Usai colok hidung, belum juga 5 menit, petugas sudah menyerahkan hasil tes colok hidung saya dalam bentuk alat tes (benda plastik pipih berbentuk panjang). Saya melihat garis satu yang artinya negatif. Tidak ada hardcopy hasil tes, apalagi masuk ke aplikasi PeduliLindungi. Petugasnya menyodorkan hasil tes dalam bentuk fisik alat tes sambil berpesan untuk menunjukkan ke petugas penerima tamu di depan ruang pertemuan. "Tunjukin saja, nanti hasil tesnya bisa ibu bawa pulang," pesannya.
Lucunya lagi, si petugas tes antigen tidak mengenakan baju hazmat sebagaimana biasanya. Dua petugas hanya mengenakan baju seragam panitia, ditambah pakai sarung tangan karet dan masker kesehatan. Mungkin memang si petugas yakin semua peserta yang datang dalam kondisi sehat wal afiat. Atau mungkin juga Covid-19 tidak lagi seseram awal-awal masuk ke Indonesia.
Saya lantas menyimpulkan bahwa tes antigen yang bikin hidung mendadak bersin, mendadak berair sudah tak lagi untuk monitor penularan Covid-19. Tetapi lebih kepada seremoni kegiatan saja. Tak peduli hasil sebenarnya. Karena jika awal-awal pandemi, dari ratusan yang ikutan tes pasti ada yang reaktif atau positif. Belakangan, meski yang di tes lebih dari 100 orang, semua dijamin negative.
Jadi ketika kemudian ada kebijakan tidak lagi wajib tes antigen/PCR untuk perjalanan domestic, itu memang hanya menunggu waktu saja. Meski laporan Covid-19 varian omicron masih belum juga dihentikan, pengenduran protokol kesehatan perlahan mulai dilakukan dilini transportasi publik.
Sekarang jika kita naik transportasi publik, soal jarak aman alias sosial distancing tidak lagi diberlakukan. Meski gambar kaki di lantai alat transportasi maupun tanda silang besar di bangku penumpang masih ada yang belum dihilangkan. KRL, MRT, TransJakarta, pesawat dan bus-bus antarkota, sudah diisi full penumpang. Aturan 50 persen sudah lama dilanggar.
Monitoring jumlah penumpang maksimal 50 persen juga tidak lagi ditaati penyelenggara transportasi. Buktinya kepadatan penumpang sudah mulai termonitor di hampir semua transportasi publik.
Hanya saja, di tengah pelonggaran aturan prokes pada alat transportasi publik, lembaga pendidikan naik itu sekolah maupun kampus masih taat pada aturan lama. Tetap on off setiap saat, hanya boleh 50 persen siswa masuk, jika ada kasus satu saja warga sekolah terkena Covd-19 maka seluruh kelas langsung di tutup.
Lelah? Pasti! Secara saya juga ibu-ibu yang lain mungkin sudah mulai kembali ke aktivitas normal, bekerja dan berkumpul dengan warga lainnya. Pendampingan dan pengawasan pada anak selama PJJ sudah tidak bisa dilakukan.
Di tengah makin tidak jelasnya gaya belajar anak, saya juga ibu-ibu yang lain juga menunggu kapan persyaratan on off, 50 persen dan lainnya di sekolah tidak lagi diberlakukan. Percayalah, orang yang terkena omicron jumlahnya jauh lebih besar dibanding yang dipublikasikan. Sebab masyarakat sudah menganggap kena omicron itu setara dengan kena flu biasa dan obatnya cukup istirahat, makan bergizi dan minum vitamin.
Maka jika perjalanan domestik sudah tak perlu lagi tes antigen apalagi PCR, selayaknya persyaratan prokes di sekolah pun diperlonggar.