Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Banjir di Kecamatan Kebumen, Mengulik Sejarah Lembah Kedungbener

16 Maret 2022   12:17 Diperbarui: 17 Maret 2022   11:46 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir sebenarnya sudah jadi langganan desa saya di Kebumen, Jawa Tengah. Sejak kakek buyut saya belum lahir konon katanya. Kalau musim hujan, curah hujan di hilir (pegunungan) tinggi maka bisa ditebak, besok paginya desa saya berubah bak danau. Air merendam pada hampir separuh desa dengan ketinggian dari semata kaki hingga sedada orang dewasa.

Sungai Kedungbener yang membelah desa Jatisari seolah memuntahkan debit airnya hingga merambah masuk ke pemukiman warga. Herannya, jika banjir datang, saya dan juga anak-anak lainnya senang bukan kepalang. Selain boleh bolos sekolah, kami pun bisa bermain air sepuas hati sampai air banjir surut. Dari subuh hingga sore, tak jemu kami bermain air. Maklum, saat itu tidak ada kolam renang. Paling kalau kami mau berenang, menunggu air sungai Kedungbener rada surut saat musim kemarau tiba.

Maka kalau banjir, dari subuh tanpa dikomando, kami sudah mencari batang pohon pisang, ramai-ramai membuat rakit. Lalu menyiapkan jaring ikan, bubu bambu, pancing dan peralatan menangkap ikan lainnya. Kami bisa seharian pindah sana pindah sini mencari tempat yang punya potensi untuk sembunyi ikan. Hari yang sangat membahagiakan ditengah musibah banjir.

Dan memang benar, setiap banjir datang, ikan seperti bertebaran dimana-mana. Terutama jalan-jalan yang berada di pinggir hamparan sawah. Ikan kecil, dan kepiting, amat mudah kami dapatkan. Jadilah hari itu kami main bakar-bakaran ikan. Membakar ikan ala bocah kampung. Cukup dibungkus dengan daun pisang, dibumbui garam, lalu ditimbun bara api. Sekitar 30 menit kemudian, ikan sudah matang dan kami pun makan apa adanya tanpa nasi.

Percaya atau tidak, jika banjir datang melanda desa, bisa seharian kami nggak pulang ke rumah. Dan herannya tak satupun orang tua yang panik dan mencari anak-anaknya. Semua dianggap aman meski arus air terutama yang berbatasan dengan bibir sungai amat deras.

Bisa jadi, karena hampir setiap musim hujan desa kami selalu kebagian jatah banjir, semua warga seperti sudah bersahabat dengan banjir. Juga anak-anaknya.

Dan 30 tahun sudah berlalu. Saya yang kini telah berpindah dan tinggal di Jakarta, masih saja menerima 'laporan' banjir dari desa. Ketinggian air bervariasi, kadang kecil tetapi beberapa kali malah menyeramkan. Padahal Pemkab Kebumen sudah membangun tanggul sepanjang bibir sungai Kedungbener. Tujuannya untuk menghalau aliran sungai agar tidak masuk permukiman warga.

Oh ya, sungai Kedungbener yang melintas di desa saya sudah beberapa kali geser. Jebol sana jebol sini, longsor sana longsor ini, hingga garis aliran terus menjauh dari lokasi rumah saya. Duluuuuu ketika saya masih usia SD, jarak bibir sungai dengan rumah hanya sekitaran 200 meter. Sekarang hampir 1 KM. Jauh bukan, gesernya? Semua terjadi secara alami, karena derasnya debit air sungai. Walhasil di sekitaran rumah saya banyak muncul lahan-lahan bekas sungai yang kemudian kami sebut Kalimati.

Kini, ketika banyak daerah lain yang terkena musibah banjir, desa saya pun tak urung mendapatkan jatah rutin tahunan. Tak hanya ruas jalan di desa yang terendam banjir. Hamparan sawah yang tinggal setengah luasnya, juga berubah menjadi kubangan air berukuran raksasa. Sejauh mata memandang, hanya genangan air yang terlihat.

Saya sehari kemarin juga mendapatkan kiriman foto-foto kondisi banjir di desa. Lebih parah kini. Karena air hampir masuk ke rumah saya. Padahal sejak zaman saya masih kecil, air banjir nyaris tak pernah masuk rumah. Paling banter sampai halaman, itu pun hanya semata kaki.

Serambi masjid desa yang biasanya aman, kemarinan juga sudah tergenang air pada tangga serambi paling bawah. Itu berarti debit air banjir lebih besar di banding zaman saya masih kecil.

Perahu karet sudah siaga(dokpri)
Perahu karet sudah siaga(dokpri)

Saya juga mendapatkan kiriman foto perahu karet di halaman rumah dan petugas Bazarnas yang siaga di lokasi. Meski sudah terbiasa mengalami banjir di desa, melihat ada petugas bazarnas dan perahu karet, sadarlah bahwa banjir tahun ini bukan banjir yang wajar.

Banjir zaman saya masih kecil yang jelas sudah berbeda dengan banjir di masa kini. Tidak ada lagi panen ikan, tidak ada lagi bocah bermain rakit batang pisang, apalagi raut kegembiraan. Banjir kini sudah diwarnai dengan kecemasan, perahu karet dan siaganya petugas bazarnas. Terkadang malah ada pembagian mie instan..

Lembah Kedungbener

Desa saya bukan satu-satunya desa yang menjadi langganan banjir di wilayah Kebumen. Mengutip laman ekliptika.wordpress.com, sejumlah desa di kecamatan Kebumen memang telah menjadi langganan banjir ratusan tahun yang lalu. Ini terjadi karena sebagian wilayah kecamatan Kebumen berada pada lembah yang dialiri sungai Kedungbener.

Sungai Kedungbener yang merupakan anakan sungai terbesar dari Sungai Lukulo di Kabupaten Kebumen memiliki hulu di perbukitan Karangsambung. Lembah Kedungbener terletak di antara pegunungan Serayu Selatan. Lembah ini memanjang dari utara (perbukitan Karangsambung) hingga laut selatan Jawa. Sungai Kedungbener menghilir ke selatan dari mata airnya di perbukitan Karangsambung sembari mengumpulkan air dari anak-anak sungai lainnya.

Lembah Kedungbener bentuknya relative lurus, memanjang dari arah utara ke selatan sepanjang sekitar 8 Km. Lembah ini terletak d perbatasan timur Kota Kebumen, termasuk di antaranya adalah desa saya, Jatisari.

Masih mengutip laman ekliptika.wordpress, lembah ini konon merupakan ekspresi permukaan bumi dari sebuah sesar (patahan/fault) yang dinamakan sesar Kedungbener atau sesar Kedungkramat. Sesar ini membentang sepanjang sekitar 12 kilometer dengan arah utara-selatan dan terbentuk tak kurang dari 2 juta tahun silam sebagai patahan turun (normal fault). Pada bagian sisi kiri ambles dan kini menjadi lembah sesar (graben). Sebaliknya semua di sisi kanan tetap bertahan dan menjadi bukit sesar (horst).

Dalam geologi, masih dari laman yang sama, sesar yang aktif merupakan zona sumber gempa yang potensial. Sebuah sesar aktif senantiasa bergerak pada kecepatan tertentu meski hanya sebesar beberapa milimeter per tahun sebagai konsekuensi dari gaya-gaya yang bekerja pada batuan di sepanjang sesar. 

Pada suatu titik ia dapat tertahan demikian rupa sehingga melambat atau bahkan malah tak bergerak sama sekali hingga bertahun lamanya. Namun demikian gaya-gaya tersebut tetap bekerja secara terus-menerus, sehingga timbul akumulasi energi dan gaya.

Pada suatu saat, akumulasi gaya tersebut telah demikian besarnya sehingga melampaui daya dukung maksimum batuannya. Terjadilah pematahan secara tiba-tiba di sepanjang sesar dan energi yang tersimpan pun dilepaskan seketika sebagai getaran permukaan bumi, yang kita kenal sebagai gempa bumi.

Sesar Kedungbener masih aktif?

Dalam tulisan berjudul "Longsor dan Banjir Alian (Kebumen) November 2014, Sepotong Kisah Bumi dari Lembah Kedungbener" di laman tersebut disebutkan bahwa di masa silam Kebumen pernah diguncang gempa dengan magtudo cukup besar. Tetapi tidak diketahui apakah gempa tersebut bersumber dari pematahan segmen batuan di sesar Kedungbener atau sumber lainnya. 

Tetapi yang jelas, Kabupaten Kebumen merupakan daerah yang berhadapan langsung dengan zona subduksi lempeng Eurasia (Sunda) dan Australia yang berada di lepas pantai selatan Pulau Jawa. Kawasan ini menjadi salah satu sumber gempa tektonik dangkal dan kuat/besar di Indonesia.

Saya beberapa kali sempat berwisata ke pemandian air panas Krakal. Pemandian dengan bau belerang yang cukup menyengat tersebut berada di area pegunungan dibagian utara Kebumen. Mata air panas luah (debit) 10 liter per menit dan suhu rata-rata 40 derajat celcius dan tingkat keasaman (pH) 8 itu banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati keluhan penyakit kulit.

Air panas tersebut ternyata berasal dari reservoir alamiah yang terletak di kedalaman 1,1 kilometer dari permukaan tanah sejauh sekitar 500 meter ke utara-barat laut dari lokasi Pemandian Air Panas. Sumber air panasnya berasal dari magma yang menyelusup lewat salah satu titik di sesar Kedungbener namun terhenti di kedalaman 8 kilometer dari permukaan tanah dan membeku menjadi granit. Panas yang masih tersisa itulah yang memanaskan air di reservoir.

Selain keluar di Pemandian Air Panas, diduga reservoir yang sama juga memasok air panas dengan luah rendah ke dua lokasi, masing-masing ke Plumbon (hulu sungai Kedungbener) dan bendung Kaligending.

Gambaran sederhana irisan kulit Bumi di lokasi mataair panas Krakal, yang keberadaannya dipengaruhi oleh sesar Kedungbener (ist/ekliptika.wordpress.com)
Gambaran sederhana irisan kulit Bumi di lokasi mataair panas Krakal, yang keberadaannya dipengaruhi oleh sesar Kedungbener (ist/ekliptika.wordpress.com)

Pada artikel yang sama, juga disebutkan bahw survei geofisika pada gelombang elektromagnetik VLF (very low frequency) memperlihatkan reservoir yang sama pun memasok air panas ke bawah kantor kecamatan Alian. Hanya saja sampai kini di lokasi tersebut belum dijumpai jalan keluar ke permukaan tanah.

Saya kutip utuh tulisan di laman ekliptika.wordpress ya, mengingat soal beginian saya benar-benar awam. Sekaligus saya minta izin Bapak Muh. Ma'rufin Sudibyo, selaku pengelola laman ekliptika.wordpress.com untuk menggunakan artikelnya pada laman saya ini. Mohon izin....(sungkem)

Sesar Kedungbener muncul di kawasan yang secara tektonik telah demikian tercabik-cabik, sebagai bagian dari sejarah daratan Kebumen purba yang istimewa. Terbentuk jauh di kedalaman samudera di dekat palung laut, yang adalah tempat lempeng Australia purba bersubduksi dengan lempeng Eurasia purba, bebatuan Kebumen purba ditekan oleh gaya-gaya tektonik yang teramat kuat hingga tercabik-cabik begitu dahsyat. Di kemudian hari segenap bebatuan terangkat seiring dinamika pembentukan pulau Jawa dan lama kelamaan muncul ke atas permukaan laut. 

Pengangkatan intensif terjadi tatkala Jawa Tengah bagian selatan menjadi ajang koalisi dua sesar besar, masing-masing sesar besar Kebumen-Muria-Meratus yang berarah timur laut-barat daya dan sesar besar Cilacap-Pamanukan-Lematang yang berarah barat laut-tenggara. Aktivitas intensif kedua sesar besar tersebut, sebelum kemudian mati berjuta tahun silam, yang disusul dengan vulkanisme intensif yang mendongkrak bagian selatan pulau Jawa membuat bebatuan tersebut terangkat hingga lebih dari 2.000 meter dan membentuk wajah Kabupaten Kebumen seperti sekarang.

Sesar Kedungbener mengiris bebatuan tercabik-cabik itu, yang secara umum terbagi ke dalam satuan batuan sedimen formasi Waturanda (utara) dan Penosogan (selatan). Formasi Waturanda berumur 26 hingga 20 juta tahun silam, terdiri atas batu pasir vulkanik dan breksi vulkanik yang diendapkan di lingkungan laut dalam. Bebatuan dalam formasi ini secara kasat mata terlihat kasar. Sementara formasi Penosogan yang berumur 20 hingga 12 juta tahun silam tersusun oleh batu pasir, batu lempung, tuff, napal dan gamping kalkarenit setebal sekitar 1.000 meter yang diendapkan di lingkungan laut dangkal. 

Batuan dalam formasi ini secara kasat mata terlihat lebih halus. Meski telah membatu, namun cabikan-cabikan tektonik masa silam membuat bebatuan di sini relatif lebih lemah. Di formasi Penosogan, itu membuatnya mudah melapuk dan terburai kembali menjadi butir-butir pasir dan lempung. Hampir segenap kecamatan Alian ditutupi oleh sedimen formasi Waturanda yang permukaannya sudah melapuk membentuk tanah pelapukan setebal hingga 2 meter atau lebih. Keberadaan sesar kedungbener membuat bebatuan yang lapuk ini menjadi lebih riskan, karena sesar membuat bentang alam setempat menjadi berhias lereng-lereng dengan kondisi setengah terjal hingga terjal.

Tak heran jika Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMB) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang berkedudukan di Bandung menempatkan mayoritas wilayah Kecamatan Alian ke dalam zona rentan gerakan tanah menengah. Dengan demikian gerakan tanah, baik berupa tanah longsor maupun tanah merayap (soil creep), berpeluang terjadi di lembah sungai, tebing curam tepi jalan maupun gawir saat hujan lebat.

Membaca artikel ini, tahulah saya bahwa secara logika, tinjauan keilmuan, rasanya sulit untuk mengenyahkan banjir dari desa saya. Tetapi segala ikhtiar tentu perlu dilakukan sebagai bagian dari ketaatan kita terhadap Sang Pemiliki Kehidupan, Allah Azza Wa Jalla, Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung...

Semoga bermanfaat

Mampang Prapatan 16 Maret 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun