Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Saya Pernah Tes Antigen Sehari Tiga Kali, Buat Apa?

8 Maret 2022   09:55 Diperbarui: 8 Maret 2022   10:04 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Colok hidung sebelum ikut kegiatan (dokpri)

Awal Februari lalu saya menggunakan moda transportasi kereta api jarak jauh menuju Kota Yogyakarta. Meski mengantongi tiket kereta api yang notabene dapat melakukan tes antigen dengan harga khusus, saya memilih melakukan tes antigen di klinik terdekat rumah. Selain pertimbangan tidak mau repot antre, selisih harga antigen di stasiun dengan klinik dekat rumah juga sudah relative kecil. Jika di stasiun saya bisa tes antigen dengan tariff Rp35 ribu, maka di klinik dekat rumah sedikit lebih mahal Rp59 ribu. Sebenarnya ada lagi yang lebih murah, di kawasan Jatinegara tes antigen hanya Rp25 ribu.

Hasil tes dalam bentuk hardcopy dan melalui aplikasi PeduliLindungi saya siapkan sebaik mungkin. Urgensinya sama dengan memegang tiket, jangan sampai ketinggalan.

Saya tiba di stasiun 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. Seperti halnya penumpang lain, saya sudah menyiapkan hasil tes antigen dalam bentuk aplikasi sebelum sampai ke meja pemeriksaan tiket. Cukup repot juga sih, secara tangan kanan sambil menarik tas koper dan tangan kiri menentang makanan siap saji, smartphone, KTP dan tiket hardcopy. Begitu sampai di meja pemeriksaan, petugas hanya memeriksa tiket dan KTP.

Sempat melongo bingung, mengapa hasil tes antigen tidak ditanyakan. Saya pun sejenak berdiri dekat eskalator, memperhatikan dari jauh calon penumpang lain yang sedang antre masuk. Fix, tidak ada yang diminta menunjukkan hasil tes antigen!

Saya tertawa dalam hati. Jadi ngapain repot-repot pakai tes kalau ujung-ujungnya nggak ditanyain petugas?

Sebenarnya soal tes antigen sudah mulai mengendur sebagai syarat 'berkumpul' sudah saya alami 3 bulan sebelumnya. Mungkin malah lebih. Ya, sekitar November-Desember 2021. Kisahnya ketika suatu hari saya ada agenda 'berkumpul' dalam satu forum di 3 tempat berbeda. Dua di hotel dan satu di gedung pemerintah.

Giat pertama saya dilakukan jam 10:00 WIB di sebuah hotel bintang 5 di kawasan Jakarta Selatan. Sebagai syarat masuk ruangan, saya menjalani prosedur tes antigen. Hasilnya negative, Alhamdulillah.

Jam 12:00 WIB saya geser ke lokasi pertemuan lain di kawasan Jakarta Barat. Lagi-lagi di hotel berbintang 4. Saya pun kembali diminta menjalani prosedur test antigen. Meski saya menunjukkan hasil test antigen baik dalam bentuk hardcopy maupun aplikasi PeduliLindungi yang baru dilakukan 2 jam lalu, penyelenggara tetap meminta saya untuk menjalani prosesi tes antigen. Baiklah, saya nurut meski merasa janggal sih.

Pada jam 15:00 WIB saya ada undangan untuk menghadiri diskusi publik di sebuah gedung pemerintah. Lagi-lagi saya diminta tes antigen. Padahal di tangan saya tergenggam dua hardcopy hasil tes antigen hari itu. Selisih antar tes antigen masing-masing sekitaran 2 jam. Jadi, hari itu hidung saya kanan kini dicolok 6 kali. Hahahaha...Saya iseng cek aplikasi dan laporan hasil tes antigen yang tertera adalah hasil tes pertama. Tes kedua dan ketiga entah dilaporkan ke aplikasi mana.

Pengalaman lain, ketika saya ada giat di kantor pemerintahan. Sebelum masuk ke ruangan, wajib semua peserta menjalani prosedur tes antigen. Saya nurut, dan mengikuti tes yang digelar di samping pintu masuk ruang pertemuan.

Usai colok hidung, belum juga 5 menit, petugas sudah menyerahkan hasil tes colok hidung saya dalam bentuk alat tes (benda plastik pipih berbentuk panjang). Saya melihat garis satu yang artinya negatif. Tidak ada hardcopy hasil tes, apalagi masuk ke aplikasi PeduliLindungi. Petugasnya menyodorkan hasil tes dalam bentuk fisik alat tes sambil berpesan untuk menunjukkan ke petugas penerima tamu di depan ruang pertemuan. "Tunjukin saja, nanti hasil tesnya bisa ibu bawa pulang," pesannya.

Lucunya lagi, si petugas tes antigen tidak mengenakan baju hazmat sebagaimana biasanya. Dua petugas hanya mengenakan baju seragam panitia, ditambah pakai sarung tangan karet dan masker kesehatan. Mungkin memang si petugas yakin semua peserta yang datang dalam kondisi sehat wal afiat. Atau mungkin juga Covid-19 tidak lagi seseram awal-awal masuk ke Indonesia.

Saya lantas menyimpulkan bahwa tes antigen yang bikin hidung mendadak bersin, mendadak berair sudah tak lagi untuk monitor penularan Covid-19. Tetapi lebih kepada seremoni kegiatan saja. Tak peduli hasil sebenarnya. Karena jika awal-awal pandemi, dari ratusan yang ikutan tes pasti ada yang reaktif atau positif. Belakangan, meski yang di tes lebih dari 100 orang, semua dijamin negative.

Jadi ketika kemudian ada kebijakan tidak lagi wajib tes antigen/PCR untuk perjalanan domestic, itu memang hanya menunggu waktu saja. Meski laporan Covid-19 varian omicron masih belum juga dihentikan, pengenduran protokol kesehatan perlahan mulai dilakukan dilini transportasi publik.

Hasil fisik tes antigen(dokpri)
Hasil fisik tes antigen(dokpri)

Sekarang jika kita naik transportasi publik, soal jarak aman alias sosial distancing tidak lagi diberlakukan. Meski gambar kaki di lantai alat transportasi maupun tanda silang besar di bangku penumpang masih ada yang belum dihilangkan. KRL, MRT, TransJakarta, pesawat dan bus-bus antarkota, sudah diisi full penumpang. Aturan 50 persen sudah lama dilanggar.

Monitoring jumlah penumpang maksimal 50 persen juga tidak lagi ditaati penyelenggara transportasi. Buktinya kepadatan penumpang sudah mulai termonitor di hampir semua transportasi publik.

Hanya saja, di tengah pelonggaran aturan prokes pada alat transportasi publik, lembaga pendidikan naik itu sekolah maupun kampus masih taat pada aturan lama. Tetap on off setiap saat, hanya boleh 50 persen siswa masuk, jika ada kasus satu saja warga sekolah terkena Covd-19 maka seluruh kelas langsung di tutup.

Lelah? Pasti! Secara saya juga ibu-ibu yang lain mungkin sudah mulai kembali ke aktivitas normal, bekerja dan berkumpul dengan warga lainnya. Pendampingan dan pengawasan pada anak selama PJJ sudah tidak bisa dilakukan.

Di tengah makin tidak jelasnya gaya belajar anak, saya juga ibu-ibu yang lain juga menunggu kapan persyaratan on off, 50 persen dan lainnya di sekolah tidak lagi diberlakukan. Percayalah, orang yang terkena omicron jumlahnya jauh lebih besar dibanding yang dipublikasikan. Sebab masyarakat sudah menganggap kena omicron itu setara dengan kena flu biasa dan obatnya cukup istirahat, makan bergizi dan minum vitamin.

Maka jika perjalanan domestik sudah tak perlu lagi tes antigen apalagi PCR, selayaknya persyaratan prokes di sekolah pun diperlonggar.

Jaga kesehatan, jangan lupa terus berdoa....Salam sehat!

Mampang Prapatan 8 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun