tak banyak berubah setelah hampir tiga bulan, akhirnya saya bawa si bayi ke tukang urut. Entah diurut bagian mana, ternyata sejak itu aksi muntahnya berkurang.

Tetapi meski punya kebiasaan muntah, tak sekalipun saya menggantikan ASI dengan susu formula. Setiap muntah, saya akan memberikan ASI lagi. Begitu seterusnya sambil berhitung seberapa persen ASI dimuntahkan kembali. Jika hanya sepertiga atau seperempat bahkan setengahnya yang dimuntahkan, saya menganggap bayi dalam kondisi aman.

Ilustrasi ibu memberikan ASI (dokkemenkes)
Ilustrasi ibu memberikan ASI (dokkemenkes)

Memang soal pemberian ASI ini, ada peran penting dari kantor. Sebagai pekerja kantoran, waktu itu si bos memberikan saya izin untuk pulang lebih awal dari jam kantor selama masa ASI eksklusif. Selain itu sehabis dari lapangan, saya boleh menengok rumah untuk memberikan ASI pada si bayi.

Kebetulan saya memang memilih tinggal tak jauh dari kantor. Tujuannya agar saya bisa bolak balik pulang untuk menyusui setiap 3 jam sekali. Dan saya lulus, memberikan anak ASI ekslusif tanpa pernah menggunakan dot hingga lanjut anak usia 2 tahun lebih.

Baru memasuki usia 3 tahun, saya mengenalkan anak dengan susu formula. Pertimbangannya, karena produk ASI saya sudah jauh berkurang.

Oh ya, saya memang hampir tidak pernah memeras ASI kemudian menampungnya berbotol-botol dan menyimpan di freezer. Meski waktu itu saya sudah belajar ketrampilan menyimpan ASI.

Saya memilih tinggal dekat kantor agar bisa tiga jam sekali memberikan ASI langsung pada anak. Dan bersyukur semuanya lancar. Kantor mendukung, dan saya juga pantang menyerah meski untuk bolak balik rumah kantor tiap 3 jam sekali membutuhkan perjuangan.

Selama saya menyusui, tak sekalipun saya mengambil job ke luar kota. Itu berlangsung hingga si sulung usia 13 tahun dan si bungsu sudah 6 tahun. 

Pernah sekali waktu, saat si sulung usia 5 tahun, saya mencoba mengambil job ke Bandung dan menginap. Belum juga merebahkan badan, ketika tiba-tiba ART saya menelepon kalau anak saya menangis terus menanyakan sang ibu. Tak tega dengan anak, malam itu juga saya meluncur pulang naik travel. 

Sampai Jakarta sudah pukul 11 malam dan ketika saya sampai rumah, si kecil masih melek menunggu saya. Terharu? So pasti, rasanya campur aduk. Kangen dan merasa bersalah telah meninggalkannya.

Saya berani ambil job ke luar kota setelah anak sulung usia 13 tahun dan si bungsu sudah 6 tahun. Perjalanan pertama saya cuma ke Kota Yogyakarta, dengan pertimbangan kalau anak saya rewel, saya bisa langsung pesen tiket pesawat dan pulang Jakarta. Hahahaha, sebegitunya ya saya...

Meski sudah berani keluar kota, saya tetap membatasi diri, maksimal menginap 1 malam saja dan kota yang dikunjungi memiliki akses transportasi yang mudah. Waktu tempuh perjalanan pun yang masih di bawah 2 jam jika dengan pesawat.

Saya tidak tahu apakah ikatan emosi saya dengan anak-anak yang begitu dekat merupakan salah satu pengaruh menyusui langsung atau sebab lain. Yang jelas, sampai anak-anak sudah menginjak remaja, rasanya saya tidak tega kalau harus pergi jauh meninggalkan mereka dalam waktu lama.

Pada akhirnya lagi, anak-anak saya juga paling tidak suka diajak bepergian, wisata atau menginap di hotel. Bagi mereka, rumah jauh lebih nyaman dibanding hotel meski itu hotel bintang 5. Terutama karena di rumah ada saya, kata mereka.

Itulah mengapa, setiap bertemu dengan ibu muda, saya selalu menyemangati mereka untuk rela lelah, rela begadang, rela direpotkan selama masa pemberian ASI. 

Percayalah, momen-momen indah tersebut bakal terekam pada otak si kecil dan menjadi pengikat hubungan emosional antara anak dengan ibu dengan ikatan yang paling kuat dan mendekatkan.

Mampang Prapatan 7 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun