Banjir sebenarnya sudah jadi langganan desa saya di Kebumen, Jawa Tengah. Sejak kakek buyut saya belum lahir konon katanya. Kalau musim hujan, curah hujan di hilir (pegunungan) tinggi maka bisa ditebak, besok paginya desa saya berubah bak danau. Air merendam pada hampir separuh desa dengan ketinggian dari semata kaki hingga sedada orang dewasa.
Sungai Kedungbener yang membelah desa Jatisari seolah memuntahkan debit airnya hingga merambah masuk ke pemukiman warga. Herannya, jika banjir datang, saya dan juga anak-anak lainnya senang bukan kepalang. Selain boleh bolos sekolah, kami pun bisa bermain air sepuas hati sampai air banjir surut. Dari subuh hingga sore, tak jemu kami bermain air. Maklum, saat itu tidak ada kolam renang. Paling kalau kami mau berenang, menunggu air sungai Kedungbener rada surut saat musim kemarau tiba.
Maka kalau banjir, dari subuh tanpa dikomando, kami sudah mencari batang pohon pisang, ramai-ramai membuat rakit. Lalu menyiapkan jaring ikan, bubu bambu, pancing dan peralatan menangkap ikan lainnya. Kami bisa seharian pindah sana pindah sini mencari tempat yang punya potensi untuk sembunyi ikan. Hari yang sangat membahagiakan ditengah musibah banjir.
Dan memang benar, setiap banjir datang, ikan seperti bertebaran dimana-mana. Terutama jalan-jalan yang berada di pinggir hamparan sawah. Ikan kecil, dan kepiting, amat mudah kami dapatkan. Jadilah hari itu kami main bakar-bakaran ikan. Membakar ikan ala bocah kampung. Cukup dibungkus dengan daun pisang, dibumbui garam, lalu ditimbun bara api. Sekitar 30 menit kemudian, ikan sudah matang dan kami pun makan apa adanya tanpa nasi.
Percaya atau tidak, jika banjir datang melanda desa, bisa seharian kami nggak pulang ke rumah. Dan herannya tak satupun orang tua yang panik dan mencari anak-anaknya. Semua dianggap aman meski arus air terutama yang berbatasan dengan bibir sungai amat deras.
Bisa jadi, karena hampir setiap musim hujan desa kami selalu kebagian jatah banjir, semua warga seperti sudah bersahabat dengan banjir. Juga anak-anaknya.
Dan 30 tahun sudah berlalu. Saya yang kini telah berpindah dan tinggal di Jakarta, masih saja menerima 'laporan' banjir dari desa. Ketinggian air bervariasi, kadang kecil tetapi beberapa kali malah menyeramkan. Padahal Pemkab Kebumen sudah membangun tanggul sepanjang bibir sungai Kedungbener. Tujuannya untuk menghalau aliran sungai agar tidak masuk permukiman warga.
Oh ya, sungai Kedungbener yang melintas di desa saya sudah beberapa kali geser. Jebol sana jebol sini, longsor sana longsor ini, hingga garis aliran terus menjauh dari lokasi rumah saya. Duluuuuu ketika saya masih usia SD, jarak bibir sungai dengan rumah hanya sekitaran 200 meter. Sekarang hampir 1 KM. Jauh bukan, gesernya? Semua terjadi secara alami, karena derasnya debit air sungai. Walhasil di sekitaran rumah saya banyak muncul lahan-lahan bekas sungai yang kemudian kami sebut Kalimati.
Kini, ketika banyak daerah lain yang terkena musibah banjir, desa saya pun tak urung mendapatkan jatah rutin tahunan. Tak hanya ruas jalan di desa yang terendam banjir. Hamparan sawah yang tinggal setengah luasnya, juga berubah menjadi kubangan air berukuran raksasa. Sejauh mata memandang, hanya genangan air yang terlihat.
Saya sehari kemarin juga mendapatkan kiriman foto-foto kondisi banjir di desa. Lebih parah kini. Karena air hampir masuk ke rumah saya. Padahal sejak zaman saya masih kecil, air banjir nyaris tak pernah masuk rumah. Paling banter sampai halaman, itu pun hanya semata kaki.