Aku sering rindu dengan bahasa Jawa ngapak gaya Kebumen. Logat lidah asliku tersebut sudah kutinggalkan sekitar 22 tahun lalu, seiring aku merantau dan kemudian menikah dengan suku lain. Tentu dengan lingkunganku yang baru, dimana suami berasal dari suku Betawi, tidak mungkin menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi sehari-hari.
Pun suami, seperti sudah jadi kesepakatan, maka alat komunikasi yang digunakan dalam keluarga kami adalah bahasa Indonesia. Tidak perlu adaptasi satu dengan yang lain dalam hal bahasa. Tidak perlu dipusingkan untuk saling belajar bahasa ibu. Aku meninggalkan bahasa Jawa, dan suami meninggalkan bahasa Betawi.
Ditambah lagi, lingkungan pekerjaanku di Kota Jakarta yang mengharuskan bertemu dengan berbagai suku dan bahasa. Maka menggunakan Bahasa Indonesia menjadi pilihan tepat.
Apakah lantas dengan menggunakan Bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari, aku bisa lupa dengan bahasa Jawa? Oh tidak, malah tidak semudah itu. Bahasa Jawa yang sudah mendarah daging sejak masih balita hingga remaja seolah telah membentuk kamus abadi dalam otakku.Â
Alhasil, seringkali aku harus mikir sejenak ketika harus mengucapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Sulit mencari  padanan bahasa yang tepat dalam bahasa Indonesia. Percaya atau tidak, era mbah Google yang serba pinter ini sering ku manfaatkan ketika harus mencari padanan kata antara bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia.
Sebelum ada mesin pintar Google, aku sering menggunakan bahasa isyarat saat kesulitan mengungkapkan sesuatu kepada suami. Lucu kan?
Nah ternyata, perkawinan beda suku dan bahasa bukan menjadi syarat mutlak sebuah keluarga memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Adikku yang notabene menikah sesama suku Jawa, satu kota malah, satu dialek dan satu budaya ternyata lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia untuk komunikasi dengan anak-anaknya.Â
Walhasil, dua anaknya yang notabene lahir di Yogyakarta, lahir di tengah keluarga Jawa, ternyata lebih mahir menggunakan bahasa Indonesia.
Ada juga temanku warga Depok yang berasal dari suku Sunda dan menikah dengan pria Sunda. Ketiga anaknya tak satupun yang bisa bahasa Sunda. Pun kawan lain yang berasal dari suku Minangkabau. Pernikahannya dengan pria Minang tak membuat anak-anaknya mahir bahasa Minang.
Meski sudah 22 tahun nyaris tak menyentuh bahasa Jawa, kerinduan itu sering muncul. Obatnya paling banter ngobrol di group WhatsApp keluarga. Jika sudah begitu, maka logat Jawa ngapak mengalir deras. Terbanyar lunas rindu Jawa.
Keluarga yang meninggalkan bahasa ibu untuk komunikasi harian, tidak hanya terjadi pada perkawinaku atau perkawinan adikku. Ada banyak, puluhan juta bisa jadi, keluarga yang kemudian tidak lagi mengenalkan bahasa ibu kepada anak dan keturunannya. Padahal bahasa ibu alias bahasa daerah adalah asset berharga bangsa ini.
Itu sebab, dalam tayangan Youtube hari ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menjadikan kebijakan revitalisasi bahasa daerah menjadi kebijakan Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas.Â
Menteri Nadiem menyebut revitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan mengingat 718 bahasa daerah di Indonesia, sebagian besar kondisinya terancam punah dan kritis.
Saat ini kata Menteri Nadiem, para penutur jati bahasa daerah banyak yang tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasa ke generasi berikutnya, sehingga khazanah kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan akan bahasa daerah terancam punah. Sedih ya?
Sasaran dari revitalisasi bahasa daerah itu sendiri adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah. Kemendikbudristek akan melatih para guru utama serta guru-guru bahasa daerah; mengadopsi prinsip fleksibiltas, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang berpusat kepada siswa; mengadaptasi model pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing; serta membangun kreativitas melalui bengkel bahasa dan sastra.
"Nanti siswanya dapat memilih materi sesuai dengan minatnya. Bangga menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi. Didorong untuk mempublikasikan hasil karyanya, ditambah liputan media massa dan media sosial, dan didorong untuk mengikuti festival berjenjang di tingkat kelompok/pusat pembelajaran, kabupaten/kota, dan provinsi," kata Menteri Nadiem dalam pidatonya.
Lantas dari ratusan bahasa daerah, bahasa mana yang jadi prioritas untuk revitalisasi tahun ini. Data Kemendikbudristek menunjukkan, jumlah bahasa daerah yang akan menjadi objek revitalisasi sebanyak 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi. Di antara Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Ada 3 model revitalisasi yangdiranang oleh Kemendikbudristek. Pertama, model A, di mana karakteristik daya hidup bahasanya masih aman, jumlah penuturnya masih banyak, dan masih digunakan sebagai bahasa yang dominan di dalam masyarakat tuturnya. Contohnya Bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Kedua, model B, di mana karakteristik daya hidup bahasanya tergolong rentan, jumlah penuturnya relatif banyak dan bahasa daerahnya digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain. Pendekatan pada model ini adalah pewarisan dapat dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas.Â
Dan yang ketiga adalah model C di mana karakteristik daya hidup bahasanya kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, serta jumlah penutur sedikit dan dengan sebaran terbatas.Â
Pendekatan yang dilakukan pada model ini adalah pewarisan dapat  dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas dan pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat,  seperti  tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat.
Puncak Revitalisasi Bahasa Daerah akan berujung pada Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Festival ini merupakan media apresiasi kepada para peserta revitalisasi bahasa daerah yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari sekolah, atau komunitas belajar.Â
"Dalam FTBI ini akan mengusung tujuh materi yaitu membaca dan menulis aksara daerah, menulis ceita pendek, membaca dan menulis puisi (sajak, gurit), mendongeng, pidato, tembang tradisi, dan komedi tunggal," jelas Mendikbudristek.
Tujuan akhir dari revitalisasi bahasa daerah ini, kata Menteri Nadiem, pertama, para penutur muda akan menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai. Kedua, menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah.Â
Ketiga, menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya. Keempat, menemukan fungsi dan rumah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah.
Mugi-mugi usahanipun Mas Nadiem saged kasil....Matur nuwun....
Mampang Prapatan 22-02-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H